Penguatan Perlindungan Anak di Tengah Meningkatnya Potensi Bencana Alam
Foto: Limor Zellermeyer di Unsplash.
Indonesia, karena faktor geografis, rentan terhadap bencana alam. Setiap tahunnya, bencana alam di Indonesia terus mengancam kehidupan masyarakat dan menelan banyak korban, khususnya anak-anak. Perubahan iklim telah membuat potensi dan frekuensi bencana alam di Indonesia semakin meningkat. Mengingat kebutuhan anak-anak yang berbeda dengan manusia dewasa, dibutuhkan penguatan strategi perlindungan anak yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Tingkat Kerentanan Anak-Anak yang Tinggi
Di Indonesia, anak-anak menghadapi risiko yang besar menjadi korban bencana alam. Laporan UNICEF berjudul “Over the Tipping Point” mengungkap bahwa negara-negara Pacific Island Countries (PIC), termasuk Indonesia, menghadapi ancaman bencana alam enam kali lebih besar dalam 50 tahun terakhir. Hal tersebut membuat Indonesia masuk kategori “Risiko Tinggi” pada pengukuran Children’s Climate Risk Index (CCRI), yang berarti anak-anak di Indonesia rentan pada saat bencana alam terjadi. Analisis CCRI UNICEF tersebut juga menunjukkan bahwa 65% anak-anak di wilayah PIC berisiko menghadapi 4 atau lebih bencana alam dan bencana lain yang berkaitan dengan perubahan iklim, seperti gelombang panas, banjir (baik di pesisir maupun daratan), krisis air, badai siklon, dan lain-lain.
Misalnya, pada bencana banjir dan longsor di Sumatera Barat pada Maret 2024, 70.000 orang terpaksa mengungsi, dengan 15.000 di antaranya adalah anak-anak. Pada November 2022, bencana gempa bumi di Cianjur, Jawa Barat, menelan korban jiwa sebanyak 635 orang, dengan 37% di antaranya adalah anak-anak. Selain itu, BNPB mengungkap 31% dari korban meninggal dan hilang akibat bencana alam di Indonesia pada periode Januari hingga Februari 2020 adalah anak-anak.
Kebutuhan yang Berbeda
Anak-anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Karena faktor usia, anak-anak masih membutuhkan pendampingan dari orang dewasa, yang karenanya menyebabkan anak-anak termasuk dalam kelompok rentan. Buku panduan yang diterbitkan oleh Save the Children International berjudul “Protecting Children in Disasters” menjelaskan kebutuhan berbeda anak-anak pada saat terjadi bencana alam, di antaranya:
- Ketergantungan pada pendamping. Anak-anak, secara fisik dan mental, masih bergantung pada pendamping mereka, baik itu orang tua, guru, pengasuh, atau saudara. Bencana alam berpotensi memisahkan anak-anak dengan pendamping mereka, membuat kerentanan mereka semakin tinggi.
- Komunikasi dan identifikasi. Anak-anak pada umumnya belum dapat melakukan komunikasi dan identifikasi diri mereka sendiri, terutama anak-anak di bawah lima tahun (balita). Anak-anak juga cenderung belum mengetahui cara menghubungi anggota keluarga lain saat terjadi situasi darurat termasuk bencana alam.
- Mobilitas. Anak-anak, terutama balita, cenderung masih memiliki keterbatasan mobilitas, seperti kemampuan berjalan yang belum berkembang sepenuhnya.
- Kebutuhan fisik. Tubuh anak-anak belum berkembang sejauh tubuh orang dewasa, sehingga kesehatan fisik mereka lebih rentan terserang oleh kondisi sekitar. Misalnya, pada saat bencana alam, anak-anak lebih rentan terhadap gas karbon monoksida yang berasal dari asap reruntuhan bangunan. Selain itu, kebutuhan nutrisi anak-anak juga berbeda dengan orang dewasa.
- Kebutuhan emosional. Anak-anak rentan terhadap ketakutan yang disebabkan oleh situasi pada saat bencana alam, seperti rusaknya bangunan, kematian, terpisahnya mereka dari pendamping, dan lain-lain. Hal ini diperparah dengan tingkat pemahaman anak-anak yang masih rendah terhadap situasi.
- Kebutuhan perkembangan diri. Anak-anak masih dalam tahap perkembangan dan pertumbuhan, yang berpotensi terhambat akibat terjadinya bencana alam. Kondisi kesehatan fisik dan emosional juga berpeluang menyebabkan ketertinggalan dalam pertumbuhan dan perkembangan mereka, yang akan mempengaruhi kehidupan dan kemampuan mereka bertahan dalam jangka panjang.
Memperkuat Strategi Perlindungan Anak
Laporan Save The Children International bertajuk “Born Into the Climate Crisis” memberikan rekomendasi dalam memperkuat strategi pengurangan risiko dan perlindungan terhadap anak-anak saat bencana alam, di antaranya adalah:
- Melibatkan peran aktif anak-anak dalam pembuatan kebijakan maupun aksi terkait bencana alam. Mengakui anak-anak sebagai subjek yang merdeka dan berkapasitas dapat dilakukan dengan melibatkan mereka dalam diskusi mitigasi bencana serta aksi pencegahan bencana alam, serta menyediakan regulasi dan dukungan yang menjamin hak-hak partisipasi mereka.
- Melakukan edukasi kepada anak-anak sebagai upaya preventif. Diskusi mengenai keadaan darurat dan bencana alam dapat dilakukan secara transparan dan mudah dipahami kepada anak-anak. Mereka berhak diajarkan mengenai bencana alam apa saja yang berpotensi terjadi di sekitar mereka, apa saja tahap yang harus dilakukan ketika bencana alam terjadi, bagaimana mengidentifikasi diri sendiri dan menghubungi kontak darurat, serta memberikan pemahaman mengenai hak-hak mereka atas perlindungan pada saat bencana alam.
- Memperkuat sistem perlindungan sosial terhadap anak-anak korban bencana alam. Hal ini dilakukan dengan melibatkan institusi perlindungan sosial terhadap anak-anak dan institusi yang bergerak di bidang kebencanaan. Penguatan yang dilakukan dapat meliputi peningkatan pemahaman petugas, peningkatan sistem pendataan dan penggunaan teknologi modern dan berkelanjutan untuk infrastruktur dalam menangani bencana alam, perbaikan sistem perlindungan menggunakan perspektif ramah anak, sensitif gender, dan inklusif terhadap difabel, serta tetap menjamin akses anak-anak terhadap terapi trauma pasca-bencana dan pendidikan.
- Meningkatkan pemahaman keluarga terhadap perlindungan terhadap anak-anak pada saat bencana alam. Memastikan anggota keluarga memahami tindakan yang diperlukan dalam keadaan darurat serta bagaimana peran keluarga dalam menjamin kestabilan kesehatan fisik dan mental serta pertumbuhan anak korban bencana alam.
- Memperkuat kebijakan dan implementasi. Sebagai implementasi dari Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak, diperlukan panduan strategi nasional mengenai perlindungan terhadap anak-anak korban bencana alam. Kebijakan yang telah ada perlu dievaluasi implementasinya.
- Mengambil tindakan serius untuk mencegah terjadinya bencana alam. Krisis iklim berakibat pada meningkatnya potensi bencana alam di Indonesia. Tindakan serius pemerintah dalam mengurangi emisi dan komitmen transisi energi dalam jangka panjang dapat mengurangi risiko anak-anak menjadi korban bencana alam.
Pada akhirnya, perlindungan terhadap anak-anak di tengah meningkatnya potensi dan frekuensi bencana alam akibat krisis iklim merupakan suatu hal yang tidak dapat ditunda. Kolaborasi pemerintah, institusi pendidikan, keluarga, badan penanggulangan bencana, badan perlindungan anak, organisasi nirlaba, hingga masyarakat umum sangat penting dalam mengurangi risiko kerentanan anak.
Editor: Abul Muamar
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional.
Jadi Member SekarangTitis adalah Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan program sarjana Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya. Ia memiliki passion di bidang penelitian lintas disiplin, penulisan, dan pengembangan komunitas.

Mengakui Peran Komunitas Lokal dalam Pelestarian Keanekaragaman Hayati
Memanfaatkan Seni dan Pengetahuan Adat sebagai Instrumen Pengurangan Risiko Bencana
Merawat Harmoni di Tengah Keberagaman: Cerita Kehidupan dan Dinamika Sosial Masyarakat Desa Kandangan, Lumajang
Memperkuat Ketahanan Masyarakat di Era Disrupsi
Memperkuat Tata Kelola Mitigasi Risiko Bencana: Pelajaran dari Bencana Hidrometeorologi di Sumatera
Obat Manjur bagi Kegelisahan Para CEO