Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Sisi Kelam Pengembangan Pariwisata di Kawasan KEK Mandalika

Di balik kemegahan infrastruktur yang dibangun, pengembangan pariwisata di kawasan KEK Mandalika menyisakan berbagai persoalan yang menghambat upaya bersama dalam menciptakan pariwisata yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Oleh Seftyana Khairunisa
26 Agustus 2025
foto udara KEK Mandalika; terdapat jalanan dan beberapa bangunan di wilayah yang terhubung pantai dan laut

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Lombok Tengah, NTB. | Foto: Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus.

Pariwisata merupakan salah satu sektor yang dapat dikembangkan untuk mendorong perekonomian. Namun sayangnya, masih banyak proyek pengembangan pariwisata di Indonesia yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan alam hingga kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat. Salah satunya adalah proyek pengembangan pariwisata di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Di balik kemegahan infrastruktur pariwisata yang dibangun, proyek ambisius ini menyisakan berbagai persoalan yang menghambat upaya bersama dalam menciptakan pariwisata yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Penggusuran Warga di Kawasan KEK Mandalika

Melalui Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2014, pemerintah telah menetapkan kawasan seluas 1.035,67 hektare di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, NTB untuk dijadikan sebagai KEK Mandalika. KEK ini merupakan zona pariwisata yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan perekonomian di wilayah tersebut.

KEK Mandalika dikembangkan dan dikelola oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), yang sebagian besar pendanaannya berasal dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Pengembangan kawasan ini dilakukan melalui pembebasan lahan secara bertahap untuk membangun tidak hanya sirkuit balap, tetapi juga puluhan hotel, resor, hingga berbagai fasilitas penunjang seperti jalan, penyulingan air laut, dan pembangkit listrik.

Namun ironisnya, pengembangan proyek ini melibatkan penggusuran terhadap penduduk setempat, seperti yang terjadi di Tanjung Aan pada 15 Juli 2025. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya terdapat 186 warung  dan tempat bermukim warga di Pantai Tanjung Aan yang digusur. Penggusuran dilakukan dengan dasar bahwa kawasan Tanjung Aan telah secara resmi masuk ke dalam wilayah KEK Mandalika dan bagian dari Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang telah dikantongi ITDC untuk dibangun hotel dan resor.

Menurut KPA, penggusuran tersebut dilakukan tanpa upaya persuasif, konsultasi, maupun partisipasi yang bermakna dari masyarakat, serta tanpa transparansi dari pihak ITDC dan pemerintah daerah. Masyarakat disebut hanya menerima surat perintah pengosongan dari Vanguard (pihak keamanan swasta) sejak pertengahan bulan Juni 2025. Surat tersebut sejalan dengan temuan Komnas Perempuan, bahwa warga Tanjung Aan hanya diberikan waktu tiga hari untuk membongkar sendiri warung mereka, sebelum dibongkar paksa.

Sengketa Lahan dan Kompensasi yang Tak Adil

Apa yang terjadi di Tanjung Aan bukan satu-satunya masalah yang timbul dari pengembangan pariwisata di KEK Mandalika. Sebelumnya, penggusuran juga pernah terjadi terhadap lahan milik warga seluas 70 ribu m2 di Kecamatan Pujut pada tahun 2020 untuk pembangunan lintasan sirkuit MotorGP. Dalam proses pengembangannya, proyek mercusuar ini juga sering menyebabkan sengketa lahan akibat status kepemilikan tanah yang tidak jelas, proses ganti rugi yang tidak adil, hingga pengambilalihan tanah milik warga petani. Hal ini telah memunculkan berbagai persoalan yang berdampak serius terhadap hak-hak komunitas lokal.

Pihak ITDC sebenarnya telah menjanjikan tiga bentuk perlindungan untuk semua warga yang terdampak proyek, yaitu pemukiman kembali yang adil, kompensasi atas kehilangan harta benda dalam kasus penggusuran, dan pemulihan mata pencaharian. Ketiga hal ini tertuang dalam dokumen Rencana Aksi Pemukiman Kembali (RAP). Akan tetapi, sebuah laporan investigasi mengungkap kegagalan ITDC dan AIIB dalam memenuhi perlindungan tersebut. Kenyataannya, banyak warga yang tetap mengalami penggusuran serta kehilangan mata pencaharian, seperti yang terjadi di Tanjung Aan.

ITDC pun juga dinilai gagal memenuhi komitmen awalnya dalam menyediakan rumah layak dalam pemukiman kembali. Dokumen RAP menjanjikan 150 keluarga yang akan direlokasi ke hunian permanen di Silaq Ngolang, sebuah dusun di Kuta Mandalika. Rumah ini digambarkan sebagai rumah berlantai dua yang dibangun di atas tanah seluas 100 m2, lengkap dengan fasilitas umum seperti air bersih dan layanan kesehatan. Akan tetapi, Komnas Perempuan menemukan bahwa kenyataannya rumah yang disediakan berbentuk rumah kopel–yaitu hunian berupa satu bangunan yang dibelah menjadi dua–untuk ditempati dua keluarga. Selain itu, infrastruktur dasar seperti air bersih, listrik, layanan kesehatan, sekolah, dan akses pasar juga tidak tersedia di lokasi relokasi seperti yang dijanjikan.

Kondisi ini juga sejalan dengan survei yang dilaksanakan oleh Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) pada tahun 2023. Dari hasil survei tersebut, 99% responden merasa bahwa mereka tidak ditawari kompensasi yang adil atas tanah, rumah, dan mata pencaharian mereka yang hilang akibat proyek KEK Mandalika. Kompensasi pun ditentukan secara sepihak sebesar Rp 10 juta per rumah tangga. Yang lebih parah, kenyataannya banyak yang melaporkan hanya menerima Rp 3 juta dan bahkan ada beberapa keluarga yang mengaku tidak menerima kompensasi sama sekali.

Minim Partisipasi Publik

Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, KEK Mandalika dinilai telah menghilangkan sumber penghidupan masyarakat lokal. Warung usaha milik warga di Tanjung Aan yang digusur misalnya, merupakan sumber penghasilan utama khususnya bagi para perempuan. Selain itu, proyek ini juga membatasi akses warga ke wilayah pesisir dan laut, dan mengusir keluarga masyarakat adat dari lahan pertanian mereka sehingga mengurangi penghasilan mereka secara signifikan. Belum lagi, janji pemulihan mata pencaharian yang dijamin ITDC dan AIIB juga belum ada yang terealisasi hingga tahun 2025. Sebagian warga yang tergusur tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan tetap, pun juga tidak menerima pelatihan yang berarti.

Proyek KEK Mandalika pada dasarnya minim transparansi dan keterlibatan publik. Survei KPPII menemukan bahwa 98% responden tidak dimintai persetujuannya terkait proyek Mandalika. ITDC dilaporkan sempat menyelenggarakan “forum sosialisasi” yang dihadiri oleh penduduk Dusun Ebunut dan Ujung. Namun, tidak ada diskusi dalam forum ini karena peserta mengaku tidak dapat menyampaikan pandangan dan pertanyaan dengan bebas. Bahkan forum ini dihadiri anggota kepolisian dan aparat keamanan yang menciptakan suasana intimidatif. Hal ini menunjukkan bahwa baik ITDC maupun AIIB telah gagal menjunjung prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Free, Prior, Informed Consent/FPIC).

Mendorong Pengembangan Pariwisata yang Berkeadilan

Terkait penggusuran di Tanjung Aan serta berbagai pelanggaran lainnya yang terjadi dalam pengembangan pariwisata di kawasan KEK Mandalika, KPA memberikan beberapa rekomendasi berikut:

  • Penghentian tindakan represif terhadap warga dan pihak swasta sekaligus menarik diri dari lokasi sengketa.
  • Menghentikan penggusuran, menjalankan partisipasi bermakna dalam pelaksanaan pembangunan, dan memulihkan hak-hak warga yang menjadi korban pembangunan.
  • Evaluasi menyeluruh terhadap KEK Mandalika dan proyek pembangunan lain yang telah menyebabkan konflik agraria sekaligus memastikan adanya jaminan perlindungan serta pemulihan hak-hak masyarakat terdampak.
  • Menjalankan Reforma Agraria bagi warga terdampak proyek.

Pariwisata adalah sektor strategis yang dapat menggerakkan perekonomian, memperkuat identitas budaya, sekaligus membuka ruang kerja bagi masyarakat. Namun, tanpa prinsip-prinsip keadilan, pengembangan pariwisata akan melahirkan ketimpangan, menekan kehidupan komunitas lokal, dan menimbulkan degradasi lingkungan. Oleh karena itu, mendorong pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dan berkeadilan berarti menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama, memastikan distribusi manfaat yang setara, melindungi hak-hak masyarakat adat, serta menjaga keberlanjutan alam dan budaya. Komitmen, tanggung jawab, dan kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, lembaga keuangan, masyarakat sipil, dan komunitas lokal adalah kunci dalam hal ini.

Editor: Abul Muamar

Seftyana Khairunisa
Reporter at Green Network Asia | Website |  + postsBio

Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.

  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Mengupayakan Keadilan Ekologis
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Mendorong Transformasi Hijau di Sektor UMKM
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    GovTech AI dan Transformasi Digital di Sektor Pelayanan Publik
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Menangkal Masifnya Penyebaran Misinformasi dan Disinformasi

Continue Reading

Sebelumnya: Polusi Udara dan Risiko Demensia yang Lebih Tinggi
Berikutnya: Mengatasi Heat Stress Okupasional Demi Keselamatan dan Kesehatan Pekerja

Lihat Konten GNA Lainnya

bangunan roboh Robohnya NZBA: Kritik, Analisis, dan Seruan untuk Perbankan Indonesia
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom Penasihat GNA
  • Opini

Robohnya NZBA: Kritik, Analisis, dan Seruan untuk Perbankan Indonesia

Oleh Jalal
17 Oktober 2025
Empat tangan anak-anak yang saling berpegangan Mengatasi Perundungan di Lingkungan Pendidikan dengan Aksi Kolektif
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mengatasi Perundungan di Lingkungan Pendidikan dengan Aksi Kolektif

Oleh Andi Batara
17 Oktober 2025
sekawanan bison sedang memamah di atas padang rumput yang tertutup salju Mendorong Rewilding untuk Memulihkan Krisis Ekologi
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mendorong Rewilding untuk Memulihkan Krisis Ekologi

Oleh Kresentia Madina
17 Oktober 2025
meja dengan berbagai ikan segar tersusun di atasnya Memajukan Sektor Pangan Akuatik untuk Mendukung Ketahanan Pangan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Memajukan Sektor Pangan Akuatik untuk Mendukung Ketahanan Pangan

Oleh Seftyana Khairunisa
16 Oktober 2025
dua elang hitam kepala putih bertengger di ranting pohon yang tak berdaun Bagaimana Bahasa Potawatomi Menghidupkan dan Menghormati Alam
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Bagaimana Bahasa Potawatomi Menghidupkan dan Menghormati Alam

Oleh Dina Oktaferia
16 Oktober 2025
Kursi roda anak berukuran kecil di samping deretan kursi kayu, dengan latar belakang papan tulis hitam dan lantai berkarpet berwarna cerah. Mengatasi Tantangan yang Dihadapi Anak dengan Disabilitas
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Mengatasi Tantangan yang Dihadapi Anak dengan Disabilitas

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
15 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia