Meningkatkan Pertanian Berkelanjutan dengan Sistem Wanatani
Indonesia adalah negara agraris. Pada pertengahan tahun 2022, hampir 30% dari warga negara Indonesia di usia produktif kerja adalah petani. Dapat dikatakan bahwa pertanian merupakan budaya turun temurun yang diwariskan leluhur hingga saat ini. Sayangnya, pertanian di Indonesia secara umum masih menerapkan sistem monokultur konvensional, yang membawa banyak dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk itu, dibutuhkan model pertanian yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, salah satunya adalah sistem pertanian wanatani atau agroforestri.
Mengenal Sistem Pertanian Wanatani
Pertanian monokultur, dalam prosesnya, menghasilkan banyak emisi melalui deforestasi. Sistem ini juga menyerap unsur hara dalam tanah dengan tidak terkendali, sehingga merusak kesehatan tanah dan mencemari tanah dengan penggunaan pestisida dan pupuk yang berlebih. Di berbagai tempat, pertanian monokultur juga menyebabkan deforestasi dan menurunkan keanekaragaman hayati, sebab lahan yang semula merupakan hutan dibabat untuk ditanami tanaman pertanian, di mana hewan-hewan tidak dapat meninggalinya.
Di tengah perubahan iklim dan berbagai krisis yang melanda dunia, model pertanian yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan menjadi semakin dibutuhkan. Dalam hal ini, sistem wanatani dapat menjadi salah satu model yang dapat mengurangi dampak lingkungan dari sektor pertanian. Berdasarkan penelitian, sistem wanatani memiliki dampak lingkungan lebih sedikit.
Sederhananya, wanatani adalah sistem pertanian dimana petani bertani di hutan, dengan menggabungkan tanaman pertanian, pepohonan, dan hewan ternak.
Istilah wanatani atau agroforestri sendiri pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970-an. Meski begitu, model pertanian integrasi antara pohon buah dengan tanaman tani sudah dikenal sejak zaman kekaisaran Roma. Inisiasi sistem wanatani kemudian dilanjutkan oleh Joseph Russell Smith, seorang ahli geografi Amerika, yang memperkenalkan peran agroforestri dalam mengatasi erosi sekaligus menghasilkan berbagai jenis pangan, sebagai respons atas besarnya dampak lingkungan yang disebabkan oleh praktik pertanian konvensional.
Dalam dunia pertanian, Wanatani dapat terdiri dari agrisilvikultur (kombinasi komponen kehutanan-pertanian), silvopastura (kombinasi komponen kehutanan-peternakan), agrosilvopastura (kombinasi komponen pertanian-kehutanan-peternakan), silvofishery (kombinasi komponen kehutanan-perikanan), dan apiculture (kombinasi komponen kehutanan-budidaya serangga). Dengan demikian, sistem pertanian wanatani dapat menyatukan komponen kehutanan, pertanian, peternakan, perikanan, hingga budidaya serangga dalam satu unit lahan.
Keunggulan Wanatani dalam Mewujudkan Pertanian Berkelanjutan
Wanatani mampu membantu mewujudkan pertanian berkelanjutan sebab sifatnya yang multikultur. Tanaman pohon yang dilibatkan dalam sistem wanatani pun dapat menjaga kesuburan tanah dan mencegah erosi, sehingga mencegah unsur hara tanah terbawa aliran air maupun angin.
Selain itu, penanaman berbagai jenis tanaman alih-alih hanya satu dalam satu lahan, dan mengintegrasikannya dengan peternakan hewan maupun ikan, dapat meningkatkan produktivitas lahan. Tanaman pohon dapat mendukung kesuburan tanaman yang ditanam di atasnya. Daun-daun kering yang jatuh dari pepohonan dan tanaman dapat menjadi pupuk alami.
Tanaman pohon yang ditanam pada sistem wanatani juga dapat menjadi tempat tinggal bagi satwa liar, seperti burung, serangga, hingga mamalia. Burung yang tinggal di pepohonan dapat menjadi pemberantas hama alami di lahan pertanian, sehingga mengurangi penggunaan pestisida dan mendukung keseimbangan ekosistem. Pertanian wanatani juga lebih berpotensi menyerap karbon dioksida melalui pohon-pohon besar yang ditanam sehingga dapat menjadi salah satu solusi dalam perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini.
Dari segi ekonomi, wanatani mampu menjamin kesediaan pangan yang stabil dengan jenis tanaman yang beragam. Selain itu, jenis tanaman yang beragam juga memberikan nutrisi yang lebih lengkap yang dapat dikonsumsi keluarga petani, sehingga mengurangi kemungkinkan malnutrisi atau kelaparan. Lebih jauh, di banyak tempat, wanatani bahkan mampu membantu meningkatkan pendapatan petani dan memperkuat komunitas lokal.
Wanatani di Indonesia
Wanatani secara umum terbagi menjadi dua, yaitu wanatani sederhana dan wanatani kompleks. Keduanya sudah dipraktikkan di berbagai daerah di Indonesia sejak bertahun-tahun lalu. Wanatani sederhana, contohnya, sudah dipraktikkan sejak tahun 1974 di daerah Ngantang, Malang, dengan perpaduan pohon pinus dan tanaman kopi. Wanatani sederhana juga dilakukan di daerah Maninjau, Sumatera Barat, melalui tradisi pertanian parak, dimana petani lokal memadukan padi dengan pohon kelapa untuk mengakali tanah rawa daerah setempat. Sementara itu, wanatani kompleks salah satunya ada di Krui, Lampung Barat, di mana pohon damar ditanam bersama pohon buah-buahan, palem, bambu, dan lainnya.
Wanatani memiliki peluang cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia. Namun, implementasi sistem ini juga memiliki kendala, seperti pengetahuan yang belum mumpuni bagi petani untuk memulai sistem wanatani, ketidakpastian kepemilikan lahan bagi petani, akses benih berkualitas yang masih rendah, serta jaminan kebijakan.
Untuk mengatasi kendala-kendala ini, dibutuhkan peran pemerintah daerah, baik desa, kabupaten, maupun provinsi, untuk memberikan penyuluhan serta pendampingan bagi petani lokal, serta untuk meningkatkan akses terhadap benih berkualitas dan bantuan modal awal. Dukungan kebijakan juga diperlukan dari segi jaminan kepastian lahan bagi petani.
Selain itu, pemerintah daerah juga dapat melakukan serta menerbitkan analisis peta kondisi lahan daerah dengan sistem terintegrasi. Hasil penelitian tersebut kemudian dapat menjadi pedoman bagi petani lokal untuk menerapkan sistem wanatani yang sesuai dengan keadaan maupun jenis lahan.
Hal utama yang perlu diperhatikan adalah pelibatan petani lokal, karena sistem wanatani merupakan salah satu bagian strategi pertanian berkelanjutan yang selain memiliki semangat ramah lingkungan, juga memiliki semangat pemberdayaan sosial dan ekonomi.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Titis adalah Intern Reporter di Green Network Asia. Ia sedang menempuh semester akhir pendidikan sarjana Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya. Ia memiliki passion di bidang penelitian lintas disiplin, penulisan, dan pengembangan komunitas.