Tubuh yang Sakit di Bumi yang Sekarat: Sebuah Refleksi atas Antropologi Kesehatan Planet
Cover Buku The Anthropology of Human and Planetary Health karya Merrill Singer. | Penerbit: Springer (2025)
“The good Earth – we could have saved it,
but we were too damn cheap and lazy.”― Kurt Vonnegut, A Man Without a Country
Seringkali, ketika berbicara tentang krisis iklim, kita membincangkannya seolah-olah itu adalah peristiwa yang terjadi di luar sana. Kita melihat gletser yang runtuh di Antartika melalui layar ponsel, kita membaca tentang kebakaran hutan di Kalimantan sebagai statistik karbon, atau kita memandang naiknya permukaan air laut sebagai masalah infrastruktur sipil. Kita, manusia modern, telah lama terbuai oleh ilusi Cartesian yang memisahkan pikiran dari tubuh, dan lebih jauh lagi, memisahkan tubuh manusia dari alam raya. Kita merasa diri kita adalah pengamat di dalam sebuah bioskop yang sedang terbakar, tak sadar bahwa api itu bukan bagian dari adegan film, melainkan mulai menjilat kulit kita sendiri, dan kita seperti terikat di kursi penonton.
Dalam konteks seperti itu, kitab The Anthropology of Human and Planetary Health hadir bukan sekadar sebagai teks akademis belaka, melainkan sebagai sebuah intervensi mendesak terhadap ilusi keterpisahan tersebut. Melalui lensa antropologi kritis, buku ini meruntuhkan tembok antara kesehatan manusia secara kolektif dan ekosistem yang hancur; memaksa kita untuk melihat bahwa kesehatan manusia dan kesehatan planet bukanlah dua entitas yang berbeda, melainkan satu napas yang sama dan kini tengah tersengal-sengal. Upaya meruntuhkan tembok itu benar-benar membuat saya sangat tertarik pada pesan umum dan detail substansi buku ini.
Kerangka Ekosindemik
Inti dari argumen buku ini bertumpu pada konsep yang mencerahkan bagi benak yang meneliti sekaligus menakutkan bagi tubuh yang mengalami: ekosindemik (ecosyndemics). Istilah ini merupakan evolusi dari konsep sindemik yang diperkenalkan oleh penulis buku ini pada tahun 2009, antropolog medis paling terkenal Merrill Singer—gagasan bahwa penyakit tidak beroperasi dalam ruang hampa, melainkan saling berinteraksi secara sinergis dalam kondisi sosial yang buruk, memperparah dampak satu sama lain. Namun, buku ini kemudian melangkah lebih jauh. Singer—yang meninggal dunia pada 3 Mei 2025, setelah buku ini terbit pada 19 Maret 2025—tidak lagi hanya melihat interaksi antara HIV dan TBC, atau diabetes dan kemiskinan, tetapi menarik garis tegas ke atas, ke langit yang penuh smog, dan ke bawah, ke tanah yang terkontaminasi pestisida.
Dalam kerangka ekosindemik, perubahan iklim bukanlah sekadar latar belakang panggung; ia adalah aktor utama yang memperburuk kondisi kerentanan tubuh kita semua. Buku ini dengan cermat menguraikan bagaimana pemanasan global bertindak sebagai pengganda ancaman (threat multiplier) bagi kesehatan manusia. Panas ekstrem tidak hanya menyebabkan heatstroke; tetapi juga memperburuk kondisi kardiovaskular, meningkatkan prevalensi penyakit ginjal pada pekerja pertanian, dan memperluas jangkauan vektor nyamuk yang membawa demam berdarah ke lintang yang lebih tinggi.
Narasi yang dibangun sangat kuat: tubuh manusia adalah situs di mana ketidakadilan lingkungan bermanifestasi menjadi patologi. Ketika kita melihat seorang anak di daerah kumuh menderita asma kronis, buku ini mengajak kita untuk tidak hanya melihat paru-paru yang meradang, tetapi melihat sistem zonasi kota yang rasis, emisi industri yang tidak dibatasi lewat petunjuk sesuai sains, hingga puncaknya pada Kapitalisme Fosil yang mencekik peradaban. Tubuh anak itu adalah arsip hidup dari kegagalan politik dan ekonomi dalam menjaga Bumi. Ketika sampai pada kesadaran ini, saya ‘memaki’ Bill Gates, yang baru-baru ini suratnya, Three Tough Truths about Climate, seperti menyarankan kita memilih antara tujuan mitigasi dengan kesejahteraan.
Melampaui Biomedis: Sebuah Kritik Sosial
Salah satu kekuatan paling memikat dari buku ini—yang mengingatkan pada tradisi etnografi sekaligus jurnalisme investigasi mendalam—adalah penolakannya untuk bersembunyi di balik netralitas sains biomedis. Singer berani menyatakan bahwa kesehatan adalah konsep yang sangat politis. Dalam bab-bab yang membahas determinan sosial, buku ini membongkar mitos bahwa penyakit adalah semata-mata kegagalan biologis atau kurangnya tanggung jawab individu.
Sebaliknya, buku ini menunjuk jari pada struktur kekuasaan. Ia mengeksplorasi bagaimana Neoliberalisme dan warisan kolonialisme telah menciptakan sacrifice zones—wilayah-wilayah di mana ekosistem dan penduduknya dianggap dapat dipinggirkan bahkan dibuang demi akumulasi modal. Dari komunitas kulit hitam di Amerika Serikat yang dikepung oleh limbah beracun hingga petani di India yang bunuh diri akibat gagal panen karena iklim yang tak menentu, buku ini memberikan wajah manusiawi pada statistik lingkungan. Saya membayangkan bahwa karya Singer ini adalah perwujudan antropologi yang marah, namun kemarahan itu disalurkan melalui analisis yang disiplin dan data yang tak terbantahkan.
Buku ini juga berhasil mengangkat pentingnya dekolonisasi pengetahuan. Di tengah dominasi sains Barat yang seringkali reduksionis, Singer memberikan panggung yang layak bagi epistemologi Masyarakat Adat. Bukan sebagai romantisme masa lalu, melainkan sebagai teknologi canggih dan tepat waktu untuk kelangsungan hidup kita semua. Pengetahuan adat yang melihat alam sebagai kerabat (kin), bukan komoditas, ditawarkan sebagai antitesis terhadap logika ekstraktif yang telah membawa kita ke tepi jurang kepunahan. Ini adalah pengakuan bahwa untuk menyembuhkan Bumi, kita mungkin harus berhenti mendengarkan para ekonom Neoklasik yang terobsesi dengan PDB dan mulai mendengarkan para tetua adat yang memahami ritme hutan dan membaca aliran sungai.
Mengapa Buku Ini Penting Sekarang
Membaca buku ini di tengah era pandemi pasca-COVID-19, bagi saya, memberikan resonansi yang mengerikan. Singer secara efektif menempatkan pandemi zoonosis dalam konteks deforestasi dan invasi manusia ke habitat liar. Ini adalah peringatan bahwa COVID-19 bukanlah sebuah Angsa Hitam—peristiwa acak yang tak terduga seperti yang diperkenalkan oleh Nassim Taleb—melainkan konsekuensi logis dari cara hidup kita yang memerkosa biosfer.
Kekuatan utama buku ini terletak pada kapasitasnya untuk mensintesis. Kita hidup di zaman spesialisasi ilmu pengetahuan yang hiper-sempit, di mana ahli iklim jarang berbicara dengan dokter jantung, dan sosiolog jarang duduk semeja dengan ahli biologi kelautan. Buku ini secara sengaja melanggar batas-batas disipliner tersebut. Ia menjahit epidemiologi, ekologi, sejarah politik, dan filsafat etika menjadi satu permadani narasi yang koheren. Bagi pembaca yang merasa kewalahan oleh banjir informasi yang terfragmentasi tentang krisis dunia, buku ini menawarkan sebuah peta jalan intelektual yang mengintegrasikan kepingan-kepingan puzzle tersebut.
Gaya penulisan yang, meskipun akademis, tetap mempertahankan urgensi moral, membuat argumennya sulit untuk diabaikan. Singer tidak hanya meminta kita untuk memahami dunia, tetapi merasakannya—untuk merasakan solastalgia, kesedihan akibat hilangnya lingkungan rumah yang kita kenal, dan kecemasan iklim bukan sebagai gangguan mental, melainkan sebagai respons yang waras terhadap dunia yang sedang sakit.
Namun, tentu saja, tidak ada karya yang sempurna. Dalam ambisinya yang luas itu, buku ini masih meninggalkan beberapa celah yang patut dikritisi. Jika kita meminjam analogi medis, buku ini adalah diagnosa yang jenius. Ia mampu mengidentifikasi penyakit—yaitu Kapitalisme Ekstraktif dengan dua anak kembar yang buruk rupa: ketidakadilan sosial dan kerusakan ekologis—dengan presisi mikroskopis dan menjelaskan patofisiologinya (ekosindemik) dengan brilian. Namun, ketika tiba saatnya untuk menulis resep obat, tulisannya menjadi sedikit buram.
Kritik pertama berkaitan dengan aksesibilitas. Meskipun temanya universal, bahasanya seringkali terjebak dalam menara gading akademis. Penggunaan jargon-jargon antropologi kritis yang padat mungkin menjadi penghalang bagi pembaca awam atau pembuat kebijakan yang justru paling perlu memahami pesan ini. Dalam upaya membangun legitimasi teoretis, terkadang narasi kehilangan daya pikat emosional yang sederhana. Seandainya Singer lebih banyak menggunakan narasi karakter—cerita individu yang spesifik—sebagai jangkar untuk teori-teori besar tersebut, mungkin jumlah pembaca yang dapat menikmati dan mendapatkan manfaat dari buku ini bakal jauh luas. Bagaimanapun, kita butuh lebih banyak wajah di antara data.
Kritik kedua, dan mungkin yang lebih substansial, adalah mengenai peta jalan solusi yang ditawarkan. Buku ini sangat kuat dalam menyerukan perlunya perubahan sistemik dan transformasi paradigma. Namun, apa artinya itu buat seorang gubernur, seorang CEO rumah sakit, atau seorang aktivis lokal? Seringkali, solusi yang ditawarkan terasa agak utopis dan/atau terlalu abstrak. Seruan untuk mengakhiri Neoliberalisme tentu saja adalah tujuan akhir yang valid. Tetapi, langkah-langkah inkremental apa yang bisa kita ambil sembari kita berjuang secara radikal menuju ke sana? Bagaimana kita menerjemahkan prinsip Kesehatan Planet ke dalam anggaran belanja negara atau kurikulum sekolah kedokteran secara teknis?
Bagi saya, apa yang inkremental dan yang radikal itu perlu dijelaskan dengan lebih baik. Karena jelas ada risiko bahwa tanpa panduan taktis yang lebih konkret, pembaca akan menutup buku ini dengan perasaan putus asa yang melumpuhkan. Diagnosis yang begitu suram tentang keterkaitan antara rasisme, kemiskinan, dan ‘kiamat’ iklim bisa membuat masalah terasa terlalu besar untuk diselesaikan. Buku ini saya bayangkan bisa diperkuat dengan bab penutup yang lebih pragmatis, yang menyoroti contoh-contoh keberhasilan skala kecil atau model kebijakan transisi yang sudah berjalan, memberikan secercah cahaya yang bisa dituju di ujung terowongan yang gelap ini.
Sebuah Panggilan untuk Kesadaran Baru
Terlepas dari ruang perbaikan yang saya identifikasi itu, buku The Anthropology of Human and Planetary Health adalah sebuah pencapaian intelektual yang benar-benar berharga. Di tengah kebisingan penyangkalan iklim dan kelambanan politik, yang ditunjukkan secara telanjang bahkan di tengah-tengah COP 30 yang sedang berlangsung di Belem, Brazil, ketika resensi ini saya tulis, buku ini berdiri tegak sebagai saksi. Ia mengingatkan kita bahwa kita mustahil memiliki manusia yang sehat di planet yang sakit. Kesehatan bukanlah kondisi statis individu, melainkan cerminan dari kesehatan jejaring kehidupan yang menopang kita.
Buku ini menantang kita untuk memperluas definisi ‘pasien’ yang selama ini kita pakai. Pasien bukan lagi sekadar tubuh yang terbaring di bangsal atau ruang ICU, melainkan juga sungai yang tercemar yang mengalir di belakang rumah sakit itu, hutan yang ditebang yang memicu migrasi virus, juga udara penuh karbon dan partikulat yang kita hirup bersama.
Pesan buku ini mungkin bisa dibaca sebagai sebuah teguran kasih sayang yang ditulis Singer dengan keras: kita harus menyembuhkan hubungan kita dengan Bumi, sesegera mungkin, atau kita akan mati bersama luka-lukanya. Ini adalah bacaan penting bagi siapa saja yang masih berharap bahwa dekade 2070an bukanlah sebuah tonggak waktu ketika epitaf bagi Bumi dan peradaban manusia ditulis—kemungkinan masa depan yang diramalkan oleh Donella Meadows dkk dalam laporan The Limits to Growth, juga dalam imajinasi Vonnegut yang saya kutip di bagian awal tulisan ini. Singer telah menuliskan pesan terakhirnya tentang keperluan penulisan sebuah bab baru dari kesembuhan kolektif Bumi-Manusia jauh sebelum dekade itu. Dan saya berharap kita semua mendengarkannya.
Editor: Abul Muamar
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member SekarangJalal adalah Penasihat Senior Green Network Asia. Ia seorang konsultan, penasihat, dan provokator keberlanjutan dengan pengalaman lebih dari 25 tahun. Ia telah bekerja untuk beberapa lembaga multilateral dan perusahaan nasional maupun multinasional dalam kapasitas sebagai subject matter expert, penasihat, maupun anggota board committee terkait CSR, keberlanjutan dan ESG; menjadi pendiri dan principal consultant di beberapa konsultan keberlanjutan; juga duduk di berbagai board dan menjadi sukarelawan di organisasi sosial yang seluruhnya mempromosikan keberlanjutan.

Menilik Potensi dan Tantangan Pengembangan Biofuel dari Limbah Pertanian
Kemajuan dan Kesenjangan Energi Terbarukan Dunia sebagai Sumber Listrik
Menurunnya Kadar Oksigen Sungai-Sungai di Dunia
Bagaimana Kampung Nelayan Merah Putih dapat Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir?
(Bukan Sekadar Kisah) Miliarder yang Mewakafkan Seluruh Hartanya bagi Bumi
Bagaimana Sains Warga dapat Bantu Atasi Polusi Plastik