Perlunya Keterbukaan dan Pelibatan Publik Skala Luas dalam Pembuatan Kebijakan Pendidikan
Awal 2022 ini terdapat 2 isu yang mengemuka terkait kebijakan pendidikan di Indonesia. Sayang keduanya melahirkan kontroversi di kalangan pegiat dan akademisi pendidikan, terutama perihal minimnya keterbukaan dan pelibatan publik skala luas dalam pembuatan kebijakan. Kedua kebijakan tersebut adalah (1) perubahan kurikulum nasional dan (2) uji publik draft Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Mari kita lihat satu per satu.
Perubahan kurikulum nasional
Pertama, ketika Mendikbudristek Nadiem Makarim meluncurkan Kurikulum Merdeka (11/2/2022) sebagai nama resmi dari kebijakan kurikulum baru, terdapat ganjalan yang sempat membuahkan kritik oleh banyak pihak. Beberapa pihak mempersoalkan pergantian rumusan Kompetensi Dasar (KD) menjadi Capaian Pembelajaran (CP), termasuk soal penghapusan jurusan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Lainnya mengkritik ketidakterbukaan dan minimnya pelibatan publik proses perubahan kurikulum.
Sebenarnya kritik perihal desain, struktur, dan produk kebijakan kurikulum baru secara keseluruhan adalah hal yang wajar. Menjadi tidak wajar ketika kritiknya justru perihal ketidakterbukaan dan pelibatan publik. Idealnya, sebuah kurikulum nasional dikembangkan secara terbuka dan demokratis. Kenyataannya, pengembangan Kurikulum Merdeka tidak demikian. Kasus protes keras isu penghapusan mata pelajaran sejarah di jenjang SMA oleh guru-guru sejarah menunjukkan bahwa mereka tidak dilibatkan dalam pengembangan kurikulum.
Kritik berlanjut hingga jelang peluncuran Kurikulum Merdeka, karena walau wacana “kurikulum prototipe” ini sudah dikampanyekan ke mana-mana sebagai kurikulum resmi di sekolah yang ikut program Sekolah Penggerak, namun dokumen evaluasi terhadap Kurikulum 2013 dan naskah akademik yang menjadi dasar argumentasi ilmiah kurikulum prototipe tidak dipublikasikan. Baru ketika diluncurkan pada Jumat, 11 Februari 2022 file naskah akademik dimunculkan, sementara dokumen evaluasi Kurikulum 2013 sudah diunggah lebih dulu sebagai data pendukung audiensi Kemdikbudristek dengan anggota dewan.
Beruntung Kurikulum Merdeka ini merupakan kurikulum opsional, setidaknya sampai waktu diterapkan sebagai kurikulum nasional pada tahun 2024. Artinya, walau sudah diluncurkan dengan nama resmi Kurikulum Merdeka, sebetulnya masih terbuka peluang untuk mengubahnya hingga 2024 jika ditemukan hal yang kurang tepat. Dengan demikian, sekarang hingga 2024 nanti merupakan waktu bagi para praktisi, aktivis, akademisi, bahkan masyarakat umum untuk mengkaji Kurikulum Merdeka plus naskah akademiknya, juga dokumen evaluasi Kurikulum 2013. Kemdikbudristek seharusnya tetap membuka ruang-ruang dialog dan perbaikan terhadap Kurikulum Merdeka.
RUU Sisdiknas
Kedua, perumusan RUU Sisdiknas agak berbeda karena tidak menyediakan waktu perbaikan yang lebih fleksibel seperti pengembangan kurikulum nasional. Hal inilah yang menguatkan rasa khawatir insan-insan pendidikan, mengingat sebelumnya Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga dibuat secara tertutup, tergesa-gesa, dan tidak melibatkan publik secara luas. Hasilnya, bukan hanya undang-undang tersebut dikecam dan dikritik habis-habisan karena dianggap hanya melayani kepentingan pasar, tapi juga diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Tentunya perubahan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diharapkan tidak bernasib sama. Oleh karenanya wajar ketika Kemdikbudristek menyatakan sedang melakukan uji publik RUU Sisdiknas sejak akhir Januari 2022 hingga pertengahan Februari 2022 banyak menuai protes. Karena hanya sedikit pihak yang dilibatkan, draft RUU Sisdiknas dan naskah akademiknya tidak dibuka luas. Bahkan pihak yang diundang mengikuti uji publik diminta untuk tidak menyebarkan draft RUU dan naskah akademiknya dengan membubuhkan tanda tangan di atas materai sebagaimana dikemukakan dalam surat terbuka Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan.
Perubahan atau pembaruan UU Sisdiknas sangat penting, karena begitu banyak perubahan yang terjadi sejak 2003 hingga 2022 sekarang. Ada beberapa pasal yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh MK, ada pasal-pasal yang tidak dijalankan secara tegas (untuk tidak mengatakan “diabaikan” oleh Pemerintah), ada juga rumusan-rumusan yang perlu diperbarui seiring perkembangan semangat zaman. Namun, penyusunan draft RUU Sisdiknas yang tergesa-gesa, seolah sekadar memenuhi syarat formal administratif dan seperti menyembunyikan diri dari mata publik, inilah yang harus ditentang.
Alasannya sederhana, yaitu UU Sisdiknas terkait langsung dengan masa depan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional Indonesia. Artinya, RUU Sisdiknas terkait hajat hidup orang banyak. Ketidakterbukaan dalam penyusunan dan uji publik di awal tahun 2022 ini mirip dengan ketika UU Cipta Kerja hendak disahkan walau diprotes di mana-mana. Selain itu, ketidakterbukaan ini tidak sesuai dengan semangat demokrasi, juga bertentangan dengan Peraturan Presiden No. 87 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang salah satunya adalah prinsip keterbukaan.
Pentingnya Keterbukaan dan Pelibatan Publik
Tidak ada alasan yang absah untuk bekerja secara “sembunyi-sembunyi” dalam menyusun draft RUU Sisdiknas. Apakah karena takut akan kritik, suara, pendapat, dan usulan ataukah ada kepentingan tersembunyi yang hendak dikamuflasekan dalam RUU Sisdiknas? Seharusnya informasi terkait siapa tim perumusnya, kapan dibentuk, bagaimana perkembangannya dari waktu ke waktu, jadwal uji publik, mekanisme untuk mengakses draft RUU Sisdiknas dan naskah akademiknya dibuka saja secara gamblang, sehingga membuka banyak ruang sebagai saluran hasil telaah dan usulan terhadap RUU Sisdiknas.
Kegelisahan dan kekhawatiran ini melahirkan salah satunya Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan menyerahkan surat terbuka kepada Komisi X DPR Republik Indonesia. Intinya tiada lain kecuali mendorong keterbukaan informasi, pelibatan publik, dan tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan RUU Sisdiknas. Pembahasan RUU Sisdiknas nanti mestinya dilakukan secara terbuka, tidak “diam-diam” saja, dan melibatkan banyak pihak. Termasuk perguruan tinggi melalui Focus Group Discussion (FGD), seminar, public hearing, dan riset terkait RUU Sisdiknas dan naskah akademiknya.
Editor: Marlis Afridah
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Edi adalah dosen di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (UNNES), terlibat dalam Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan.