Hilirisasi Nikel: Beban Berlapis Wilayah Pejuang Transisi Energi
“Akhirnya, ibu-ibu harus beralih pekerjaan. Ada yang memungut botol-botol bekas,” kata seorang nelayan Suku Bajo di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, saat saya melakukan penelitian lapangan pada awal Oktober 2023. Ungkapan tersebut menyiratkan nestapa dari warga yang terdampak pertambangan dan industri nikel. Jika sebelumnya nelayan bisa hidup berkecukupan dengan hasil laut, saat ini mereka harus kehilangan sumber penghidupan karena ekosistem laut yang telah rusak akibat proyek hilirisasi nikel, yang diklaim penting dalam proses transisi energi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Ide Hilirisasi Nikel
Hilirisasi kembali ramai diperbincangkan menjelang Pemilihan Presiden 2024, terutama setelah konsep ini terus dikampanyekan oleh salah satu pasangan kandidat. Hilirisasi merupakan sebuah konsep pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai dengan meningkatkan nilai tambah. Ide dasar hilirisasi memang positif karena dapat memperkuat industri domestik dengan peningkatan nilai rantai pasok dan memperpanjang rantai pasok dalam negeri, sehingga keuntungannya lebih banyak tertinggal di Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah hilirisasi saat ini berjalan ideal seperti itu?
Sejatinya, hilirisasi bukanlah hal baru dalam perekonomian Indonesia. Konsep ini setidaknya sudah dikenal dalam mega proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang termanifestasi melalui salah satu proyek pembangunan smelter pertambangan di Sulawesi Tengah. Hilirisasi juga diwadahi dalam UU Minerba serta diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014, yang mewajibkan semua perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
UU Minerba yang mengharuskan perusahaan melakukan hilirisasi di dalam negeri menuntut improvisasi teknologi dan kapital setiap perusahaan. Kebijakan ini pada ujungnya mengeliminasi banyak perusahaan pemegang IUP karena tidak adanya komitmen serta keterbatasan kapasitas perusahaan untuk memenuhi target hilirisasi dengan membangun smelter di dalam negeri. Hanya sedikit perusahaan Indonesia yang bisa bertahan dan memiliki komitmen untuk membangun smelter atau fasilitas pengolahan bijih untuk proses hilirisasi.
Pada saat yang sama, Indonesia menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan China yang merelokasi smelter-smelter nikel dari China ke Indonesia. Pada akhirnya, kebijakan hilirisasi justru menjadi pintu masuk perusahaan-perusahaan multinasional dalam mengeksploitasi nikel di Morowali, yang bahkan mendapatkan “karpet merah” dari pemerintah dengan status Proyek Strategis Nasional (PSN) dan/atau Objek Vital Nasional (Obvitnas).
Dampak Hilirisasi Nikel
Dari ungkapan nelayan Bajo tersebut, rasanya kita bisa bersepakat bahwa hilirisasi nikel yang berlangsung di Morowali tidak ideal sebagaimana mestinya. Saat perusahaan asing terus mengeksploitasi sumber daya mineral penting di Indonesia dalam payung hilirisasi, masyarakat lokal justru menjadi korban karena kehilangan sumber pendapatan dan terpaksa mengais sampah. Jika pun ada masyarakat yang diuntungkan secara ekonomi, mereka biasanya merupakan kelompok yang memiliki akses modal dan tanah (dengan membuat kos-kosan, warung, atau kafe), kelompok sosial yang tidak merepresentasikan rakyat kebanyakan.
Dalam penelitian yang saya lakukan, implementasi hilirisasi nikel bahkan berujung pada dampak negatif lainnya. Beberapa di antaranya adalah munculnya berbagai penyakit (khususnya Infeksi Saluran Pernapasan Akut/ISPA), kemacetan yang tak terurai, semrawutnya tata ruang akibat migrasi pekerja dalam jumlah besar secara cepat, meningkatnya praktik land and ocean grabbing (perampasan hak atas tanah dan ruang laut) yang menimpa petani dan nelayan, meningkatnya ketimpangan ekonomi, serta adanya eksploitasi pekerja.
Ketidakseimbangan aspek ekonomi dan ekologi juga mengakibatkan berbagai dampak buruk seperti banjir, rusaknya biota laut, polusi udara, dan lain sebagainya, yang pada ujungnya berimplikasi pada kesulitan masyarakat setempat dalam mengakses air dan udara bersih. Selain itu, pertambangan dan industri nikel di Morowali juga dipenuhi dengan praktik rente, korupsi birokrasi, dan kekerasan oleh aparat untuk memuluskan kepentingan perusahaan tambang.
Memperlebar Jurang Ketimpangan
Hilirisasi nikel, selain diharapkan dapat meningkatkan perekonomian domestik, seringkali dikaitkan dengan upaya dekarbonisasi dalam agenda transisi energi. Namun sayangnya, menurut hemat saya, hilirisasi nikel justru semakin melebarkan jurang ketimpangan antara negara-negara Global North dengan negara-negara Global South. Negara-negara Global South yang memiliki kekayaan sumber daya alam terus dieksploitasi untuk kepentingan global, khususnya negara-negara Global North dengan diskursus utama berupa transisi energi.
Ketimpangan ini dapat dijelaskan dengan apa yang disebut sebagai decarbonisation divide (kesenjangan dekarbonisasi), dimana beban dari proses transisi energi lebih banyak ditimpakan pada negara-negara Global South yang terlibat langsung dalam rantai hulu dari proses dekarbonisasi. Selain itu, negara berkembang juga seringkali menjadi penerima e-waste (sampah elektronik) yang sudah tidak bisa digunakan dan memerlukan pengelolaan yang serius karena kandungannya yang berbahaya bagi lingkungan. Singkatnya, kebijakan hilirisasi nikel berujung pada degradasi kualitas hidup masyarakat di negara yang memiliki sumber daya pendukung transisi energi itu sendiri.
Tidak hanya dari sudut pandang geopolitik global, decarbonisation divide juga mempertajam ketimpangan antara daerah dengan pusat dalam konteks domestik. Hilirisasi nikel secara masif justru terus menempatkan daerah-daerah yang kaya mineral menjadi korban. Oleh sebab itu, hilirisasi nikel dalam proses transisi energi, meskipun selalu digaungkan dalam diskursus positif, menurut saya justru mengarah pada pendulum yang berbeda jika kita fokus melihat pada konteks lokal. Daerah (lokal) akan terus menghadapi beban berlapis atas kepentingan segelintir pihak yang mengeksploitasi diskursus transisi energi untuk kepentingan ekonomi pragmatis.
Bahan Refleksi
Apa yang terjadi di Morowali merupakan gambaran atas wilayah yang menjadi garda terdepan dalam proses hilirisasi nikel untuk kepentingan transisi energi. Di beberapa wilayah lain dengan modal material yang berbeda, hilirisasi demi kepentingan transisi energi juga menyisakan dampak yang tidak jauh berbeda. Berbagai dampak negatif dari proyek hilirisasi sepatutnya menjadi bahan refleksi terhadap arah pembangunan kita. Apakah proyek hilirisasi benar-benar menjadi upaya peningkatan perekonomian domestik kita, atau hanya tindakan latah dan pragmatis dari para pemangku kepentingan yang ingin memuaskan kepentingan pribadi dan kelompoknya?
Editor: Abul Muamar dan Lalita Fitrianti
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Faiz adalah peneliti di Research Center for Politics and Government (PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada.