Perubahan Iklim: Diskursus yang Perlu Dikritisi
“Perubahan iklim” semakin mendominasi ruang-ruang diskursus politik, ekonomi, dan sosial kultural masyarakat global. Berbagai upaya mitigasi melalui dekarbonisasi telah dilakukan dalam beberapa langkah, seperti mengurangi penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas bumi, batubara), kampanye electric mobility, dan maksimalisasi penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Sebagai diskursus dominan, perlahan perubahan iklim telah mengikat setiap elemen masyarakat global dalam ranah hegemoniknya. Perubahan iklim perlahan menjadi basis justifikasi atas “keberpihakan” individu, kelompok, atau negara atas hal yang dianggap sebagai masalah bersama. Implikasinya, setiap dari kita merasa perlu untuk menjadi bagian dari advokasi perubahan iklim dan upaya mitigasinya. Jika tidak, eksklusi menjadi bayang-bayang bagi mereka yang mencoba skeptis atas dominasi diskursus ini.
Namun kita layak bertanya, apakah dengan terlibat dalam diskursus ini dapat sepenuhnya menjustifikasi bahwa kita bergerak atas sesuatu yang mulia? Tunggu dulu.
Belajar dari Revolusi Hijau
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita belajar dari Revolusi Hijau (RH) yang massif diterapkan pada akhir abad 20. Dalam konteks tertentu RH memiliki kemiripan dengan perkembangan diskursus perubahan iklim.
Sebagai proyek global yang memaksimalkan teknologi dalam usaha mengakselerasi produksi pertanian, RH sangat terkait dengan kepentingan geopolitik pada masa itu (Gollin, Hansen, Asger, 2018). Sebagai diskursus dominan, RH sejatinya dikonstruksi dan didukung oleh berbagai kekuatan internasional, baik negara maupun organisasi seperti Ford Foundation, GATT, WTO, serta perusahaan-perusahaan pembuat dan pemasok bahan-bahan untuk input pertanian dan varietas-varietas baru padi unggul (Bachriadi dan Wiradi, 2011).
Dalam konteks Indonesia, selain sebagai alat legitimasi politik rezim, RH juga menjadi proses integrasi pertanian domestik dalam gelombang pembangunan pangan dunia. Meskipun berhasil swasembada pada tahun 1984, RH justru melahirkan dampak negatif jangka panjang bagi masyarakat pedesaan.
Pertama, RH menjadi awal proses kapitalisasi pertanian hingga di tingkat pedesaan. Dalam praktiknya, RH justru hanya memberikan keuntungan bagi petani skala besar yang memiliki aksesibilitas atas teknologi baru dan infrastuktur percepatan produksi pertanian (Welker, 2012).
Kedua, RH mengakibatkan terciptanya hubungan produksi yang eksploitatif dan diferensiasi sosial yang tajam (Rachman, 1999). Akibatnya, ketimpangan pola produksi justru melahirkan polarisasi kelas di pedesaan (Eng, 1996).
Ketiga, RH berperan atas terbentuknya ketergantungan negara berkembang kepada negara maju akibat adanya sertifikasi benih dari perusahaan multinasional yang notabene berasal dari negara maju (Arifin, 2004).
Secara singkat, RH menunjukkan bahwa diskursus akselerasi produksi pangan yang dikonstruksi oleh kekuatan besar “the great powers” seringkali menghasilkan kemanfaatan yang timpang. Meski dipayungi oleh niat mulia berupa akselerasi produksi pangan, RH pada akhirnya lebih menguntungkan segelintir pihak dalam lingkaran yang eksklusif.
Perubahan Iklim: Hanya Bentuk Diskursus Lainnya
Layaknya Revolusi Hijau, saya melihat bahwa perubahan iklim dan usaha mitigasinya sejatinya merupakan konstruksi diskursus lain yang tidak terlepas dari kepentingan implisit organisasi atau negara tertentu. Hal ini dapat dipahami berdasarkan tiga poin di bawah ini.
Pertama, diskursus atas akselerasi produksi pangan maupun mitigasi perubahan iklim dikonstruksi dan didominasi oleh beberapa aktor kuat di level global. Diskursus ini tidak terlepas dari kepentingan ekonomi politik mereka yang memiliki power. Sehingga adanya kampanye transisi energi dan electric mobility sejatinya sangat terkait dengan kepentingan aktor-aktor tersebut.
Kedua, terdapat usaha mengkapitalisasi krisis untuk menciptakan pasar baru. Upaya dekarbonisasi dan transisi energi sejatinya tidak terlepas dari usaha menciptakan sebuah lahan ekonomi baru yang dikonstruksi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Jika dalam era RH beberapa perusahaan mendominasi supply-chain varietas pertanian, maka diskursus perubahan iklim memungkinkan beberapa perusahaan mendominasi produksi pengetahuan dan teknologi untuk diterapkan dalam berbagai proyek ekstraksi critical minerals, industri EBT, dan lain sebagainya.
Ketiga, negara berperan sebagai aktor yang penting dalam akselerasi perkembangan diskursus. Layaknya RH, mitigasi perubahan iklim sebagai diskursus telah menekan negara untuk lebih berperan dalam menginternalisasi upaya mitigasi perubahan iklim dalam kebijakan publik. Jika tidak terkawal, maka kebijakan yang lahir dapat memberikan ruang bagi praktik rent-seeking (pemburu rente) di berbagai proyek mitigasi yang ada.
Kita pun Terjerat
Dalam dinamikanya, Indonesia tidak bisa terlepas dari diskursus ini, khususnya dari jeratan hegemoniknya. Target pemerintah untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 sebagai contohnya. Target ini memiliki konsekuensi pada akselerasi penggunaan EBT yang berdampak pada ekstraksi berbagai sumberdaya yang dianggap penting dalam proses transisi energi seperti geothermal, biomassa, timah, dsb.
Sayangnya, pengarusutamaan diskursus perubahan iklim dan upaya mitigasinya tidak terbebas dari dampak negatif susulannya. Contohnya, proyek geothermal di Wae Sano, NTT justru menghadapi penolakan warga setempat akibat berbagai dampak destruktif baik secara lingkungan, sosiokultural, dan ekonomi lokal. Masyarakat Bangka Belitung juga terus terjebak dalam kondisi ketergantungan pada ekstraksi timah, sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan akan critical minerals (seperti Logam Tanah Jarang/LTJ) yang dianggap esensial bagi proses transisi energi global.
Akibatnya, alih-alih berkontribusi terhadap upaya dekarbonisasi dan mengurangi dampak perubahan iklim, masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia justru terpaksa menghadapi situasi double cost. Yakni, di satu sisi masyarakat menjadi korban atas perubahan iklim global, di sisi lain mereka menjadi korban atas proyek-proyek ekstraksi yang mengatasnamakan kampanye mitigasi perubahan iklim.
Singkatnya, diskursus perubahan iklim dan upaya mitigasinya justru dapat menjerat Indonesia, khususnya bagi masyarakat lokal dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Atas nama dekarbonisasi dan penurunan emisi, berbagai proyek mitigasi yang bersifat top-down policy berpotensi untuk terus merugikan mayoritas masyarakat. Oleh sebab itu, jika tidak dilakukan secara benar, alih-alih bergerak atas sesuatu yang mulia, advokasi perubahan iklim justru akan melahirkan krisis baru yang berkepanjangan.
Sebagai Bahan Pembelajaran
Saya tidak bermaksud menyalahkan perkembangan diskursus perubahan iklim dan upaya mitigasinya. Saya justru mendukung upaya mitigasi perubahan iklim, tetapi dengan penekanan adanya penelaahan kritis atas kapitalisasi diskursus ini untuk kepentingan tertentu. Jangan sampai advokasi atas perubahan iklim justru mengulang kesalahan yang terjadi pada RH.
Sudah saatnya diskursus ini dikawal agar tidak disetir oleh berbagai kepentingan pragmatis yang sempit dan meninggalkan jejak kerugian bagi masyarakat luas. Sudah saatnya manajemen krisis dilakukan dengan melahirkan pola pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Untuk menjawab harapan itu, setidaknya ada tiga hal yang penting dan mendesak untuk ditindaklanjuti:
- Meningkatkan komitmen pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk melakukan upaya mitigasi perubahan iklim dengan basis sensitivitas atas kepentingan masyarakat luas.
- Menciptakan proyek ekstraksi yang transparan dan partisipatif. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan setiap stakeholder terkait, utamanya masyarakat biasa. Diharapkan pola partisipatif ini dapat melahirkan popular control atas setiap proses ekstraksi sumberdaya alam.
- Meminimalisir proyek ekstraktif lainnya yang mengatasnamakan mitigasi perubahan iklim namun disetir oleh kepentingan elite yang sempit.
Editor: Abul Muamar dan Marlis Afridah
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Faiz adalah peneliti di Research Center for Politics and Government (PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada.