Polusi Digital dan Jejak Gelap Dunia Maya

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Di era digital ini, layar-layar perangkat elektronik telah menjadi jendela utama kita ke dunia. Hanya dengan sentuhan jari, kita dapat mengakses berbagai informasi dan berkomunikasi dengan berbagai orang di belahan dunia mana pun, bahkan bekerja tanpa batas ruang dan waktu. Namun, di balik kemudahan ini, ada jejak gelap yang tak terlihat: polusi digital.
Ketika berbicara tentang polusi, kebanyakan orang mungkin membayangkan udara yang berasap kotor atau lautan yang tercemar sampah plastik. Atau sedikit lebih jauh: polusi suara dan polusi cahaya. Tetapi, apakah kita menyadari bahwa setiap email yang kita kirim, video yang kita streaming, data yang kita simpan di cloud, dan banyak aktivitas digital lainnya meninggalkan jejak karbon yang signifikan? Dunia digital tidaklah sebersih yang kita kira.
Jejak Karbon Dunia Digital: Ancaman yang Kian Besar
Menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA) pada tahun 2023, sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menyumbang sekitar 4% dari total emisi karbon global. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 8% pada tahun 2030. Sebagai perbandingan, industri penerbangan “hanya” menyumbang sekitar 2,5% dari emisi karbon global.
Salah satu penyebab utama lonjakan emisi karbon sektor TIK adalah pertumbuhan pesat pusat data (data centers). World Economic Forum memperkirakan bahwa pusat data di seluruh dunia akan mengonsumsi 20% dari total listrik global pada tahun 2025. Dengan tingginya permintaan akan layanan digital termasuk cloud computing, big data, dan kecerdasan buatan (AI), konsumsi energi di sektor ini akan terus meningkat.
Laporan Greenpeace pada tahun 2023 juga menyoroti bahwa sebagian besar pusat data masih menggunakan listrik berbasis bahan bakar fosil. Sebagai contoh, banyak pusat data di Asia, termasuk Indonesia, masih bergantung pada batu bara sebagai sumber energi utama, yang semakin memperburuk krisis iklim.
Pusat Data: Jantung Digital yang Haus Energi
Pusat data adalah otak dari internet modern. Setiap pencarian di Google, unggahan di Instagram, atau transaksi jual-beli di e-commerce disimpan dan diproses di pusat data ini. Namun, fasilitas ini membutuhkan pendinginan yang besar, yang menghabiskan energi dalam jumlah luar biasa.
Di Asia, beberapa negara mulai mengadopsi konsep green data centers, yaitu pusat data yang menggunakan energi terbarukan dan teknologi pendinginan yang lebih efisien. Singapura, misalnya, telah mengembangkan pusat data yang memanfaatkan pendinginan berbasis air laut, sementara Indonesia mulai mendorong transisi ke energi surya dan angin untuk infrastruktur digitalnya.
Namun, tantangannya masih besar. Menurut Laporan UNEP pada tahun 2023, hanya sekitar 15% pusat data di Asia yang menggunakan energi terbarukan, jauh tertinggal dibandingkan dengan Eropa yang telah mencapai 40%.
Perangkat Digital: Kontributor yang Sering Terlupakan
Selain pusat data, perangkat digital yang kita gunakan sehari-hari juga memiliki dampak besar terhadap lingkungan. Menurut penelitian yang terbit di Journal of Cleaner Production tahun 2022, 80% dari total emisi karbon yang dihasilkan oleh ponsel cerdas terjadi selama proses produksinya, bukan saat digunakan. Ini mencakup penambangan bahan baku seperti litium dan kobalt, yang sering kali menyebabkan deforestasi dan pencemaran lingkungan, terutama di negara-negara berkembang.
Laporan dari Global e-Waste Monitor pada tahun 2023 juga mencatat bahwa dunia menghasilkan lebih dari 50 juta ton limbah elektronik (e-waste) setiap tahunnya, dengan hanya 20% yang didaur ulang secara resmi. Sebagian besar limbah ini berakhir di negara-negara Asia dan Afrika, mencemari lingkungan serta membahayakan kesehatan masyarakat setempat.
Mengatasi Polusi Digital
Untuk mengurangi dampak polusi digital, kita memerlukan solusi yang mencakup berbagai level, mulai dari individu, perusahaan, hingga kebijakan pemerintah. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:
- Mendorong efisiensi energi di pusat data. Perusahaan teknologi harus beralih ke energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Menggunakan teknologi pendinginan yang lebih hemat energi, seperti pendinginan berbasis air laut yang sudah diterapkan di beberapa pusat data di Singapura.
- Mengurangi konsumsi digital berlebihan dengan menghapus email lama dan file yang tidak lagi diperlukan dari cloud untuk mengurangi beban pusat data.
- Menggunakan mode hemat daya pada perangkat elektronik dan mengurangi konsumsi streaming video beresolusi tinggi jika tidak diperlukan.
- Memilih perangkat yang lebih ramah lingkungan. Membeli perangkat dari perusahaan yang memiliki program daur ulang dan menggunakan bahan baku berkelanjutan.
- Memperpanjang masa pakai perangkat dengan melakukan perawatan dan perbaikan, alih-alih mengganti dengan yang baru.
- Mendukung kebijakan keberlanjutan digital. Pemerintah harus memperketat regulasi terhadap limbah elektronik dan mewajibkan perusahaan untuk memiliki program daur ulang.
- Mendorong investasi dalam riset dan pengembangan teknologi hijau untuk sektor digital.
- Meningkatkan edukasi dan kesadaran publik tentang dampak polusi digital melalui kampanye lingkungan dan mendorong budaya digital yang lebih berkelanjutan seperti memilih layanan digital yang berkomitmen terhadap energi hijau.
Digitalisasi yang Bertanggung Jawab
Kemajuan teknologi digital adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Namun, jika tidak dikelola dengan bijak, ia dapat menjadi ancaman serius bagi lingkungan, di samping juga bagi kehidupan manusia. Polusi digital mungkin tidak terlihat secara kasat mata, tetapi dampaknya nyata, dari meningkatnya emisi karbon hingga ledakan limbah elektronik.
Saatnya kita menjadi pengguna digital yang lebih bertanggung jawab. Dengan langkah-langkah kecil seperti menghapus file yang tidak diperlukan, mendukung perusahaan yang ramah lingkungan, dan mendorong kebijakan keberlanjutan, kita bisa membantu mengurangi jejak karbon dunia digital. Masa depan digital yang berkelanjutan adalah mungkin tetapi hanya jika kita bertindak sekarang.
Editor: Abul Muamar

Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.

Tian adalah alumnus Filsafat IFTK Ledalero, Flores. Ia aktif sebagai pemerhati isu-isu strategis, terutama dalam bidang sosial, budaya, dan lingkungan.