Potret Partisipasi Perempuan dalam Politik saat Ini

Anggota DPR RI Dyah Roro Esti Widya Putri. | Foto: Dpr.go.id.
Partisipasi perempuan dalam politik dan posisi kepemimpinan sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut merupakan bagian dari target SDG 5.5, yang bertujuan untuk “memastikan partisipasi penuh dan efektif perempuan serta kesempatan yang sama dalam kepemimpinan di semua level pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik.” Lantas, bagaimana potret partisipasi perempuan dalam politik saat ini?
Partisipasi Perempuan dalam Politik
Pada tahun 2023, UN Women menerbitkan peta “Perempuan dalam politik: 2023”, yang menyajikan data perempuan di posisi eksekutif dan parlemen nasional per 1 Januari 2023. Secara keseluruhan, peta tersebut menunjukkan adanya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik di berbagai tingkatan, termasuk negara bagian atau provinsi, baik di eksekutif maupun legislatif, meski jumlahnya masih kecil.
Menurut peta tersebut, 17 dari 151 negara (11,3%) memiliki perempuan sebagai kepala negara, sementara 18 dari 193 negara (9,8%) memiliki perempuan sebagai kepala pemerintahan. Angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan satu dekade lalu, yang masing-masing sebesar 5,3% dan 7,3%.
Peta tersebut lebih lanjut menunjukkan bahwa perempuan hanya mewakili 22,8% posisi menteri secara global. Eropa dan Amerika Utara memiliki jumlah perempuan tertinggi yang menduduki jabatan menteri (31,6%), sedangkan Asia Tengah & Selatan (10,1%) dan Kepulauan Pasifik (8,1%) memiliki jumlah terendah. Perempuan umumnya bekerja di bidang lingkungan, administrasi publik, pendidikan, kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan hak sosial. Sementara itu, laki-laki mendominasi bidang ekonomi, pertahanan, peradilan, dan urusan dalam negeri.
Di Indonesia sendiri, partisipasi perempuan dalam politik juga masih terbilang rendah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, partisipasi perempuan dalam parlemen di Indonesia hanya mencapai angka 21,74%.
Tantangan
Pentingnya partisipasi perempuan dalam politik telah diakui dalam beberapa dekade terakhir, namun faktanya masih terdapat kesenjangan kesetaraan. Dalam kertas kebijakan mengenai partisipasi dan kepemimpinan politik perempuan di Asia dan Pasifik, UNESCAP mengidentifikasi ketimpangan dalam peran pengasuhan dan perawatan, bias gender, dan pelecehan sebagai faktor penghambat dalam mewujudkan kesetaraan partisipasi perempuan dalam politik.
Kerja-kerja domestik dan pengasuhan yang tidak dibayar, seperti membersihkan rumah, memasak, dan mengasuh anak, sebagian besar masih dipandang sebagai tanggung jawab perempuan. Akibatnya, perempuan sering menanggung beban ganda ketika kerja-kerja pengasuhan yang tidak berbayar ini digabungkan dengan pekerjaan berbayar, termasuk dalam konteks politik.
Selain itu, bias gender juga tercermin dalam persepsi masyarakat terhadap pemimpin politik. Indeks Norma Sosial Gender UNDP 2023 menunjukkan bahwa lebih dari separuh bias gender masyarakat dalam politik berkisar pada anggapan bahwa laki-laki merupakan pemimpin politik yang lebih baik daripada perempuan. Selain itu, laporan tersebut juga menemukan bahwa kehadiran perempuan di parlemen lebih tinggi di negara-negara dengan bias yang lebih rendah terhadap norma-norma sosial gender.
Perempuan yang berpartisipasi dalam politik juga rentan terhadap kekerasan dan pelecehan. Menurut laporan Inter-Parliamentary Union pada tahun 2016, 82% dari 55 anggota parlemen perempuan dari 39 negara melaporkan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan dalam bentuk kekerasan psikologis, ucapan, gerak tubuh, gambar yang tidak pantas, hingga ancaman.
Menghapus Kesenjangan
Pemberdayaan perempuan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya global untuk membangun perdamaian dan memajukan inklusivitas. Mendukung partisipasi perempuan dalam politik merupakan hal yang sangat penting untuk memastikan lebih banyak suara didengar di setiap level pemerintahan, mulai dari tingkat lokal hingga internasional.
Untuk mendukung hal ini, mesti ada perubahan sistematis dalam partai politik dan badan pemerintah yang berorientasi pada kesetaraan dan inklusivitas gender. Sebagai contoh, negara dapat membuat regulasi yang mengatur soal kuota kursi bagi perempuan dalam politik. Selain itu, hal penting lainnya adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan perempuan untuk berhasil dalam karier politik mereka melalui program peningkatan kapasitas, pelatihan kepemimpinan, dan kebijakan serta penegakan non-diskriminasi yang ketat. Pada akhirnya, meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik merupakan hal fundamental untuk mewujudkan dunia di mana tidak ada seorang pun yang tertinggal
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.

Konten Publik GNA berupaya menginspirasi perubahan sosial skala besar dengan menyediakan pendidikan dan advokasi keberlanjutan yang dapat diakses oleh semua orang tanpa biaya. Jika Anda melihat Konten Publik kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan GNA Indonesia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional sekaligus mendukung keberlanjutan finansial GNA untuk terus memproduksi konten-konten yang tersedia untuk umum ini.
Madina adalah Asisten Manajer Publikasi Digital di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Madina memiliki 3 tahun pengalaman profesional dalam publikasi digital internasional, program, dan kemitraan GNA, khususnya dalam isu-isu sosial dan budaya.