Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • GNA Internasional
  • Berlangganan
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Soft News
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Komunitas
  • Siaran Pers
  • Muda
  • ESG
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Kemiskinan, dari Dekat Sekali

Di sebuah bangunan kecil dari anyaman bambu berlantai tanah, seorang perempuan bersama tiga anaknya tinggal. Mereka adalah satu potret kemiskinan hari ini.
Oleh Abul Muamar
17 Oktober 2022

Eva Susanti menggendong anak bungsunya di depan pintu rumahnya yang berdinding anyaman bambu. | Foto oleh Abul Muamar.

“Mari masuk,” kata Eva. “Pakai aja sandalnya, enggak apa-apa, kok.”

Saya melangkahkan kaki ke dalam bangunan itu setelah ragu-ragu sejenak. Perasaan campur aduk melingkupi benak saya saat pandangan saya menyapu seisi ruangan berukuran tak lebih dari 4×3 meter itu. 

Rumah itu—yang mungkin lebih pas disebut gubuk—berlantaikan tanah yang lembab, sebagian dilapisi dengan terpal plastik yang biasa dipakai sebagai taplak meja di warung-warung pinggiran jalan. Tak ada sekat apa pun dalam rumah itu. Tempat tidur, alat-alat masak dan galon air, dan lainnya ditempatkan di ruang yang sama.

Dindingnya dibangun dengan bilah-bilah bambu yang dianyam, dan di sana-sini terdapat lubang yang memudahkan serangga sebesar kumbang kelapa masuk. Sedangkan atapnya tidak sepenuhnya tertutup; ada celah menganga persis di atas tumpukan barang-barang. Ketika hujan turun, air leluasa masuk melalui celah itu. Dan, di depan mulut pintu masuk, ada tangki septik bersama.

Rumah itu ditempati oleh Eva Susanti, berada di Dusun IV Desa Citaman Jernih, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Eva adalah satu dari 26,16 juta penduduk miskin di Indonesia, sebagaimana dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Eva Susanti berdiri di dalam rumahnya yang tak bersekat.
Rumah Eva Susanti yang tak bersekat. | Foto oleh Abul Muamar.

Karena tak ada kursi untuk menyambut tamu, Eva mengajak saya mengobrol di luar. Kami duduk di batang pohon nangka yang sudah ditebang, sambil menengok monyet piaraan anak sulungnya. 

“Maklumlah, ya, kalau agak bau,” kata Eva, menoleh ke arah tangki septik.

Bekerja sebagai pembantu lepas di sebuah warung sarapan tak jauh dari rumahnya, Eva diupah Rp40 ribu per hari untuk 7 jam kerja. Dengan upah itu ia menghidupi tiga anaknya yang masih kecil, salah satunya berumur 5 tahun, ditambah suaminya yang penganggur.

Saya terkenang bertandang ke rumah Eva hampir dua tahun lalu saat menengok kembali galeri foto di ponsel saya. Tidak banyak yang saya ingat dari kunjungan itu kecuali kemiskinan, yang saya saksikan dari jarak yang dekat sekali. Eva dan keluarganya adalah satu potret nyata kemiskinan hari ini.

Pada tahun-tahun lain, di tempat-tempat yang lain, saya juga masih ingat pernah menyaksikan kemiskinan-kemiskinan yang lain, yang akan sangat panjang bila saya ceritakan satu-satu di sini. Anda pun barangkali juga pernah menyaksikan hal serupa, yang mungkin lebih menyedihkan daripada yang saya saksikan.

Garis Batas Baru Kemiskinan

Merujuk Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh Bank Dunia, kemiskinan diukur dengan kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan seseorang dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Seseorang dikategorikan sebagai penduduk miskin jika ia memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Untuk kasus Eva, dengan penghasilan Rp40 ribu per hari, dibagi dirinya, tiga anaknya, dan suaminya, maka masing-masing mereka hanya punya Rp8.000 per hari–jauh dari garis batas kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia.

Sampai hari ini, kemiskinan masih merajalela di berbagai belahan dunia. Angka kemiskinan dunia bahkan bertambah signifikan dengan pertambahan “orang-orang miskin baru” setelah Bank Dunia mengadopsi paritas daya beli/purchasing power parities (PPPs) 2017 baru-baru ini. 

Dalam laporan bertajuk “East Asia and Pacific Economic Update, October 2022: Reforms for Recovery”, Bank Dunia mengubah garis batas kemiskinan berdasarkan PPPs, dari semula US$1,90 (berdasarkan PPPs 2011), menjadi US$ 2,15 per orang per hari. Dengan peningkatan garis batas kemiskinan itu, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah sebanyak 13 juta jiwa.

Dua Strategi Utama

Wakil Presiden Ma’ruf Amin, selaku Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebut bahwa kemiskinan bersifat multidimensional. “Yang berarti bahwa kemiskinan berhubungan erat dengan faktor sosial-ekonomi lain seperti tingkat dan kualitas pendidikan, kondisi kesehatan, dan jenis pekerjaan,” tulis Ma’ruf dalam artikelnya di Kompas.

Ada dua strategi utama penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang disampaikan Wapres:

  1. Mengurangi beban pengeluaran kelompok miskin dan rentan melalui program perlindungan sosial dan subsidi
  2. Melakukan pemberdayaan dalam rangka peningkatan produktivitas kelompok miskin dan rentan untuk meningkatkan kapasitas ekonominya.

Untuk strategi pertama, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah meluncurkan beberapa program seperti Program Keluarga Harapan, Program Indonesia Pintar, dan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Sedangkan untuk strategi kedua, pemerintah mendorong pemberdayaan UMKM melalui tiga pilar, yakni peningkatan kapasitas usaha dan kompetensi UMKM, mendorong lembaga keuangan agar lebih ramah pada UMKM, dan perbaikan ekosistem pendukung UMKM.

Namun, sampai hari ini, puluhan juta orang di Indonesia masih hidup dalam kemiskinan, bahkan ada yang sangat miskin, seperti Eva.

Nol Persen Kemiskinan Ekstrem pada 2024

Sebagai komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan berkelanjutan (SDGs), pemerintah Indonesia menetapkan target nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024. Pada tahun 2021, tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah 4% atau 10,86 juta jiwa.

Target tersebut terdengar ambisius meski bukan berarti mustahil dapat dicapai, terutama jika merujuk pada perkembangan setahun terakhir. Per Maret 2022, menurut BPS, tingkat kemiskinan ekstrem turun menjadi 2,04% atau 5,59 juta jiwa.

Untuk mencapai target nol persen itu, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2022 pada bulan Juni yang berisi instruksi kepada masing-masing menteri koordinator/menteri, kepala badan, Panglima TNI, Kapolri, para gubernur, dan para walikota/bupati. Presiden menekankan soal ketepatan sasaran dan integrasi program antar kementerian/lembaga dengan melibatkan peran masyarakat. Strategi kebijakan yang diperintahkan Presiden secara garis besar meliputi:

  • Pengurangan beban pengeluaran masyarakat.
  • Peningkatan pendapatan masyarakat.
  • Penurunan jumlah kantong kemiskinan.

Tercapai atau tidaknya target itu akan terjawab oleh waktu. Saya hanya bisa membayangkan senyum Eva saat hari itu tiba.

Kemiskinan dan Ketimpangan

Eva Susanti berdiri di samping tangki septik persis di depan pintu rumahnya.
Tangki septik persis di depan pintu rumah Eva Susanti. | Foto oleh Abul Muamar.

Saat sebagian orang di dunia ini bisa memiliki lebih dari satu rumah, beberapa mobil, makanan berlimpah, jalan-jalan ke luar negeri, serta harta dan aset di banyak tempat; jutaan orang masih mengais-ngais untuk sekadar bisa makan. Itulah yang kita kenal sebagai ketimpangan, dan ketimpangan, kita tahu, berkelindan dengan kemiskinan.

Menurut World Inequality Report 2022 yang dirilis oleh World Inequality Lab, ketimpangan ekonomi di Indonesia cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir. Porsi kekayaan individual dikuasai oleh 1% kelompok ke atas hingga 30,2% dari total kekayaan populasi Indonesia dan kelompok 10% teratas menguasai 61% bagian lainnya. Sementara, kelompok 50% terbawah hanya kebagian 4,5%.

“Sejak tahun 1999, tingkat kekayaan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan…. Namun, pertumbuhan ini menyisakan ketimpangan yang nyaris ajek,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.

Karenanya, hal ini mestinya menjadi pengingat bagi kita bahwa kemiskinan harus ditanggulangi dengan sungguh-sungguh.

*Cerita Eva Susanti dalam artikel ini telah mendapat persetujuan untuk diterbitkan Green Network ID, langsung oleh Eva Susanti melalui Abul Muamar.  

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.

Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Pilih Paket Langganan Anda

Abul Muamar
Managing Editor at Green Network Asia | Website |  + postsBio

Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.

  • Abul Muamar
    https://greennetwork.id/author/abulmuamar/
    Ketimpangan, Pengangguran, hingga Korupsi yang Merajalela: 6 Isu Sosial yang Mendesak untuk Diatasi
  • Abul Muamar
    https://greennetwork.id/author/abulmuamar/
    Dunia yang Kian Gemerlap dan Kelap-kelip Kunang-Kunang yang Kian Lenyap
  • Abul Muamar
    https://greennetwork.id/author/abulmuamar/
    Peta Jalan Dekarbonisasi Industri untuk Tekan Emisi di Subsektor Intensif-Energi
  • Abul Muamar
    https://greennetwork.id/author/abulmuamar/
    Menciptakan Keadilan Pajak untuk Kesejahteraan Bersama

Continue Reading

Sebelumnya: Memikirkan Kembali Kebijakan Agropangan untuk Pola Makan Sehat bagi Semua Orang
Berikutnya: Keuskupan Agung Jakarta Ajak Masyarakat Kurangi Sampah Makanan di Tengah Krisis Pangan

Lihat Konten GNA Lainnya

Beberapa perempuan Mollo sedang menenun Bagaimana Masyarakat Adat Mollo Hadapi Krisis Iklim dan Dampak Pertambangan
  • GNA Knowledge Hub
  • Wawancara

Bagaimana Masyarakat Adat Mollo Hadapi Krisis Iklim dan Dampak Pertambangan

Oleh Andi Batara
18 September 2025
Seorang penyandang disabilitas di kursi roda sedang memegang bola basket di lapangan. Olahraga Inklusif sebagai Jalan Pemenuhan Hak dan Pemberdayaan Difabel
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Olahraga Inklusif sebagai Jalan Pemenuhan Hak dan Pemberdayaan Difabel

Oleh Attiatul Noor
18 September 2025
alat-alat makeup di dalam wadah Fast-Beauty dan Dampaknya yang Kompleks
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Fast-Beauty dan Dampaknya yang Kompleks

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
17 September 2025
kawanan gajah berjalan melintasi ladang hijau yang subur Penurunan Populasi Gajah Afrika dan Dampaknya terhadap Ekosistem
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Penurunan Populasi Gajah Afrika dan Dampaknya terhadap Ekosistem

Oleh Kresentia Madina
17 September 2025
foto kapal di lautan biru gelap dari atas udara Memperkuat Standar Ketenagakerjaan di Sektor Perikanan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Memperkuat Standar Ketenagakerjaan di Sektor Perikanan

Oleh Abul Muamar
16 September 2025
Siluet keluarga menyaksikan bencana kebakaran hutan Memahami Polusi Udara sebagai Risiko bagi Kesehatan Manusia dan Bumi
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Memahami Polusi Udara sebagai Risiko bagi Kesehatan Manusia dan Bumi

Oleh Kresentia Madina
16 September 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Konten Komunitas GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Pedoman Media Siber
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia