Ambisi Pembangunan Giant Sea Wall di Pantura dan Dampak Yang Harus Diantisipasi

Foto: Nartan Büyükyıldız di Unsplash.
Perubahan iklim dan temperatur Bumi yang semakin panas telah menyebabkan peningkatan permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Akibatnya, banyak wilayah yang terancam oleh banjir rob, terutama pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir. Terkait hal ini, pemerintah berambisi membangun Giant Sea Wall (GSW) atau tanggul laut raksasa di sepanjang pantai utara Pulau Jawa, mulai dari Banten hingga Jawa Timur. Akan tetapi, pembangunan tanggul ini masih diselimuti dengan berbagai kekhawatiran, termasuk apakah GSW menjadi solusi yang tepat di tengah krisis iklim.
Kenaikan Permukaan Laut di Wilayah Pantura
Pengambilan air tanah berlebih telah menjadi salah satu faktor penyebab penurunan muka tanah terutama di daerah sepanjang garis Pantura. Dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2021), tanah di wilayah ini telah mengalami penurunan lebih cepat hingga 9 kali lipat dibanding tingkat kenaikan permukaan laut global. Misalnya, laju penurunan tanah di Jakarta berkisar antara 1-28 cm per tahun, di Semarang sekitar 14-19 cm per tahun, dan Pekalongan hingga 10,7 cm.
Akibatnya, Pantura menjadi kawasan yang sangat rentan terdampak bencana akibat perubahan iklim. Dari akhir 2022 hingga awal 2023 saja, 80% kawasan Pantura di Jawa Tengah telah dilanda banjir. World Bank juga memperkirakan bahwa pada tahun 2030, peningkatan air laut dapat membuat 5,5 hingga 8 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah yang rawan terpapar banjir rob.
Proyek Giant Sea Wall
Dalam Konferensi Internasional Infrastruktur 2025 pada 12 Juni 2025, Presiden Prabowo menegaskan rencana untuk memulai pembangunan Proyek Strategis Nasional Giant Sea Wall di Pantai Utara Jawa (Pantura). Tanggul tersebut rencananya akan membentang sepanjang 500 kilometer dari Tangerang (Banten) hingga Gresik (Jawa Timur) untuk melindungi kawasan Pantura dari ancaman banjir rob dan dampak perubahan iklim ekstrem lainnya.
Giant Sea Wall sebenarnya bukanlah proyek baru. Pada tahun 2019, pemerintah telah menyelesaikan tanggul pengaman di pantai utara Jakarta sepanjang 12,66 km yang ditambah hingga 33,54 km pada tahun berikutnya. Tanggul ini dibangun untuk mengantisipasi dampak penurunan muka tanah dan mengurangi risiko banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Solusi Palsu
Namun, proyek Giant Sea Wall menimbulkan berbagai keraguan, termasuk apakah tanggul ini benar-benar menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi banjir rob. Hasil survei Destructive Fishing Watch Indonesia (DFW-I) pada 20 Maret hingga 20 April 2025 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (56,2%) mengaku tidak menyetujui adanya proyek tersebut. Penolakan tersebut didasarkan pada kekhawatiran akan dampak ekologis, seperti rusaknya ekosistem pesisir, terganggunya penghidupan nelayan, dan potensi penggusuran permukiman.
Pada tahun 2024, WALHI juga menyampaikan beberapa catatan kritis tentang pembangunan Giant Sea Wall. Menurut WALHI, proyek ini tidak menjawab akar persoalan kehancuran ekologis Pulau Jawa yang diakibatkan oleh industri skala besar yang mempercepat penurunan muka tanah dan karenanya dianggap sebagai solusi palsu dalam mengatasi banjir rob. Keberadaan GSW menurut WALHI justru dapat mengubah arus alami pantai dan menyebabkan penurunan populasi ikan sehingga berdampak pada mata pencaharian masyarakat pesisir. GSW juga dinilai dapat mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati; merusak ekosistem mangrove, terumbu karang, dan padang lamun; serta menggusur ribuan nelayan dan melenyapkan mata pencaharian dan identitas mereka.
Semua itu menegaskan bahwa pembangunan GSW di sepanjang Pantura harus mempertimbangkan dan mengantisipasi segala dampak buruk yang mungkin ditimbulkan.
Solusi Berbasis Alam
Wilayah pesisir merupakan salah satu wilayah yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim sehingga memerlukan mitigasi yang holistik dan berkelanjutan. Alih-alih membangun proyek yang berisiko memperparah kerusakan lingkungan dan menghilangkan mata pencaharian masyarakat, pemerintah seharusnya dapat memfokuskan solusi-solusi berbasis alam seperti restorasi dan konservasi ekosistem mangrove yang telah terbukti dapat berfungsi sebagai tanggul alami. Selain dapat menahan abrasi, mangrove juga dapat berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon. Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu memperhatikan kembali perencanaan tata ruang di daerah pesisir, seperti pengelolaan air tanah yang bijak, menghentikan alih fungsi lahan di kawasan pesisir, hingga mengevaluasi kegiatan industri yang merusak daya dukung lingkungan.
Editor: Abul Muamar
Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.