Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • GNA Internasional
  • Berlangganan
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Soft News
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Komunitas
  • Siaran Pers
  • Muda
  • ESG
  • GNA Knowledge Hub
  • Opini

Jangan Sekadar Jual Pemandangan: Mewujudkan Agrowisata Regeneratif di Desa-Desa Indonesia

Diperlukan sebuah pergeseran paradigma yang fundamental dari agrowisata konvensional menuju agrowisata regeneratif—sebuah model yang secara aktif memulihkan ekologi dan menyejahterakan komunitas secara nyata.
Oleh Sofian Junaidi Anom
19 September 2025
pemandangan terasering dari kafe

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.

Dari perbukitan Lembang hingga Kintamani, dari Puncak hingga Trawas, sebuah pola yang sama tengah terjadi. Kafe-kafe estetik dan vila dengan pemandangan sawah terasering bermunculan, menarik ribuan pengunjung dari kota-kota besar yang haus akan suasana alam. Fenomena ini sekilas tampak seperti kemenangan bagi ekonomi lokal. Namun, di baliknya, terdapat sebuah paradoks yang menyembunyikan kemakmuran semu: agrowisata di banyak daerah hanya menjual pemandangan, bukan kesejahteraan yang mengakar.

Sebagian besar bisnis agrowisata masih mendatangkan bahan baku dari luar daerah, sementara petani lokal terus didorong menggunakan pestisida kimia untuk memenuhi permintaan pasar konvensional. Akibatnya, pariwisata yang seharusnya memberdayakan justru menciptakan model yang rapuh dan ekstraktif. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pergeseran paradigma yang fundamental dari agrowisata konvensional menuju agrowisata regeneratif—sebuah model yang secara aktif memulihkan ekologi dan menyejahterakan komunitas secara nyata.

Jebakan Agrowisata: Ekonomi Bocor dan Ekologi Terancam

Masalah pertama dan paling mendasar dari model agrowisata secara umum saat ini adalah terjadinya “kebocoran ekonomi” (economic leakage) yang masif. Dalam hal ini, konsep “Efek Berganda Lokal” yang menyatakan bahwa uang yang dibelanjakan pada bisnis lokal akan terus berputar dan melipatgandakan kesejahteraan di komunitas tersebut, menjadi kurang relevan. Sebagai ilustrasi, kita bisa bertanya: dari secangkir kopi seharga Rp 25.000 di sebuah kafe di desa wisata, berapa rupiah yang benar-benar dinikmati oleh petani lokal jika biji kopinya didatangkan dari luar provinsi? Ketika rantai pasok panjang, petani lokal hanya menjadi penonton di lahannya sendiri, terperangkap dalam siklus kemiskinan struktural di tengah gemerlap pariwisata.

Selain itu, terdapat kontradiksi ekologis yang fatal. Data dari Balai Penelitian Tanah menunjukkan bahwa lebih dari 70% lahan sawah di Indonesia memiliki kandungan C-organik (indikator kesuburan tanah) yang rendah hingga sangat rendah akibat penggunaan pupuk kimia anorganik selama puluhan tahun. Praktik pertanian intensif ini—seperti yang marak terjadi di sentra-sentra hortikultura yang kini menjadi tujuan wisata—ironisnya justru menggerogoti aset utama yang dijual oleh pariwisata: kesehatan tanah, kualitas air, dan keanekaragaman hayati.

Solusi Regeneratif: Tanah Sehat, Pangan Lokal, dan Edukasi

Agrowisata regeneratif adalah kuncinya. “Regeneratif” berarti memperbaiki dan memulihkan secara aktif. Dalam konteks desa-desa wisata agraris, ada tiga pilar utama yang bisa diterapkan.

Pertama, transisi sistemik menuju pertanian organik berbasis prinsip agroekologi. Ini bukan hanya soal berhenti menggunakan bahan-bahan kimia, tetapi mendesain ulang pertanian sebagai sebuah ekosistem cerdas. Limbah organik dari dapur kafe dan vila bukan lagi sampah, melainkan sumber daya berharga yang diolah menjadi kompos.

Kedua, pembangunan rantai pasok pangan “hiperlokal” atau “zero-kilometer”. Perlu diciptakan sebuah sistem di mana kafe, restoran, dan homestay berkomitmen untuk membeli mayoritas bahan bakunya dari petani di desa itu sendiri. Langkah ini mengalirkan pendapatan pariwisata langsung ke kantong para produsen lokal.

Ketiga, menjadikan edukasi sebagai inti pengalaman wisata. Wisatawan modern tidak lagi puas hanya menjadi konsumen pasif. Sebuah desa wisata dapat menawarkan lokakarya pembuatan pestisida nabati atau kelas memasak farm-to-table, mengubah pariwisata dari aktivitas konsumtif menjadi pengalaman transformatif.

BUMDes sebagai Orkestrator: Bukti Nyata dari Desa Ketapanrame

Namun, gagasan agrowisata regeneratif ini tidak akan berhasil jika diserahkan pada mekanisme pasar bebas semata. Diperlukan model “Pariwisata Berbasis Komunitas” (Community-Based Tourism) yang kuat, di mana Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dapat berperan sebagai orkestrator utama. Bukti paling gemilang dari pendekatan ini datang dari Desa Ketapanrame, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Keberhasilan BUMDes Mutiara Welirang di Ketapanrame tidak terjadi dalam ruang hampa. Hasil diskusi kelompok terfokus dalam laporan “Meretas Belenggu Kemiskinan Ekstrem: Kebijakan, Strategi, dan Program Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem 2021-2024” menunjukkan bahwa keberhasilan tersebut adalah buah dari orkestrasi multipihak yang terencana. Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Mojokerto memberikan dukungan pendanaan APBD, promosi, serta pembangunan infrastruktur dasar. Dari sisi akademisi, Universitas Surabaya memberikan pendampingan dan membuka akses jejaring ke dunia usaha. Sementara itu, sektor swasta dan BUMN seperti BRI dan Astra turut berkontribusi melalui program CSR untuk pembangunan sarana dan pelatihan pengembangan kapasitas bagi warga.

Hasil dari proses kolaboratif ini dapat diukur. Dengan mengintegrasikan unit pariwisata dengan pengelolaan air bersih dan kandang komunal, BUMDes Ketapanrame mencatatkan pendapatan lebih dari Rp 7 miliar pada tahun 2023. Dampaknya dapat dirasakan secara langsung di tengah masyarakat: Pemerintah Desa Ketapanrame menyatakan bahwa angka pengangguran berhasil mencapai nol persen dan sebanyak 533 kepala keluarga yang menjadi investor BUMDes menerima pengembalian laba rata-rata Rp 2-3 juta per bulan. Keberhasilan ini, yang juga menyumbang lebih dari Rp 800 juta ke pendapatan asli desa, membuktikan bahwa jika dikelola dengan baik, BUMDes mampu menjadi mesin penggerak ekonomi yang menyejahterakan dan memulihkan.

Mewujudkan Agrowisata yang Tak Sekadar Menjual Pemandangan

Masa depan agrowisata berada di persimpangan jalan. Pilihan yang ada adalah terus membangun agrowisata yang indah di permukaan namun rapuh di akarnya, atau membangun agrowisata dengan fondasi ekonomi yang berakar kuat pada kesehatan tanah dan kesejahteraan petaninya. Membangun agrowisata regeneratif bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keniscayaan untuk pertumbuhan yang adil dan lestari. Masa depan agrowisata seharusnya bukan semata tentang apa yang kita ambil dan tampilkan dari desa-desa Indonesia, melainkan apa yang bisa kita tumbuhkan dan rawat bersamanya.

Editor: Abul Muamar dan Marlis Afridah

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.

Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Pilih Paket Langganan Anda

Sofian Junaidi Anom
+ postsBio

Sofian adalah Ketua Lembaga Perekonomian NU Kabupaten Mojokerto, dan Penggerak Komunitas Terong Gosong.

    This author does not have any more posts.

Continue Reading

Sebelumnya: GovTech AI dan Transformasi Digital di Sektor Pelayanan Publik

Lihat Konten GNA Lainnya

kantor pelayanan publik dengan beberapa pengunjung yang mengantri di tempat duduk. GovTech AI dan Transformasi Digital di Sektor Pelayanan Publik
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

GovTech AI dan Transformasi Digital di Sektor Pelayanan Publik

Oleh Seftyana Khairunisa
19 September 2025
padang rumput berwarna coklat di bawah langit biru Menilik Risiko Iklim di Australia
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Menilik Risiko Iklim di Australia

Oleh Kresentia Madina
19 September 2025
Beberapa perempuan Mollo sedang menenun Bagaimana Masyarakat Adat Mollo Hadapi Krisis Iklim dan Dampak Pertambangan
  • GNA Knowledge Hub
  • Wawancara

Bagaimana Masyarakat Adat Mollo Hadapi Krisis Iklim dan Dampak Pertambangan

Oleh Andi Batara
18 September 2025
Seorang penyandang disabilitas di kursi roda sedang memegang bola basket di lapangan. Olahraga Inklusif sebagai Jalan Pemenuhan Hak dan Pemberdayaan Difabel
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Olahraga Inklusif sebagai Jalan Pemenuhan Hak dan Pemberdayaan Difabel

Oleh Attiatul Noor
18 September 2025
alat-alat makeup di dalam wadah Fast-Beauty dan Dampaknya yang Kompleks
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Fast-Beauty dan Dampaknya yang Kompleks

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
17 September 2025
kawanan gajah berjalan melintasi ladang hijau yang subur Penurunan Populasi Gajah Afrika dan Dampaknya terhadap Ekosistem
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Penurunan Populasi Gajah Afrika dan Dampaknya terhadap Ekosistem

Oleh Kresentia Madina
17 September 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Konten Komunitas GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Pedoman Media Siber
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia