Meningkatkan Hak Maternitas Pekerja Perempuan
Hak maternitas bukanlah urusan pribadi perempuan. Hak ini bertaut erat dengan keberlangsungan kehidupan umat manusia dan bangsa. Karenanya, hak maternitas mesti dipandang sebagai urusan sosial alih-alih personal perempuan.
Namun, pandangan seperti itu belum berlaku secara luas dan merata—belum banyak mewujud ke dalam sikap, tindakan, hingga kebijakan di semua tempat. Hak maternitas berupa cuti hamil dan melahirkan, misalnya. Beberapa negara telah menerapkan kebijakan cuti hamil dan melahirkan lebih dari tiga bulan, sementara sebagian negara lainnya belum.
Di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak membuka harapan bagi peningkatan hak maternitas, terutama terkait cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan dan cuti pendampingan bagi laki-laki (suami).
Mengenal Hak Maternitas
Komnas Perempuan mendefinisikan hak maternitas sebagai hak asasi manusia yang khusus melekat pada perempuan karena fungsi reproduksinya, mencakup cuti haid, cuti hamil/ melahirkan dan menyusui. Hak maternitas berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar perempuan dan keluarganya dalam beradaptasi secara fisik dan psikososial untuk mencapai kesejahteraan. Konvensi ILO Nomor 183 menyatakan bahwa cuti hamil tidak boleh kurang dari 14 minggu, sementara rekomendasi ILO Nomor 191 menyarankan cuti hamil setidaknya 18 minggu.
Di seluruh dunia, pedoman cuti hamil minimum diatur oleh undang-undang dan dalam banyak kasus didanai oleh pemerintah. Beberapa negara memberlakukan cuti hamil/melahirkan jauh melampaui rekomendasi ILO dengan mempertimbangan kondisi kesehatan fisik dan psikis perempuan. Bulgaria, misalnya, memberlakukan cuti melahirkan minimum selama 58,6 pekan (satu tahun satu bulan). Sementara Yunani memberikan cuti selama 43 pekan (setara 9 bulan) bagi perempuan yang melahirkan.
Kondisi di Indonesia
Di Indonesia, hak maternitas diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU tersebut, perempuan pekerja berhak mendapatkan cuti hamil selama 3 bulan dan 1,5 bulan jika mengalami keguguran. Sementara bagi suami, hak cuti pendampingan diberikan selama 2 hari dengan upah penuh.
Namun, kenyataannya, belum semua orang mendapatkan hak maternitas, apalagi hak maternitas yang layak. Masih banyak perusahaan atau pemberi kerja yang melanggar hak maternitas pekerja. Beberapa bentuk pelanggaran yang sering terjadi adalah tidak membolehkan pekerja perempuan untuk mengambil cuti haid, menghalangi pekerja memperoleh cuti keguguran, hingga melarang pekerja untuk hamil.
“Ada pula kebijakan perusahaan yang menghalangi hak melahirkan dengan aman,” ujar Rainy Hutabarat, anggota Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan juga mencatat adanya perusahaan yang menutupi kasus pelanggaran hak maternitas pekerja perempuan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, ada pula lingkungan kerja yang tidak mempertimbangkan kondisi perempuan di awal masa kehamilan. Dalam hal ini, pekerja perempuan yang sedang hamil diperlakukan sama seperti pekerja lainnya yang tidak hamil, dan dianggap mampu menjalankan pekerjaan seperti biasa. Padahal, kehamilan awal berdampak signifikan terhadap kondisi kesehatan perempuan, dan bekerja keras berarti bertarung dengan risiko keguguran.
Yang tidak kalah menyedihkan, kehamilan bahkan dijadikan alasan oleh sebagian perusahaan/pemberi kerja untuk memutus hubungan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh organisasi Perempuan Mahardhika pada 2018 menemukan bahwa 4 dari 25 pekerja perempuan menyembunyikan kehamilan mereka karena takut kehilangan pekerjaan dan pendapatan.
“Hamil ataupun tidak, perlakuannya sama saja. Target kerja mereka tetap tinggi dengan kesempatan istirahat yang terbatas dan adanya lembur. Akibatnya, tujuh dari 93 pekerja pernah mengalami keguguran dan tiga di antaranya tidak diberi cuti keguguran,” ujar Vivi Widyawati, Peneliti dan Pelatih Gender Perempuan Mahardhika.
Setelah melahirkan, perempuan masih harus menghadapi tantangan terkait akses ke ruang laktasi. Misalnya, sebagian pekerja perempuan enggan menggunakannya akibat tingginya tuntutan kerja. Bahkan ada pula perusahaan yang tidak menyediakan fasilitas laktasi (ruang menyusui/memerah ASI). “Kalaupun disediakan, fasilitas menyusui tersebut tidak layak, jauh dari area produksi, atau izin dipersulit atasan,” imbuh Rainy.
RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak
Angin segar asa berhembus di tengah pembahasan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Tidak hanya untuk perempuan, RUU KIA juga mendorong peningkatan hak maternitas bagi laki-laki (suami) berupa penambahan jumlah hari untuk cuti pendampingan. Beberapa poin penting yang diatur dalam RUU KIA antara lain:
- Perempuan pekerja diusulkan mendapatkan hak cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan.
- Perempuan pekerja diusulkan mendapatkan hak untuk beristirahat selama 1,5 bulan jika mengalami keguguran.
- Selama masa cuti, perempuan melahirkan diusulkan tetap mendapat gaji penuh (100%) pada 3 bulan pertama dan 75% pada 3 bulan berikutnya.
- Perempuan pekerja yang melahirkan ataupun keguguran dan menjalani masa cutinya tidak bisa diberhentikan atau PHK.
- Suami diusulkan mendapatkan hak cuti pendampingan paling lama 40 hari untuk mendampingi istri melahirkan dan paling lama 7 hari jika istri mengalami keguguran.
- Perempuan pekerja yang melahirkan diusulkan mendapatkan dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana di tempat kerja, tempat umum, dan alat transportasi umum. Dukungan fasilitas sarana dan prasarana dapat berupa penyediaan ruang laktasi, ruang perawatan anak, tempat penitipan anak, tempat bermain anak, dan/atau tempat duduk prioritas atau loket khusus. Selain itu, juga ada dukungan berupa penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja.
Tujuan RUU ini antara lain untuk menekan Angka Kematian Ibu dan Anak (AKI) dan mendorong pemberdayaan perempuan dan hak atas pekerjaan yang layak. Selain itu, RUU ini juga dimaksudkan agar perempuan dapat memberikan ASI secara eksklusif, yang pada gilirannya dapat membantu menekan angka stunting di Indonesia.
Yang Perlu Dipertimbangkan
Masih ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam RUU KIA. Salah satunya terkait perlindungan hak maternitas bagi perempuan yang bekerja di sektor informal, yang jumlahnya dominan di Indonesia. Hal lainnya menyangkut beban atau dampak yang akan ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja ketika memenuhi hak maternitas kepada pekerjanya.
Lusiani Julia, Spesialis Gender ILO, menyarankan agar perlindungan hak maternitas diintegrasikan ke dalam sistem jaminan sosial nasional. Dengan cara ini, kontribusi dapat ditanggung bersama baik oleh pengusaha, pekerja, dan pemerintah, sehingga pekerja perempuan hamil dapat mengklaim haknya tanpa mengandalkan kepatuhan perusahaan. Cara ini juga memungkinkan perempuan yang bekerja di sektor informal untuk mendapatkan hak yang sama.
“Di Indonesia, ini bisa diintegrasikan ke dalam sistem BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, sehingga dapat juga menghapus diskriminasi terhadap pekerja hamil yang masih sering terjadi,” kata Lusiani.
Sementara itu, Komnas Perempuan mengidentifikasi adanya risiko pembakuan peran domestik berbasis gender terhadap perempuan dalam RUU ini. Komnas Perempuan menggarisbawahi tanggung jawab negara dalam mengembangkan program pendidikan terkait keadilan gender, kesehatan reproduksi termasuk fungsi maternitas di semua jenjang pendidikan dan sektor.
Komnas Perempuan meyakini bahwa program ini dapat berkontribusi untuk memastikan cuti pendampingan suami benar-benar efektif untuk meringankan beban kerja domestik dan pengasuhan yang diemban perempuan. Program ini penting terutama dalam masyarakat patriarkis yang masih melekatkan peran domestik sebagai tugas perempuan.
Untuk itu, Komnas Perempuan merekomendasikan beberapa hal berikut kepada pemerintah dan DPR:
- Mengukuhkan kesetaraan dan keadilan gender di ruang domestik, ruang publik dan dunia kerja dan memastikan aspek pemenuhan tanggung jawab negara dan pengawasan yang ketat dalam implementasi.
- Memastikan proses legislasi berjalan partisipatif dan substantif, melibatkan berbagai pihak, termasuk dan tidak terbatas pada kelompok perempuan, serikat buruh perempuan, maupun organisasi perempuan yang bergerak di isu perburuhan dan kesehatan reproduksi.
- Mempercepat pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan menyelaraskan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja serta kebijakan-kebijakan turunan lainnya dengan instrumen HAM internasional terkait pemenuhan hak maternitas dan hak-hak terkait lainnya bagi perempuan pekerja.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.