Mengulik Potensi Desalinasi untuk Atasi Krisis Air

Foto: Brian Yurasits di Unsplash.
Bagaimana bisa kita mengalami “krisis air” padahal Bumi terdiri dari 71% air? Memang, sebagian besar air di Bumi merupakan air laut, yang tidak dapat kita gunakan langsung untuk berbagai kebutuhan. Namun, desalinasi, konversi air laut menjadi air tawar, dapat menjadi solusi utama untuk krisis ini.
Desalinasi memang memiliki kekurangan, tetapi inovasi muncul untuk membuat proses ini lebih berkelanjutan dalam segala aspek. Sebagai kawasan dengan tingkat kelangkaan air tertinggi di dunia, MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara) sedang mengalami kemajuan signifikan dalam teknologi desalinasi.
Meningkatnya Permintaan Air Bersih
Lebih dari 2 miliar orang tidak memiliki akses ke air minum bersih, dan hampir separuh populasi dunia tidak memiliki akses sanitasi yang layak. Kelangkaan air tidak hanya berdampak pada rasa haus dan kebersihan, tetapi juga mengancam pasokan listrik, ketahanan pangan, kesehatan global, dan ekosistem. Selain itu, krisis air terutama berdampak pada kelompok rentan, sehingga memperparah ketimpangan.
Ekspansi wilayah perkotaan, peningkatan populasi, dan perubahan iklim telah mencemari dan mengeringkan sumber air tawar yang terbatas. Tanpa intervensi, krisis air global akan terus memburuk. Oleh karena itu, kita harus bergegas dalam berinovasi dan membangun infrastruktur yang diperlukan untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.
Proyek Desalinasi di Kawasan MENA
Desalinasi adalah proses pemisahan garam dari air laut untuk menghasilkan air minum. Saat ini, desalinasi semakin populer sebagai pilihan bagi negara yang berjuang memenuhi kebutuhan air warganya.
Ada dua metode umum yang digunakan dalam proses ini. Pertama, multistage flash, yakni dengan melibatkan pemanasan air laut dan mengalirkannya melalui berbagai tahap tekanan untuk menguapkan air. Kedua, reverse osmosis, yakni dengan memanfaatkan tekanan tinggi untuk memaksa air laut melewati filter guna memisahkan kandungan garam. Kedua metode ini menghasilkan air tawar dan residu air garam.
Saat ini, kawasan MENA memimpin dalam mendorong industri ini karena iklim alaminya yang kering dan sumber air tawar yang terbatas. Kawasan ini mengalami kelangkaan air yang ekstrem, dengan enam belas negara berada di peringkat teratas negara-negara dengan kebutuhan air paling tinggi di dunia.
Kemajuan menonjol datang dari negara-negara Teluk, dengan Arab Saudi memegang pabrik desalinasi terbesar di dunia; sementara UEA, Oman, dan Kuwait bertekad menggandakan produksi air desalinasi mereka pada tahun 2030. Proyek desalinasi skala besar juga sedang berlangsung di Aljazair, Mesir, dan Maroko.
Ongkos Finansial dan Lingkungan
Namun, desalinasi juga menimbulkan ongkos finansial dan lingkungan. Selain biaya pembangunan pabrik desalinasi, konsumsi listrik dan energi yang dibutuhkan untuk mengoperasikannya sangat tinggi. Dengan sumber daya bahan bakar fosil yang tersedia di banyak negara di kawasan MENA, mereka mungkin dapat menjaga desalinasi tetap murah. Namun, ini berarti bahwa semakin mereka bergantung pada teknologi ini, semakin besar penggunaan listrik dan semakin tinggi pula emisi gas rumah kaca (GRK). Selain itu, biaya yang tinggi membuat teknologi ini sulit untuk diadaptasi secara luas.
Pada saat yang sama, ada pula risiko ekologis yang tak kalah serius. Dalam proses pengambilan air laut, biota laut dapat terperangkap dan mati. Selain itu, residu air garam yang terpompa kembali ke laut atau ekosistem lain mengakibatkan kerusakan pada habitat alami.
Solusi yang Lebih Bersih untuk Krisis Air
Sebagai respons, banyak organisasi dan pemerintah berupaya berinovasi dan membawa desalinasi ke ranah keberlanjutan. Arab Saudi, misalnya, berinvestasi dalam teknologi berkelanjutan dan mendorong sektor swasta untuk mengembangkan ide-ide baru.
Di seluruh MENA dan sekitarnya, berbagai proyek juga telah bermunculan. Beberapa di antaranya melibatkan pemanfaatan gelombang, energi surya, dan energi panas bumi untuk menggerakkan proses desalinasi. Ada pula yang memanfaatkan limbah panas dari pusat data regeneratif untuk desalinasi air laut. Dalam proyek-proyek lain, penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) membantu meningkatkan efisiensi pemeliharaan dan kinerja operasional pabrik.
Pada akhirnya, berinvestasi dalam riset dan pengembangan untuk menciptakan desalinasi yang berkelanjutan sangatlah penting. Untuk itu, kita perlu mengupayakan kolaborasi lintas batas, lintas sektor, dan publik-swasta. Bagaimanapun, mengatasi krisis air global harus berjalan beriringan dengan melindungi semua yang terlibat dalam proses tersebut, mulai dari alam hingga tenaga kerja.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member Sekarang