Memberdayakan Pengusaha Perempuan untuk Ekonomi Hijau ASEAN
Foto: jcomp di Freepik.
Perempuan semakin berperan aktif dalam mendorong pembangunan berkelanjutan, termasuk sebagai wirausahawan hijau. Dengan menciptakan bisnis yang berupaya mengatasi tantangan lingkungan sekaligus menghasilkan nilai sosial dan ekonomi, mereka membentuk transisi menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Namun, di Asia Tenggara, banyak pengusaha perempuan menghadapi hambatan ajek yang membatasi potensi maksimal mereka di sektor ini.
Kewirausahaan Hijau di ASEAN
Kewirausahaan hijau adalah tentang pengembangan produk, layanan, dan model bisnis yang mengurangi dampak lingkungan sekaligus menciptakan peluang ekonomi. Selain menghasilkan keuntungan, kewirausahaan hijau juga harus mengatasi tantangan lingkungan dan mendorong perubahan sosial yang positif.
Sebagai negara berkembang di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim, Asia Tenggara memandang kewirausahaan hijau sebagai solusi yang ampuh. Potensi ini tercermin dalam investasi hijau swasta di kawasan ini. Antara tahun 2023 dan 2024, jumlahnya melampaui US$8 miliar. Para ahli memperkirakan nilai ekonominya akan mencapai US$120 miliar dan menciptakan 900.000 lapangan kerja pada tahun 2030.
Hal ini menggarisbawahi bagaimana pemerintah dan sektor swasta memposisikan kewirausahaan hijau sebagai pendorong utama pembangunan berkelanjutan.
Hambatan bagi Pengusaha Perempuan
Perempuan memainkan peran penting dalam memajukan kewirausahaan hijau. OECD mencatat bahwa mereka umumnya lebih sadar akan dampak lingkungan, ekologi, dan kesehatan dalam pilihan bisnis dan konsumsi mereka.
Namun, potensi ini masih kurang dimanfaatkan di kawasan ini. UMKM milik perempuan cenderung beroperasi dalam skala yang lebih kecil dibandingkan UMKM milik laki-laki. Selain itu, perempuan memegang kurang dari separuh posisi dewan direksi di perusahaan energi di seluruh Asia Tenggara, berkisar antara 10,7% di Thailand hingga 29,7% di Vietnam.
Beberapa faktor berkontribusi terhadap realitas ini. Pertama, terbatasnya akses terhadap keuangan, pasar, pelatihan teknis, dan pendidikan membatasi pertumbuhan wirausaha perempuan di Asia Tenggara. Selain itu, dukungan kebijakan yang lemah yang secara khusus menangani hubungan gender-energi, dan kurangnya inisiatif yang berfokus pada gender.
Lebih lanjut, norma budaya dan struktur patriarki membatasi keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dan peran kepemimpinan. Salah satu contohnya terlihat pada proyek pembangkit listrik tenaga air Truong Son di Vietnam, di mana norma sosial membatasi pengaruh mereka dalam perencanaan dan implementasi.
Membangun Ekosistem Inklusif bagi Pengusaha Perempuan
ASEAN telah melakukan berbagai upaya seperti Kerangka Kerja Strategis Pengarusutamaan Gender ASEAN dan Deklarasi Kewirausahaan Perempuan. Namun, kesenjangan gender yang besar masih berlanjut, terutama dalam hal kepemimpinan dan pendanaan.
Oleh karena itu, sebagai langkah awal, pelibatan suara perempuan dan interseksionalitasnya dalam kepemimpinan dan pembuatan kebijakan sangatlah penting. Model Triple-Helix ASEAN yang ada—pemerintah, industri, dan akademisi—tidaklah cukup. Untuk membangun ekosistem yang lebih inklusif dan efektif, mengintegrasikan masyarakat sipil dan media ke dalam kerangka kerja ini sangatlah penting. Para aktor ini dapat memperkuat suara lokal, mendorong pemahaman, komunitas, dan kolaborasi.
Lebih lanjut, menciptakan kebijakan dan instrumen keuangan yang mengatasi kesenjangan gender juga penting untuk meningkatkan peran perempuan dalam ekonomi hijau. Pada akhirnya, memastikan partisipasi penuh perempuan sebagai wirausahawan hijau bukan hanya soal kesetaraan. Memberdayakan pengusaha perempuan dapat menjadi katalisator bagi ekonomi ASEAN yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member Sekarang
Kerja Sama AZEC dan Jalan Berliku Menuju Transisi Energi yang Adil
Suara Generasi Z Tentang Krisis Iklim dan Pekerjaan Hijau di Indonesia
Bagaimana Produktivitas Pertanian Bahrain Meningkat di Tengah Kemerosotan Ekonomi Global
Meninjau Second NDC Indonesia dan Tantangan dalam Penerapannya
Membina Kerjasama Internasional untuk Mengatasi Kejahatan Siber
Menjadi Jembatan Keberlanjutan: Strategi Manajer Madya di Tengah Kelembaman dan Desakan Perubahan