Deforestasi yang Semakin Parah di Tengah Transisi Hijau
Hutan adalah elemen penting planet kita, yang menyediakan makanan, bahan bakar, tempat tinggal, dan penghidupan bagi lebih dari 1,6 miliar orang di seluruh dunia. Hutan juga merupakan rumah bagi 80% spesies tumbuhan dan hewan darat, yang penting bagi keanekaragaman hayati dan ekosistem bumi. Selain itu, hutan memiliki fungsi lain yang kurang terlihat, seperti pengaturan siklus hidrologi dan penyerapan karbon. Namun, deforestasi masih terus terjadi di seluruh dunia dan mengancam keberlangsungan Bumi dan masa depan kita semua.
Keadaan Hutan Global
Meskipun terdapat komitmen global untuk menghentikan deforestasi – seperti Deklarasi Hutan New York, Deklarasi Pemimpin Glasgow, dan Inventarisasi Global UNFCCC yang Pertama – dunia tetap bergerak menuju kehancuran dan degradasi yang semakin parah. Laporan bertajuk “Penilaian Deklarasi Hutan 2024: Hutan Terbakar” mengungkap realitas hutan global yang menyedihkan.
“Kita hanya punya enam tahun lagi menuju tenggat waktu global yang genting untuk mengakhiri deforestasi, dan hutan terus ditebang, terdegradasi, dan dibakar dengan tingkat yang mengkhawatirkan,” kata Ivan Palmegiani, koordinator penulis laporan tersebut.
Menurut laporan tersebut, pada tahun 2023 terjadi kehilangan permanen 6,37 juta hektare hutan di seluruh dunia. Selain dampaknya terhadap kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati, hilangnya tutupan hutan juga melepaskan emisi karbon yang diperkirakan mencapai 3,8 miliar metrik ton.
Selain itu, luas hutan yang mengalami kerusakan tanpa kehancuran total juga 10 kali lebih buruk, dengan 62,6 juta hektare hutan terdampak pada tahun 2022. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa setidaknya 3,4 miliar hektare hutan global hilang atau berada dalam kondisi degradasi sedang hingga parah.
Dampak Transisi Hijau
Pendorong utama deforestasi adalah pertanian, yang menyebabkan lebih dari 90% deforestasi hutan tropis. Produksi daging, telur, minyak sawit, kedelai, kelapa, dan karet termasuk di antara penyebab utama dampak buruk ini. Namun, perjalanan transisi hijau dan meningkatnya permintaan akan alternatif berkelanjutan juga menambah tekanan yang signifikan terhadap ekosistem hutan.
Salah satu contoh yang mencolok adalah Indonesia. Erin Matson, salah satu penulis laporan ini, mengatakan, “Deforestasi di Indonesia saja meningkat sebesar 57% dalam satu tahun. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh melonjaknya permintaan global terhadap barang-barang seperti kertas dan logam tambang seperti nikel.”
Permintaan global akan viscose, bahan alternatif biodegradable pengganti kapas dan poliester yang terbuat dari pulp kayu yang dipasarkan secara luas sebagai bahan ‘ramah lingkungan’, sedang meningkat. Hasilnya, sektor pulp kayu Indonesia berkembang sebesar 46% dalam delapan tahun terakhir. Dengan proyeksi pertumbuhan lebih lanjut, konversi hutan alam menjadi hutan tanaman industri yang cepat dan ekstensif menjadi hal yang mengkhawatirkan.
Sementara itu, batu bara dan emas masih menjadi penyebab utama deforestasi dari sisi pertambangan, namun mineral-mineral penting lainnya juga semakin menjadi ancaman yang signifikan. Produksi teknologi ‘ramah lingkungan’ seperti kendaraan listrik dan generator energi terbarukan telah berkembang pesat. Perkembangan ini membutuhkan intensifikasi ekstraksi mineral seperti litium, kobalt, dan nikel. Indonesia memproduksi setengah dari produksi nikel dunia pada tahun 2023, dan deforestasi di negara ini menyumbang 65% dari total deforestasi hutan tropis di Asia. Selain itu, pertumbuhan industri biomassa pelet kayu di Indonesia juga memperburuk deforestasi.
Menghentikan Deforestasi
Peralihan menuju penggunaan energi bersih dan terbarukan dimaksudkan untuk mendekarbonisasi pembangkit energi global dan mengurangi penambangan batu bara, yang merupakan penyebab utama deforestasi. Namun, pengembangan dan produksi kendaraan listrik dan teknologi ramah lingkungan lainnya seringkali disertai dengan kekhawatiran terkait hilangnya keanekaragaman hayati, perusakan habitat, polusi air, dan pelanggaran hak asasi manusia. Dampak-dampak ini harus diketahui, diatasi, dan dimitigasi.
Menyiapkan kerangka kerja untuk pemulihan dan daur ulang yang tepat merupakan hal yang mendesak mengingat penggunaan kembali mineral-mineral penting selama lebih dari belasan tahun. Pada saat yang sama, pengurangan dampak buruk pertambangan dapat dan harus dilakukan dengan menghindari kawasan bernilai konservasi tinggi dan memulihkan kawasan yang terdampak. Laporan tersebut juga menekankan pentingnya menegakkan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal dan menghormati wilayah mereka, tempat sebagian besar mineral penting itu berada. Bagaimanapun, mendukung solusi berbasis komunitas dan pengelolaan lahan berkelanjutan masyarakat adat dan komunitas lokal adalah langkah penting dalam menghentikan dan membalikkan deforestasi global demi kebaikan manusia dan planet Bumi.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.