Koalisi IBUKOTA Tagih Upaya Pemerintah Perbaiki Kualitas Udara
Majelis Umum PBB menyatakan bahwa lingkungan yang bersih dan sehat merupakan hak asasi setiap manusia secara universal. Namun sayangnya, belum semua orang menikmati hak tersebut, termasuk warga yang hidup di wilayah DKI Jakarta. Menurut laporan Greenpeace, sekitar 93% warga Jakarta setiap harinya terpaksa menghirup udara berbahaya yang konsentrasi polutannya lima kali lebih besar dari standar batas aman yang direkomendasikan WHO, yaitu yakni 5 µg/m³ per tahun.
Atas kenyataan itu, warga sipil yang tergabung dalam Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi IBUKOTA) melayangkan gugatan terkait hak atas udara bersih pada 4 Juli 2019. Hasilnya, pada 16 September 2021, gugatan warga tersebut dimenangkan oleh PN Jakarta Pusat.
Kualitas Udara Jakarta Buruk
Setahun pascaputusan gugatan itu berlalu, kualitas udara DKI Jakarta dinilai masih tetap buruk. Berdasarkan data Nafas, dalam satu tahun terakhir (14 September 2021-14 September 2022), kualitas udara di lima wilayah DKI Jakarta, seluruhnya melampaui rekomendasi WHO hingga 7,2 kali lipat. Tiga di antaranya, yakni Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan, bahkan masuk kategori ‘Tidak Sehat’ untuk kelompok sensitif. Yang paling buruk adalah wilayah Jakarta Timur dengan rata-rata tahunan PM2.5 mencapai 44 µg/m³, atau 8,8 kali lipat dari rekomendasi WHO.
Tidak ingin keadaan tersebut didiamkan berlarut-larut, Koalisi IBUKOTA melakukan aksi unjuk rasa teatrikal di depan Balai Kota DKI Jakarta pada Jumat, 16 September 2022. Membawa manekin dengan tulisan “Udara Kita Bersama”, mereka mengingatkan Pemprov DKI Jakarta untuk segera membuat kebijakan yang dapat memperbaiki kualitas udara Jakarta.
Masalah kualitas udara yang buruk tidak boleh disepelekan. Selain berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental manusia, udara yang mengandung racun juga dapat memangkas angka harapan hidup manusia.
Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu berharap Gubernur DKI Jakarta bisa menjadi contoh positif bagi para tergugat lain yang memilih banding, yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, serta Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat.
“Seharusnya, karena tidak banding, Gubernur DKI Jakarta bisa menjalankan putusan pengadilan yang di antaranya adalah mengendalikan sumber polutan dari benda bergerak dan tidak bergerak, melakukan transparansi terhadap rencana pengendalian polusi udara, dan melibatkan partisipasi publik dengan sebaik-baiknya,” kata Bondan.
Butuh Peran Semua Pihak
Sejauh ini, Pemprov DKI telah membuat peta jalan Jakarta Cleaner Air 2030 sebagai panduan untuk memperbaiki kualitas udara Jakarta. Salah satunya dengan membangun sistem transportasi massal seperti MRT, LRT, dan BRT. Akan tetapi, upaya tersebut sejauh ini belum optimal karena terbukti udara Jakarta masih tergolong kotor hingga sekarang.
“Ini adalah sebuah wake-up call bagi kita semua. Bahwa emisi ini adalah persoalan serius dan kita kerjakan sama-sama. Dari sisi pemerintah ada regulasinya, ada kebijakannya. Dari sisi masyarakat, kami juga berharap yuk sama-sama kita manfaatkan transportasi umum. Dan dari sisi pemerintah pusat kami juga berharap untuk memantau sumber-sumber polusi yang ada di sekitar Jabodetabek yang memiliki dampak pada kualitas udara di Jakarta,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.