Demokrasi yang Cacat di Indonesia: Kebebasan Berpendapat di Bawah Ancaman Kekerasan Aparat

Foto: Refhad di Unsplash.
Demokrasi di Indonesia terus menuai sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Pemenuhan hak asasi manusia sebagai salah satu pilar demokrasi, seperti kebebasan berpendapat dan hak atas keadilan, masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Yang lebih parah, kekerasan aparat terus berulang di berbagai tempat. Alhasil: demokrasi Indonesia terus merosot dan tetap masuk kategori demokrasi yang cacat.
Demokrasi yang Cacat
Merujuk laporan Indeks Demokrasi 2024 yang diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), skor Indeks Demokrasi Indonesia berada di angka 6,44; turun dari 6,53 pada tahun 2023, yang juga turun dari 6,71 pada tahun 2022. Selain skor yang merosot, Indonesia juga turun tiga peringkat dari posisi 56 pada tahun 2023 menjadi peringkat 59 dari total 167 negara.
Dalam laporannya, EIU menjelaskan bahwa skor tersebut diperoleh dari penilaian terhadap lima komponen, yakni proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Untuk tahun 2024, budaya politik dan kebebasan sipil menjadi dua komponen dengan skor paling rendah, masing-masing 5,0 dan 5,29. Dengan demikian, Indonesia telah berada dalam kategori negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy) dalam tiga tahun berturut-turut.
Selain EIU, Freedom House juga menyatakan bahwa nilai indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2025 kembali menurun menjadi 56, dari sebelumnya 57 pada tahun 2024–dan 62 pada tahun 2019.
Kekerasan Aparat
Freedom House secara khusus menyoroti lemahnya penegakan hukum dan penyalahgunaan wewenang dari aparat, termasuk penangkapan dan penahanan terhadap para pengunjuk rasa yang menyampaikan aspirasi dan juga terhadap aktivis. Laporan tersebut menjadi selaras dengan realitas tentang kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap warga sipil di Indonesia. Tragedi Kanjuruhan pada tahun 2022 menjadi salah satu yang paling mengerikan dan menyesakkan. Mirisnya, tragedi sebesar itu bahkan tidak memperbaiki cara dan pola polisi dalam menghadapi massa. Kekerasan demi kekerasan dari aparat, yang disertai dengan penggunaan gas air mata, terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Sepanjang tahun 2024-2025 saja, ada banyak kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga sipil, khususnya saat menghadapi gelombang protes. Misalnya, di tengah-tengah demonstrasi yang berlangsung di sekitar Gedung DPR/MPR pada 28 Agustus 2025, polisi secara brutal menabrak dan melindas seorang warga sipil yang bekerja sebagai driver ojek online, Affan Kurniawan, hingga meninggal dunia. Kekerasan dari aparat juga menyasar banyak pengunjuk rasa yang menyuarakan pendapatnya sepanjang demonstrasi Agustus-September di berbagai daerah, yang disertai dengan penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai provokator.
Tidak hanya itu, kekerasan aparat juga mewarnai demo-demo besar lain yang berlangsung sebelumnya seperti demonstrasi “Indonesia Gelap” pada Februari 2025 yang di antaranya menuntut efisiensi kabinet dan menolak revisi UU TNI, dan demo peringatan “Indonesia Darurat” pada Agustus 2024 terkait UU Pilkada. Singkatnya, dalam berbagai aksi unjukrasa, aparat kerap melakukan tindakan represif, termasuk dengan mengejar dan memukuli para demonstran dan tak jarang membuat para korban terluka parah.
Tindakan represif dan kekerasan aparat juga kerap menyasar jurnalis yang bertugas di lapangan, termasuk saat meliput demonstrasi di berbagai daerah. Selain itu, kekerasan aparat juga sering menyasar masyarakat adat dan komunitas lokal dalam penggarapan proyek-proyek ambisius nasional, seperti di Rempang, Mandalika, dan di beberapa daerah lainnya.
Memulihkan Demokrasi
Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa demokrasi yang cacat di Indonesia bukan hanya soal kekerasan aparat. Kecurangan dalam politik elektoral khususnya terkait Pemilu 2024, revisi UU untuk kepentingan kelompok tertentu, diskriminasi dalam berbagai bentuk terhadap kelompok minoritas dan marginal, pengekangan terhadap kebebasan akademik, dan banyak lainnya, juga merupakan faktor signifikan yang harus menjadi perhatian menurut laporan EIU.
Dengan segenap “cacat” tersebut, Indonesia harus berbenah. Semua pihak mesti bahu membahu untuk memulihkan dan memperbaiki demokrasi di Indonesia agar sistem pemerintahan berjalan dengan lebih transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Pemerintah harus memimpin upaya ini dengan mengimplementasikan kebijakan dan peraturan yang selaras dengan nilai-nilai demokrasi, memperkuat integritas lembaga negara dan lembaga pengawas independen, memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, serta menciptakan lingkungan yang mendukung perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Namun, pada akhirnya, semua itu mesti ditopang dengan budaya dan sistem politik yang sehat, dengan para politisi dan pejabat publik yang berintegritas dan berempati, serta dengan prinsip negara hukum (the rule of law) yang melindungi setiap warga dari praktik kekuasaan yang sewenang-wenang, yang memastikan bahwa hukum berlaku untuk setiap orang secara setara dan adil, termasuk bagi para pemangku kekuasaan.

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan AndaAmar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.