ESG Saja Tidak Cukup: Mengapa Dunia Butuh CSV dan SDGs?

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Di tengah arus gelombang besar yang mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengadopsi prinsip ESG (Environmental, Social, Governance), ada satu pertanyaan yang jarang diajukan secara jujur: apakah ESG, dengan segala ukuran dan indikatornya, benar-benar cukup untuk membawa perubahan yang kita butuhkan di dunia yang penuh luka ini?
Benarkah ESG Membawa Perubahan?
ESG hadir sebagai jawaban teknokratik atas tuntutan zaman: mengelola risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam dunia bisnis. Ia memberi kerangka, metrik, dan indikator. Ia menciptakan rasa aman bagi investor bahwa mereka telah memilih dengan bijak. Namun semakin banyak perusahaan merapikan laporan ESG mereka, semakin muncul kekhawatiran mendasar: apakah ini benar-benar tentang perubahan, atau hanya tentang pencitraan? Apakah ESG membawa kita lebih dekat pada keadilan sosial dan keseimbangan ekologis, atau justru mengalihkan perhatian dari krisis yang lebih dalam dengan laporan yang tampak hijau tapi sebenarnya kosong?
Kita tidak perlu melihat terlalu jauh untuk menemukan contoh konkret. Beberapa perusahaan dengan skor ESG tinggi ternyata diketahui melakukan praktik pemutusan hubungan kerja sepihak, pembiaran upah rendah dalam rantai pasok, atau mengabaikan krisis air bersih di sekitar wilayah operasinya. Laporan keberlanjutan mereka rapi, tapi realitas sosialnya timpang. Inilah momen ketika ESG berhenti menjadi kompas moral dan berubah menjadi cermin retak — memantulkan hanya sisi yang ingin ditunjukkan, bukan kebenaran yang utuh.
CSV sebagai Napas ESG
Di titik inilah kita mulai sadar bahwa ESG, meski penting, bukanlah akhir. Ia adalah alat, bukan arah. Tanpa fondasi nilai yang jelas dan tujuan kolektif yang lebih besar, ESG mudah menjadi ritual tanpa ruh. Di sinilah CSV (Creating Shared Value) — pendekatan bisnis yang mengupayakan nilai bersama bagi perusahaan dan masyarakat — dan SDGs (Sustainable Development Goals) masuk bukan sebagai tambahan, tetapi sebagai penopang esensial.
CSV bukanlah jargon baru, tapi pemulihan ide lama: bahwa bisnis bisa dan seharusnya menciptakan nilai bersama — bukan hanya bagi pemegang saham, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan. CSV tidak memulai dari pertanyaan “bagaimana kita memenuhi indikator ESG”, tapi dari pertanyaan yang lebih eksistensial: untuk siapa keberadaan kita sebagai perusahaan ini bermanfaat? Apa nilai yang kita ciptakan di luar neraca keuangan? Tanpa CSV, ESG hanya menjadi pengecekan daftar. Dengan CSV, ESG akan bernapas — menjadi ekspresi dari nilai-nilai yang diyakini dan diperjuangkan, bukan sekadar strategi manajemen risiko.
SDGs sebagai Penghubung dan Penuntun Arah
Namun refleksi nilai saja tidak cukup. Dibutuhkan arah bersama — dan di sinilah peran SDGs menjadi tak tergantikan. SDGs bukan sekadar daftar 17 tujuan global, tapi representasi mimpi kolektif umat manusia untuk hidup di dunia yang adil, seimbang, dan berkelanjutan. Ketika ESG tidak dikaitkan dengan SDGs, maka mudah sekali perusahaan memilih isu yang nyaman bagi mereka dan mengabaikan isu-isu lain yang paling genting. Mudah bagi mereka untuk bicara soal net zero, tapi diam soal kemiskinan pekerja di rantai pasoknya. Mudah untuk fokus pada governance, tapi abai pada regenerasi tanah dan air di wilayah operasinya. SDGs mengingatkan: semua tujuan saling terhubung. Tak ada gunanya bicara climate action (aksi iklim) kalau tak ada decent work (pekerjaan yang layak). Tak ada gunanya bicara clean energy kalau tak menjangkau yang paling tertinggal.
Dengan kata lain, ESG membutuhkan CSV dan SDGs bukan karena tren, tapi karena alasan keberadaan. CSV memberi makna, SDGs memberi arah, dan ESG menjadi alat ukur. Ketiganya harus bergerak dalam satu tarikan napas. Jika tidak, ESG bisa menjadi topeng yang justru memperkuat ilusi keberlanjutan, bukan membongkarnya.
Krisis iklim, ketimpangan sosial, kehilangan kepercayaan publik — semua ini bukan sekadar masalah eksternal yang bisa diselesaikan dengan skema ESG. Ini adalah krisis kepercayaan yang lebih dalam: apakah bisnis masih punya tempat dalam imajinasi kolektif umat manusia sebagai bagian dari solusi? CSV menjawab dengan menghidupkan kembali moral ekonomi. Ia menolak dikotomi palsu antara profit dan purpose. Ia menantang perusahaan untuk menciptakan inovasi yang menyelesaikan masalah sosial, bukan menciptakan solusi yang justru menambah masalah lain. CSV menolak ide bahwa satu-satunya tugas bisnis adalah mencari untung. Ia menegaskan bahwa bisnis juga adalah warga dunia — dengan tanggung jawab, bukan sekadar peluang.
Dan SDGs hadir sebagai jangkar moral. Ia bukan hanya kesepakatan teknis antarnegara, tapi juga janji terhadap generasi yang belum lahir: bahwa kita akan menjaga bumi ini dan memperbaiki sistem yang gagal. Dalam konteks itu, ESG menjadi cara untuk menunjukkan kontribusi nyata perusahaan terhadap janji tersebut. ESG tanpa CSV dan SDGs ibarat arah perjalanan tanpa peta. Kita bisa terus bergerak, tapi kehilangan tujuan. Kita bisa terlihat sibuk, tapi justru melenceng jauh dari misi utama: membangun dunia yang layak dihuni oleh semua.
Mengapa ESG Butuh CSV dan SDGs?
Refleksi ini semakin terasa nyata ketika saya menjadi juri 3 tahun berturut-turut dalam penilaian ratusan program sustainability di berbagai perusahaan BUMN. Dari lembar demi lembar submisi, saya belajar membedakan mana yang sekadar memenuhi kewajiban, dan mana yang sungguh mencerminkan keberanian untuk berubah. Pengalaman lain yang memperdalam kesadaran ini datang ketika saya dipercaya menjadi narasumber dalam proses transformasi sebuah perusahaan terbuka (public listed company). Prosesnya bukan sekadar memilih atau menambah indikator ESG, melainkan menggeser cara pandang secara mendasar—dari melihat sustainability sebagai beban administratif, menjadi peluang strategis untuk menciptakan makna bersama dengan pelanggan, komunitas, dan alam.
Pertanyaan tentang arah ESG juga sempat muncul dalam diskusi publik Indonesian ESG Professional Association (IEPA) bertajuk “ESG as a Catalyst for Innovation and Growth”. Sayangnya, karena keterbatasan waktu, tidak semua pertanyaan sempat terjawab secara langsung. Maka tulisan ini hadir sebagai lanjutan dari ruang dialog tersebut — untuk memperluas makna, memperdalam posisi, dan memperjelas mengapa ESG tidak bisa berjalan sendiri tanpa nilai dan arah yang lebih besar.
Maka saat seseorang bertanya “Mengapa ESG perlu CSV dan SDGs?”, jawabannya bukan teknis. Bukan soal skor atau rating. Tapi karena tanpa nilai bersama dan arah bersama, ESG bisa berubah menjadi kosmetik korporasi — rapi di luar, kosong di dalam. ESG perlu CSV agar punya alasan yang jujur untuk ada. ESG perlu SDGs agar tahu ke mana ia harus bergerak. Dan dunia membutuhkan ketiganya — bukan sebagai jargon yang bersaing, tapi sebagai satu kesatuan yang hidup.
Karena pada akhirnya, dunia tidak sedang mencari perusahaan yang sempurna. Tapi dunia membutuhkan perusahaan yang berani. Yang mau belajar, berubah, dan bertumbuh. Yang tidak sekadar bicara keberlanjutan, tapi menjalaninya — dengan nilai yang sejati, arah yang jernih, dan komitmen yang utuh.
Editor: Abul Muamar

Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Sustainable Development Expert di The Prakarsa, Fellow IDEAS–UID MIT Sloan School of Management, SDGs–ESG Expert di Indonesian ESG Professional Association (IEPA), dan Advisory Committee Fair Finance Asia.