(Bukan Sekadar Kisah) Miliarder yang Mewakafkan Seluruh Hartanya bagi Bumi
Cover Buku Dirtbag Billionaire: How Yvon Chouinard Built Patagonia, Made a Fortune, and Gave It All Away karya David Gelles. | Penerbit: Text Publishing Company (2025)
Pada tahun 2017, majalah Forbes memasukkan nama Yvon Chouinard ke dalam daftar miliarder dunia dengan estimasi kekayaan USD1,2 miliar. Bagi kebanyakan orang, ini adalah kehormatan tertinggi—pengakuan atas kesuksesan finansial yang luar biasa. Namun bagi Chouinard, pendiri Patagonia, ini adalah “salah satu hari terburuk dalam hidupnya.” Ia menyebut gelar tersebut sebagai penghinaan. Paradoks inilah—seorang miliarder yang membenci kekayaannya, pengusaha yang tidak pernah ingin berbisnis, ‘kapitalis’ yang anti-Kapitalisme—yang menjadi inti dari Dirtbag Billionaire: How Yvon Chouinard Built Patagonia, Made a Fortune, and Gave It All Away karya David Gelles.
Gelles, koresponden iklim The New York Times, pemenang banyak penghargaan dari berbagai lembaga bergengsi, bukan orang asing dalam mengurai kompleksitas kepemimpinan perusahaan Amerika. Buku sebelumnya, The Man Who Broke Capitalism, membedah kerusakan sistemik yang disebabkan oleh Jack Welch di General Electric—obsesi terhadap nilai pemegang saham yang menggerus nilai jangka panjang demi keuntungan kuartalan. Dalam Dirtbag Billionaire, Gelles menyajikan kontra-narasi sempurna: kisah seorang pemimpin yang menolak setiap prinsip Welchian, yang sengaja menahan pertumbuhan, yang sungguh-sungguh memprioritaskan planet di atas profit—dan pada akhirnya, yang melepaskan seluruh kekayaannya untuk menyelamatkan Bumi.
Sebagai pengagum Chouinard dan Gelles, mungkin tak ada penerbitan buku yang membuat jantung saya berdegup lebih keras lagi. Sebelum bukunya tiba, saya sudah membaca lebih dari 10 resensi dan menonton video-video yang mengundang Gelles. Dan, ketika akhirnya kitab anyar ini tiba, saya tak bisa menahan diri untuk membacanya sekaligus.
Dirtbag sebagai Filosofi Hidup
Istilah ‘dirtbag’ dalam komunitas pendaki adalah pujian tertinggi. Ia merujuk pada seseorang yang begitu tidak tertarik pada materialisme sehingga rela tidur di alam terbuka, di dalam apa yang oleh kehidupan modern biasa dianggap kotor, demi berada lebih dekat dengan pendakian atau petualangan berikutnya. Chouinard, lahir tahun 1938 dari keluarga sederhana di Maine, mengidentifikasi dirinya sebagai dirtbag seumur hidup. Perjalanan bisnisnya dimulai bukan dari semangat kewirausahaan apalagi pencarian kekayaan, melainkan dari kebutuhan yang murni untuk memenuhi hobi berada di alam terbuka itu.
Pada tahun 1957, dengan membeli perapian bekas bertenaga batubara, Chouinard mulai menempa piton panjat baja—alat yang diperlukan untuk pendakian di tebing-tebing curam Yosemite Valley. Ia menjual peralatan itu dari bagasi mobilnya, bukan untuk mengumpulkan kekayaan, tetapi untuk membiayai gaya hidup surfing dan climbing yang ia cintai. Dalam narasi bisnis kontemporer yang penuh dengan kisah ambisi menjadi unicorn dan mencapai exit strategy bernilai miliaran dolar, Chouinard adalah anomali: seorang pengusaha sukses yang tidak pernah ingin menjadi pengusaha.
Gaya kepemimpinannya sama tidak konvensionalnya. Ia menyebutnya ‘Management by Absence’—MBA, yang bukan Master of Business Administration. Chouinard sering meninggalkan kantor selama berbulan-bulan untuk berpetualang, memaksa dan memercayakan timnya untuk mandiri. Ia tidak pernah lulus kuliah. Dalam beberapa kasus, eksekutif yang direkrut dari latar belakang manajemen tradisional gagal beradaptasi dengan budaya Patagonia yang, dalam pilihan kata Gelles, ‘kacau’.
Evolusi Kualitas: Dari Fungsional ke Etis
Momen paling mendefinisikan dalam kisah ini terjadi sekitar tahun 1970. Chouinard menyadari bahwa piton baja yang diproduksi perusahaannya—yang menyumbang 70 persen pendapatannya—menyebabkan kerusakan signifikan pada celah-celah batu di Yosemite yang ia cintai. Keputusannya sederhana tetapi radikal: ia menghentikan produksi piton dan beralih ke teknik clean climbing, menggunakan chocks dan stoppers dari aluminium yang tidak merusak lingkungan. Ini adalah pengorbanan laba demi penegakan nilai, yang dilakukan puluhan tahun sebelum keberlanjutan perusahaan menjadi jargon bisnis.
Keputusan ini menjadi template untuk evolusi filosofi kualitas Patagonia. Awalnya, kualitas berarti fungsionalitas dan daya tahan. Seiring waktu, definisinya berkembang menjadi holistik dan etis: mempertanyakan bahan baku yang beracun, dampak produksi terhadap planet, kondisi kerja di pabrik pemasok. Pada tahun 1996, Patagonia beralih untuk hanya menggunakan kapas organik setelah menemukan bahwa kapas konvensional menggunakan pestisida dan formaldehida yang membuat pekerja sakit—keputusan yang sangat berpotensi menimbulkan kerugian finansial besar karena pasokan kapas organik saat itu belum ada. Tapi Chouinard bergeming dengan keputusannya.
Program Worn Wear mungkin adalah manifestasi paling menarik dari filosofi ini. Patagonia mendorong pelanggan untuk memperbaiki, menjual kembali, atau mendaur ulang produk jika jalan lainnya sudah habis—secara paradoksikal bertujuan untuk membuat pelanggan membeli lebih sedikit. Ini adalah antitesis dari model bisnis konvensional, dan justru karena itu, iklan ikonik “Don’t Buy This Jacket” pada Black Friday 2011 malah meningkatkan penjualan. Patagonia telah menguasai seni pemasaran yang brilian dengan menjual lebih banyak barang sambil mengadvokasi pengurangan konsumsi.
Kontradiksi sebagai Mesin Inovasi
Saya sangat suka dengan pendekatan Gelles yang tidak jatuh ke dalam perangkap hagiografi. Ia menyajikan Chouinard bukan sebagai orang suci, melainkan sebagai karakter yang kompleks bahkan kontradiktif. Chouinard adalah seorang aktivis lingkungan yang menjalankan perusahaan pakaian yang ia akui sendiri masih menghasilkan banyak polusi sekuat apapun upaya menghapusnya. Seorang idealis anti-otoritarian yang selama bertahun-tahun menjadi kontraktor militer, membuat pakaian taktis untuk Navy SEALs dan Army Rangers. Seorang pemimpin yang membangun budaya kerja terbaik di industrinya—dengan fasilitas penitipan anak sejak 1983, tingkat retensi karyawan perempuan mendekati 100 persen—namun secara konsisten menolak memberikan ekuitas perusahaan kepada karyawan.
Penolakan untuk berbagi kepemilikan ini adalah pain point signifikan dalam narasi Patagonia. Chouinard merasa khawatir bahwa jika karyawan memiliki saham, mereka akan mengambil keputusan yang tidak selaras dengan nilai-nilai jangka panjang, dan mungkin tergoda memprioritaskan keuntungan jangka pendek. Ketika Chouinard akhirnya memberikan seluruh perusahaan kepada entitas nirlaba pada tahun 2022, beberapa karyawan yang telah bekerja selama puluhan tahun merasakan pengkhianatan—mereka merasa berhak berpartisipasi dalam kekayaan yang mereka bantu bangun.
Gelles berpendapat bahwa kontradiksi ini tidak terpecahkan, dan justru ketegangan inilah yang mendorong Patagonia untuk terus berinovasi dan melakukan introspeksi. Esai Chouinard bertajuk Reality Check pada tahun 1991 mengakui dengan jujur: “Segala sesuatu yang kami buat mencemari.” Namun alih-alih melumpuhkan, pengakuan ini menjadi katalisator untuk perbaikan berkelanjutan. Tetapi, walau Patagonia kerap disebut sebagai jawara keberlanjutan perusahaan, Chouinard agaknya terlampau jengah untuk menyatakan perusahaannya sudah berkelanjutan. Ia konsisten menyebut Patagonia sebagai perusahaan yang bertanggung jawab (responsible company); ia menyebut semua upaya Patagonia yang hebat itu sebagai social responsibility—yang ia tegakkan arti sesungguhnya: tanggung jawab atas seluruh dampak ke masyarakat dan lingkungan. Laporannya yang luar biasa menginspirasi disebutnya Impact Report, sesuai makna tanggung jawab sosial, dan pada tahun 2025 dituliskan: Work in Progress. Kejujuran brutalnya menjauhkan Patagonia dari greenwashing.
Memilih Going Purpose, Bukan Going Public
Bagaimanapun, klimaks narasi dalam buku ini terjadi pada tahun 2022, ketika Chouinard, pada usia 84 tahun, menciptakan struktur kepemilikan yang belum pernah ada sepanjang sejarah korporasi global. Alih-alih menjual perusahaan atau melakukan IPO—yang dikhawatirkan Chouinard akan menempatkan Patagonia di bawah tekanan untuk meningkatkan atau bahkan memaksimalkan keuntungan pemegang saham—ia mentransfer seluruh kepemilikan kepada dua entitas baru.
Patagonia Purpose Trust memegang 2 persen saham voting, berfungsi sebagai lapisan tata kelola tambahan yang dirancang untuk melindungi nilai-nilai perusahaan secara permanen. Holdfast Collective, organisasi nirlaba 501(c)(4), memegang 98% saham non-voting dan menerima semua keuntungan dari Patagonia—diproyeksikan sekitar 100 juta dolar per tahun—untuk melawan krisis lingkungan. Pengumumannya yang sangat terkenal itu menyatakan: “Earth is now our only shareholder.” Siapapun, bahkan yang mengenal sepak terjang Patagonia sejak lama seperti saya, tak bisa pura-pura tak kaget.
Pilihan struktur 501(c)(4), bukan 501(c)(3) tradisional, sangat penting. C4 diizinkan untuk melakukan sumbangan politik, memungkinkan Patagonia terlibat dalam advokasi kebijakan. Di sisi lain keluarga Chouinard tidak mendapatkan manfaat pengurangan pajak besar yang akan mereka terima dari donasi C3. Mereka membayar pajak sekitar USD17,5 juta untuk transfer saham voting, sementara nilai ekuitas miliaran dolar tidak pernah dimonetisasi atau dijual—tidak ada capital gain yang direalisasi.
Kritikus yang menuduh kejadian ini sebagai skema penghindaran pajak yang cerdas langsung tersungkur. Harta Chouinard dan keluarganya benar-benar ‘ludes’ demi Bumi yang mereka cintai. Gelles dengan tegas membedakan transaksi Patagonia dari kasus seperti Barre Seid yang mendonasikan perusahaannya ke nirlaba, yang kemudian menjual perusahaan tersebut tanpa pajak. Nilai ekuitas Patagonia tidak pernah dijual; dana untuk aktivisme berasal dari aliran keuntungan berkelanjutan dari operasi perusahaan.
Keterbatasan Model
Kekuatan Dirtbag Billionaire terletak pada keseimbangan dan kejujurannya yang terus mengundang saya tersenyum sepanjang membacanya. Gelles tidak mengklaim bahwa Chouinard telah memecahkan masalah yang dihadapi dan disebabkan Kapitalisme. Ia secara eksplisit mengakui bahwa keberhasilan Patagonia sebagian besar dimungkinkan karena Chouinard mempertahankan kontrol kepemilikan 100 persen selama puluhan tahun. Bagi kebanyakan perusahaan publik, mengadopsi langkah-langkah radikal Patagonia—seperti menahan pertumbuhan berdasarkan kemampuan rantai pasok menyediakan bahan baku dengan prasyarat kualitas dan tanggung jawab sosial atau memberikan 20 persen pendapatan (bukan profit!) untuk aktivisme—adalah mustahil di bawah tekanan kuartalan Wall Street.
Pertanyaan tentang skalabilitas dan replikabilitas tetap tidak terjawab sepenuhnya. Sangat mungkin disengaja. Apakah model Purpose-driven Capitalism Patagonia dapat disalin oleh perusahaan lain? Atau apakah ini hanya mungkin dalam kondisi unik: seorang pendiri idealis dengan kontrol penuh, pasar ceruk yang loyal, dan komitmen nilai yang tak tergoyahkan?
Pengulas akademis seperti Christopher Marquis dengan tajam mencatat bahwa, bahkan dengan pencapaian keberlanjutan yang terpuji, Patagonia tidak dapat melarikan diri dari kontradiksi mendasar Kapitalisme. Perusahaan seperti Patagonia tetap saja terpaksa berpartisipasi dalam sistem ekonomi yang ekstraktif. Buku ini, meskipun benar-benar berusaha seimbang, saya rasa, tetap berisiko memperkuat harapan yang berlebihan tentang apa yang Responsible Capitalism atau Stakeholder Capitalism sebenarnya dapat capai ketika perusahaan-perusahaan seperti Patagonia sangatlah sedikit jumlahnya.
Warisan yang Berkelanjutan
Pada akhirnya, Dirtbag Billionaire adalah studi kasus tentang kepemimpinan berbasis nilai yang ekstrem dalam bisnis modern. Gelles berhasil menangkap esensi Chouinard—seorang dirtbag yang enggan menjadi miliarder, yang menantang logika bisnis konvensional di setiap kesempatan yang ia punya. Benar-benar kontras dengan Jack Welch yang memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami spektrum kepemimpinan bisnis kontemporer yang diikuti oleh mayoritas mereka yang duduk di manajemen puncak hingga sekarang, dengan hasil yang jelas dibenci Chouinard.
Chouinard sendiri berpendapat bahwa kontribusi terbesar Patagonia adalah sebagai model bagi perusahaan lain. Ia berharap 50 tahun dari sekarang, Patagonia akan dikenal sebagai perusahaan makanan yang fokus pada pertanian regeneratif dan hasil laut berkelanjutan—sektor yang ia yakini memiliki potensi untuk secara aktif memperbaiki Bumi, bukan hanya mengurangi kerusakan.
Pesan inti buku Gelles yang saya tangkap adalah bahwa perbaikan menuju keberlanjutan menuntut ketekunan, bukan kesempurnaan. Chouinard, yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memancing, telah menyelesaikan urusan hidupnya. Ia telah memastikan bahwa perusahaannya akan terus “melakukan hal yang benar” di masa depan—bahkan jika definisi “hal yang benar” itu sendiri tetap menjadi paradoks yang tidak terpecahkan, menjadi ketegangan produktif yang mendorong inovasi tanpa henti. Dalam dunia bisnis yang didominasi oleh optimisasi jangka pendek dan ekstraksi nilai maksimal, Chouinard menawarkan narasi alternatif: bahwa bisnis dapat, dan seharusnya, menjadi kekuatan untuk kebaikan. Bahkan, jika jalan menuju kebaikan itu penuh dengan kontradiksi, kekacauan, dan kompromi yang menyakitkan, ia tetaplah layak ditapaki. Chouinard dan Patagonia, dalam buku Gelles yang pasti akan terus dirujuk hingga berdekade-dekade mendatang, bukanlah kisah tentang kesempurnaan. Ini adalah tentang perjuangan yang jujur dan terus menerus untuk berbuat lebih baik pada setiap keputusan. Perjuangan yang mengharukan dan sangat menginspirasi.
Editor: Abul Muamar
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member SekarangJalal adalah Penasihat Senior Green Network Asia. Ia seorang konsultan, penasihat, dan provokator keberlanjutan dengan pengalaman lebih dari 25 tahun. Ia telah bekerja untuk beberapa lembaga multilateral dan perusahaan nasional maupun multinasional dalam kapasitas sebagai subject matter expert, penasihat, maupun anggota board committee terkait CSR, keberlanjutan dan ESG; menjadi pendiri dan principal consultant di beberapa konsultan keberlanjutan; juga duduk di berbagai board dan menjadi sukarelawan di organisasi sosial yang seluruhnya mempromosikan keberlanjutan.

Bagaimana Sains Warga dapat Bantu Atasi Polusi Plastik
COP30: Momen Genting untuk Mengadopsi Indikator Adaptasi Iklim
Menepis Kolonialisme Hijau dalam Transisi Energi Indonesia
Bagaimana Wisata Mewah Ancam Suku Maasai Mara di Kenya
Korea Selatan Wajibkan Penggunaan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (SAF)
Mendorong Penghitungan Investasi yang Adil dalam Upaya Transisi Energi