Misi V-ber Home Menebarkan Jaringan Internet di Pedalaman Asmat Papua
Awalnya, Fuad Rifai datang ke Kabupaten Asmat, Papua, sebagai tenaga keperawatan di rumah sakit umum daerah setempat. Namun, lemahnya koneksi internet di sana membuatnya prihatin dan berpikir solusi apa yang mungkin dilakukan. Bersama rekan-rekannya, dia membuka layanan instalasi jaringan internet di wilayah pedalaman Papua tersebut dengan nama V-ber Home.
Topografi pedalaman Asmat dengan rawa-rawa yang sulit dijangkau, keterbatasan pengetahuan dan keahlian, biaya perangkat yang mahal, hingga kendala sosial budaya tidak menghalangi tim V-ber Home menjalankan misinya. Kini, jaringan internet V-ber Home sudah mencakup seluruh wilayah Kecamatan Agats dan beberapa desa lain di Kabupaten Asmat.
Kerja-kerja V-ber Home membuat harga barang-barang lebih mudah dipantau, dan oleh karena itu jadi relatif terjangkau. Pembelajaran daring selama masa pandemi COVID-19 juga bisa terlaksana dengan lebih baik. Berikut ini wawancara Fuad Rifai dengan Zia Ul Haq dari Green Network pada Rabu (2/6/2021) melalui panggilan video.
Apa masalah utama yang Anda lihat terkait keterjangkauan akses internet di wilayah Asmat?
Tahun 2010 Telkomsel belum masuk wilayah Asmat. Bahkan tahun 2017 saat pertama kali saya datang ke sini pun jaringan internet sangat minim. Kami lebih efektif berkomunikasi dengan handie-talkie (HT).
Jaringan internet yang minim tentu mempengaruhi kondisi masyarakat maupun pemerintahan. Dulu saat ramai gizi buruk, banyak relawan tidak betah karena sudah terbiasa hidup dengan medsos dan jaringan komunikasi yang lancar. Apalagi jika mereka harus berjauhan dengan keluarga atau pasangan.
Belum lagi harga-harga yang melambung dan tidak terpantau, arus informasi yang sangat terbatas, dan tentu saja akses pembelajaran yang sulit dijangkau. Semua itu disebabkan minimnya jaringan internet di sini.
Alasan itukah yang membuat Anda mulai membuka layanan instalasi jaringan internet di sana?
Ya, betul. Tapi mohon Anda jangan salah paham. Apa yang saya lakukan bukan aksi sosial murni. Saya di sini menyediakan layanan instalasi jaringan internet komersil. Artinya, saya jualan juga. Tapi saya upayakan agar harganya terjangkau dan sepadan dengan apa yang masyarakat dapatkan.
Berapa harganya?
Dulu pertama kali saya buka layanan ini, saya jual dengan harga 1 juta rupiah untuk kecepatan data 265KB. Mahal karena memang beli bandwith-nya juga mahal, termasuk mahalnya belanja perangkat dan berbagai birokrasi perizinan.
Setelah punya pengalaman cukup, saya mempelajari perizinan dan aturan-aturan terkait pemasangan jaringan internet, juga rute-rute belanja perangkat dengan harga terjangkau. Ternyata upaya ini bisa memangkas biaya. Sehingga saya bisa jual data dengan kecepatan 1MB hanya dengan harga 450 ribu rupiah saja. Artinya, harga kami turunkan, kualitas kami tingkatkan.
Dari mana Anda belajar ilmu tentang jaringan ini? Bukankah Anda datang ke sana sebagai perawat di rumah sakit?
Saya belajar otodidak. Awalnya sama sekali saya tidak tahu seluk beluk jaringan internet ini. Ya, mau tak mau saya harus belajar kepada teman-teman teknisi yang sudah ahli. Kalau harus mendatangkan teknisi dari luar daerah sini, kami tidak kuat biayanya.
Maka setiap kali pulang kampung ke Jawa, saya sempatkan untuk belajar kepada teman-teman di sana. Sekarang saya sudah bisa instalasi sendiri, dan sering diminta pihak-pihak di luar daerah untuk membuka jaringan internet. Sekarang saya sudah resmi jadi teknisi. Juga bisa memodifikasi perangkat agar bisa sesuai dengan kebutuhan di sini.
Bagaimana posisi pemerintah dalam hal ini? Kebijakan apa yang Anda harapkan dari pemerintah?
Pihak pemerintah kabupaten sudah memberikan izin kepada kami untuk memanfaatkan tiang-tiang lampu jalan. Jadi perangkat-perangkat pemancar itu boleh kami pasang di tiang-tiang lampu yang sudah ada.
Saya tidak terlalu mengharapkan dukungan materi dari pemerintah. Saya hanya mengharapkan agar pemerintah bisa mempermudah perizinan. Tidak berbelit-belit, minimal sesuai dengan aturan yang sudah ada.
Sedangkan kepada KOMINFO, saya harap ada kebijakan terkait harga bandwith. Yaitu bagaimana supaya harga bandwidth untuk wilayah Papua bisa sama dengan harga di wilayah Jawa. Atau maksimal dua kali lipat harga wilayah Jawa.
Bayangkan. Saat ini, harga bandwith di Jawa sekitar 70-80 juta rupiah untuk data 1GB. Sedangkan harga di Papua dijual “ketengan,” yaitu seharga 900 ribu rupiah tiap 1MB. Artinya untuk mendapat data 1GB harus keluar uang hingga 900 juta rupiah. Bahkan dulu pernah dijual dengan harga sampai 10 juta rupiah per MB.
Apakah selama ini Anda juga bekerja sama dengan dunia usaha? Apa pesan Anda untuk para pengusaha dan pemilik modal?
Ya, pernah. Saya berharap bisa menjalin kerja sama terkait permodalan. Tapi yang lebih penting lagi adalah kerja sama untuk berbagi ilmu dan peningkatan keahlian, agar saya dan tim di sini bisa lebih berkembang ke depan.
Apa tantangan yang Anda hadapi selama berkarya di sana?
Seperti yang Anda lihat (sambil menunjukkan suasana sekitar rumah tinggalnya melalui panggilan video). Saya tinggal di rumah panggung tepat di atas rawa-rawa. Jarak antara rumah satu dengan lainnya cukup jauh. Untuk kebutuhan air, saya pakai tampungan air hujan. Pasokan listrik PLN di sini masih menggunakan diesel.
Biaya perjalanan lintas kecamatan lebih mahal daripada biaya saya pulang kampung ke Banyuwangi. Uang 9 juta rupiah bisa untuk melakukan perjalanan Asmat-Banyuwangi pergi-pulang. Sedangkan biaya untuk menyeberang ke kecamatan lain di Kabupaten Asmat, karena sudah beda pulau, bisa sampai 5 juta rupiah untuk sewa kapal dan lainnya.
Sebagai pendatang, saya juga harus mampu menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal. Pernah beberapa kali kami memasang perangkat yang melewati tanah warga, ternyata pemilik tanah tidak terima. Sehingga kami harus membayar denda adat. Hal-hal semacam itu harus kami maklumi.
Untungnya profesi saya sebagai perawat cukup berguna untuk menjalin hubungan baik dengan masyarakat. Warga kerap menyapa saya dengan sebutan “Pak Mantri”. Saya bersyukur masyarakat mulai merasa membutuhkan upaya penyediaan jaringan internet ini. Sehingga mereka pun secara alamiah akan melindungi kami kalau terjadi hal-hal genting, misalnya kerusuhan.
Apa yang menguatkan Anda sehingga masih bertahan sampai hari ini?
Motivasi awal saya datang ke sini memang faktor ekonomi. Tapi itu bukan dorongan utama. Saya merasakan ada sesuatu yang mengikat saya di Asmat ini. Sesuatu yang sulit dijelaskan. Saya senang melihat masyarakat bisa menikmati akses internet dengan lancar, bahkan bisa berpengaruh pada sektor ekonomi dan pendidikan mereka.
Tiap kali saya pulang kampung ke Jawa, saya selalu terpikir untuk segera kembali. Saya tidak bisa meninggalkan aktivitas ini lama-lama. Pernah suatu kali saya pulang kampung ke Banyuwangi hanya satu hari. Selesai urusan di rumah, saya langsung pesan tiket, terbang lagi ke Asmat.
Setelah sekian lama, bagaimana perubahan yang terjadi?
Harga barang-barang relatif menjadi lebih terjangkau. Misalnya, harga celana yang mencapai 300 ribu rupiah bisa turun hingga 150 ribu rupiah. Sebab si pembeli bisa memantau alur pengiriman barang secara daring dan transparan. Sekolah-sekolah juga bisa melaksanakan pembelajaran daring dengan lancar. Tentu jaringan internet ini sangat membantu mereka untuk tetap belajar di masa pandemi COVID-19.
Apa harapan Anda ke depan bagi masyarakat di sana?
Saya harap jaringan internet bisa merata dan terjangkau bagi masyarakat di pedalaman. Terutama wilayah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal). Sehingga bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat di wilayah itu.
Saya juga terus menyempurnakan konsep jaringan internet pedesaan ini. Kalau di sini konsep kami ini lebih akrab disebut dengan RT-RW NET. Ya semoga saja upaya ini bisa bermanfaat, menjadi berkah bagi masyarakat dan kami sendiri.
-Selesai-
Editor: Marlis Afridah
Aktivitas V-ber Home dapat dilihat di saluran YouTube Fuad Rifai.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Zia adalah penulis kontributor untuk Green Network ID. Saat ini aktif menjadi Pendamping Belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT).