Bisakah Kita Melawan Pemerasan oleh Perusahaan Teknologi?
Cover buku “The Age of Extraction: How Tech Platforms Conquered the Economy and Threaten Our Future Prosperity” karya Tim Wu. | Penerbit: Knopf (2025)
Bertahun-tahun lampau siapapun yang bekerja di bidang keberlanjutan, tanggung jawab sosial, dan/atau reputasi perusahaan seperti punya kesepakatan: perusahaan-perusahaan teknologi informasi dan komunikasi adalah di antara yang paling moncer kinerjanya. Mereka bisa jadi contoh baik bagaimana perusahaan mengoptimalkan kebaikan dari produk dan model bisnisnya. Dampak positif mereka luar biasa besar, terutama terkait dengan optimasi pengetahuan, dan dampak negatifnya jarang dipermasalahkan.
Tetapi kesan itu tak abadi. Dampak negatif mereka kemudian banyak diungkap. Mulai dari pornografi, pelanggaran privasi, jual beli data pengguna, misinformasi dan disinformasi, modifikasi perilaku, dan sebagainya. Ketika Soshana Zuboff menyajikan bukti tak terbantah bahwa Google dan Facebook mengumpulkan data kita semua secara manipulatif, dan memberi nama praktik itu “Kapitalisme Surveilans”, dunia tersadar.
Bagi Yanis Varoufakis, kelakuan perusahaan-perusahaan ini bahkan bukan lagi masuk kategori kapitalistik (kapitalis mencari untung), tetapi mereka mau lebih pasti lagi, jadi yang dicari adalah rente. Mereka menjadi pemilik platform agar siapapun membayar sewa pada mereka, persis seperti para tuan tanah bangsawan dahulu. Karenanya, Varoufakis bilang kita berada pada masa Technofeudalism—yang ia pilih sebagai judul buku terbarunya.
Tak cukup puas dengan memastikan rente, mereka ingin memeras para penyewa platform yang tak lagi mungkin melarikan diri kalau masih ingin bisa berjualan. Maka, semua orang bisa merasakan betapa kualitas layanan cenderung memburuk tapi harganya melangit. Oleh Cory Doctorow, fenomena ini dituliskan ke dalam kitab teranyarnya, Enshittification: Why Everything Suddenly Got Worse and What to Do About It. Saya sudah memesan buku ini sejak beberapa minggu lalu, tapi belum juga tiba untuk bisa saya ceritakan dan timbang isinya.
Dominasi Platform Teknologi dan Ancaman terhadap Kesejahteraan Kolektif
Alih-alih, ketika Jumat lalu saya mampir ke Periplus, saya menemukan buku The Age of Extraction: How Tech Platforms Conquered the Economy and Threaten Our Future Prosperity karya Tim Wu yang adalah sobat karib Doctorow sejak belia. Lebih luas daripada apa yang dibahas Doctorow, buku ini menampilkan sebuah kajian yang tajam dan kritis tentang bagaimana platform teknologi mengubah bukan hanya sektor ekonomi digital, tetapi ekonomi secara keseluruhan—serta bagaimana perubahan tersebut menimbulkan risiko bagi kemakmuran bersama di masa depan. Begitu penjelasan yang saya baca sekilas, sebelum saya memutuskan untuk membeli dan langsung membacanya.
Wu, seorang cendekiawan—dia profesor hukum di Universitas Columbia—dan pembuat kebijakan yang sudah malang-melintang dalam bidang antimonopoli dan teknologi, menggunakan karyanya ini untuk menghubungkan titik-titik antara konsentrasi kekuasaan platform, ekstraksi nilai dari pengguna dan pemasok, serta dampaknya terhadap demokrasi serta distribusi manfaat dan mudarat ekonomi. Pada bagian pengantar bukunya, ia menegaskan bahwa dunia digital yang diramalkan akan memberdayakan massa ternyata menciptakan kelas ekonomi baru: jawara platform (pemilik dan konco-konco bisnisnya) dan mayoritas manusia, kita semua, yang dibuat semakin tak berdaya.
Selanjutnya, Wu dalam bab pertama mengulas sejarah regulasi persaingan dan perubahan lanskap ekonomi yang membuka jalan bagi dominasi platform. Ia meninjau era pasca-Perang Dunia II di Amerika Serikat ketika penegakan antitrust cukup kuat. Kasus-kasus seperti terhadap perusahaan besar telekomunikasi ataupun industri lainnya menunjukkan bahwa negara sebetulnya memiliki kapasitas untuk menghadang konsentrasi kekuasaan. Namun, mulai dari 1970-an dan 1980-an, penegakan hukum melemah, filosofi pasar bebas menjadi dominan, dan regulasi antimonopoli mengalami kemunduran. Wu lalu menyebut bahwa perubahan regulasi—serta perkembangan teknologi—memicu transformasi dari ekonomi industri ke ekonomi platform yang semakin terpusat.
Pada bab berikutnya, Wu beralih ke inti mekanisme ekstraksi yang dijalankan oleh platform raksasa. Ia menunjukkan bagaimana platform tidak hanya menyajikan layanan yang ‘memudahkan’ konsumen, tetapi secara terstruktur merancang model yang terus menarik perhatian, menyedot data, waktu, dan interaksi pengguna sebagai bahan mentah ekonomi. Algoritma rekomendasi, pengumpulan data pengguna, integrasi vertikal platform yang mengendalikan pemasok dan konsumen—semuanya menjadi bagian dari mekanisme ekstraksi yang sistematis itu. Wu mencatat bahwa kemudahan pemanfaatan (convenience) adalah unsur yang paling diremehkan sekaligus paling andal dalam meningkatkan keperkasaan dan kekuasaan platform.
Wu kemudian memperluas cakupan pembahasannya dari dunia digital murni ke sektor-sektor ekonomi riil seperti kesehatan, perumahan, finansial, dan jasa pada umumnya. Ia menunjukkan bahwa logika platform kini semakin merembet ke sektor-sektor yang dianggap esensial. Contohnya ialah bagaimana layanan kesehatan platform cenderung menaikkan biaya bagi konsumen sekaligus menurunkan penghasilan bagi penyedia layanan kesehatan. Juga, bagaimana platform perantara perumahan atau jasa keuangan dapat menjadi gatekeeper yang secara arbitrer menyaring pemasok dan menumpuk surplus. Dengan demikian, ekonomi ekstraksi tidak lagi terbatas pada klik dan iklan yang ditempelkan, melainkan juga pada menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari dan infrastruktur sosial. Analisis ini membuka mata bahwa masalahnya bukan teknologi saja, melainkan bagaimana teknologi diposisikan secara ekonomi dan politik.
Pada bab-bab berikutnya, Wu memperkenalkan generasi berikutnya dari tantangan: generative AI, automasi skala besar, dan integrasi data lintas-platform yang makin memperkuat posisi dominan platform. Ia menekankan bahwa AI jelas bukanlah solusi otomatis untuk pemberdayaan massa, melainkan, belajar dari masa lalu, potensi untuk memperdalam ekstraksi. Platform yang menguasai data skala raksasa (big data) dapat menggunakan AI untuk personalisasi, menurunkan biaya pemasok, memperkuat lock-in pengguna, dan memunculkan berbagai hambatan baru bagi kompetitor. Wu menyajikan skenarionya dengan nada yang penuh kewaspadaan. Kita tidak sedang menuju era bebas hambatan, melainkan era ekstraksi skala raksasa, jika tidak segera diatur.
Menjelang bab pamungkas, Wu membahas konsekuensi makro-ekonomi dan politik dari konsentrasi platform. Wu menyajikan argumentasi bahwa ketika kekuatan ekonomi terkonsentrasi dalam sedikit perusahaan platform, maka dinamika sosialnya pun berubah. Distribusi pendapatan bakal makin timpang, jalan bagi inovasi semakin sempit, dan ruang demokrasi serta kontrol publik terus melemah. Ia mengingatkan bahwa penumpukan kekuatan ekonomi dapat menjadi katalisator bagi disfungsi demokrasi serta munculnya otoritarianisme. Ia memaparkan lima tahapan berikut: monopolisasi industri besar; ekstraksi keuntungan monopoli yang menciptakan jurang pemenang-pecundang; kemunculan ketidakpuasan massa; kegagalan institusi demokratis dalam merespons; dan, akhirnya, kemunculan ‘strongman’ yang mengklaim mewakili rakyat.
Akhirnya, dalam bab penutup, Wu merumuskan serangkaian rekomendasi kebijakan. Ia menyerukan penguatan penegakan antimonopoli yang independen dan disegani, penerapan aturan utilitas atau layanan penting untuk platform yang menjadi infrastruktur sosial, kewajiban netralitas dan keterbukaan bagi perusahaan yang menguasai akses, serta peran serikat pekerja dan pemasok agar ada countervailing power. Namun, Wu juga mafhum dan realistis. Ia tahu bahwa hambatan politik sangatlah besar. Reformasi struktur ekonomi platform memerlukan optimasi kapasitas negara, dukungan publik, dan keberanian legislatif—yang saat ini semuanya sering absen.
Menimbang Ekonomi Platform
Bagi saya, buku ini adalah bacaan penting bagi siapa pun yang ingin memahami bagaimana ekonomi digital saat ini lebih dari sekadar soal hype atas teknologi. Ia adalah soal kekuasaan ekonomi yang mengubah struktur sosial dan politik. Kelebihan utama Wu terletak pada kemampuannya menyusun narasi yang koheren, menghubungkan sejarah industri dengan tantangan zaman sekarang dan masa depan, serta menawarkan peta kebijakan yang masuk akal tanpa terlalu tersesat dalam jargon teknis.
Gaya penulisannya lugas, analoginya relevan, dan pembaca dari latar non-teknis seperti saya pun dapat mengikuti argumennya. Dalam konteks Indonesia atau negara berkembang manapun, bagian tentang bagaimana platform mempengaruhi sektor-esensial—misalnya kesehatan dan perumahan—sangat relevan untuk refleksi lokal.
Meski demikian, saya mendapati buku ini juga memiliki sejumlah keterbatasan. Pertama, nada pesimisme yang kuat kadang membuat ruang bagi manuver politik dan institusional menjadi terasa sempit. Wu mengajukan hipotesis tentang bagaimana konsentrasi ekonomi dapat berkontribusi pada timbulnya otoritarianisme dan disfungsi demokrasi—argumen yang mungkin mengagetkan sejumlah orang, atau setidaknya provokatif—tetapi di sisi lain ia kurang mengurai secara mendalam variabel-variabel politik yang bisa mengubah hasil ini, seperti perbedaan konteks nasional atau kebijakan spesifik negara.
Kedua, lantaran buku ini dibuat ringkas dan mudah dicerna, kedalaman argumen terkadang terasa dikorbankan demi kelancaran narasi. Ada momen-momen di mana pembaca seperti saya bakal menghendaki data empiris yang lebih ‘berat’—misalnya statistik lintas-sektor, analisis kuantitatif tren pasar, atau upah yang dibayarkan pada perusahaan platform—akan merasakan kekosongan. Pilihan Wu untuk pendekatan sintesis membuatnya sangat komunikatif tetapi juga berarti bahwa bukti empiris kadangkala disajikan dalam bentuk yang kelewat ringkas, serta tanpa lampiran data mendalam.
Ketiga, pada bagian solusi—meskipun Wu menampilkan daftar kebijakan—ia juga mengakui kesulitan politik dalam mengimplementasikannya. Bagi pembaca yang mencari strategi politik konkret—bagaimana membangun koalisi, memenangkan dukungan legislatif atau mengelola resistensi industri—buku ini ‘cuma’ memberikan acuan di tingkat prinsip, tetapi tidak selalu sampai pada tataran taktik praktis yang operasional.
Di atas itu semua, The Age of Extraction jelas sangat saya rekomendasikan kepada mereka yang ingin beroleh titik awal pemahaman mendalam tentang ekonomi platform dan dampaknya. Buku ini sangat sukses membuka diskusi dan memperluas wawasan dalam bahasa yang dapat dijangkau oleh pengamat kebijakan, manajemen, akademisi lintas-disiplin, juga pembaca awam seperti saya. Bagi pembaca yang menuntut tinjauan empiris mendalam atau panduan politis implementasi yang sangat rinci, buku ini memang bukan monograf dengan data yang intensif, melainkan lebih sebagai peta jalan ideologis dan analitis—yang kemudian masih harus dikaitkan dengan riset sektoral atau konteks lokal masing-masing.
Dalam konteks industri teknologi informasi dan komunikasi, termasuk dan terutama AI, buku ini memberi landasan kuat untuk memahami bahwa teknologi bukanlah, atau memang tak pernah menjadi, aset yang netral. Ia selalu datang dilengkapi dengan kekuatan ekonomi dan politik yang bisa jadi sangat dan terus membesar. Oleh karena itu, teknologi seperti AI perlu diatur dan dikendalikan secara saksama, sebelum kita semua direduksi habis-habisan menjadi bahan mentah dalam ekonomi ekstraksi abad 21 ini.
Soal pengaturan dan pengendalian itu, ketika selesai membaca buku tersebut, di benak saya tersimpan sebuah pertanyaan: bisakah?
Editor: Abul Muamar
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member SekarangJalal adalah Penasihat Senior Green Network Asia. Ia seorang konsultan, penasihat, dan provokator keberlanjutan dengan pengalaman lebih dari 25 tahun. Ia telah bekerja untuk beberapa lembaga multilateral dan perusahaan nasional maupun multinasional dalam kapasitas sebagai subject matter expert, penasihat, maupun anggota board committee terkait CSR, keberlanjutan dan ESG; menjadi pendiri dan principal consultant di beberapa konsultan keberlanjutan; juga duduk di berbagai board dan menjadi sukarelawan di organisasi sosial yang seluruhnya mempromosikan keberlanjutan.

Memanfaatkan Potensi Jamur untuk Restorasi Lingkungan melalui Mikoremediasi
Kerja Sama AZEC dan Jalan Berliku Menuju Transisi Energi yang Adil
Memberdayakan Pengusaha Perempuan untuk Ekonomi Hijau ASEAN
Bagaimana Produktivitas Pertanian Bahrain Meningkat di Tengah Kemerosotan Ekonomi Global
Meninjau Second NDC Indonesia dan Tantangan dalam Penerapannya
Membina Kerjasama Internasional untuk Mengatasi Kejahatan Siber