Meningkatkan Produktivitas dan Kesejahteraan Petani melalui Koperasi Pertanian Multipihak
Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian dan ketahanan pangan Indonesia. Sektor ini menyerap banyak tenaga kerja sekaligus menjadi sektor penting dalam penyediaan pasokan pangan bagi masyarakat. Sayangnya, masih banyak petani di Indonesia yang masih belum mencapai kesejahteraan dalam hidup. Berbagai upaya harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, salah satunya dengan mengembangkan koperasi pertanian multipihak.
Kondisi Petani Indonesia
Petani di Indonesia dihadapkan oleh berbagai masalah kompleks dan berada dalam ancaman kemiskinan. Per Maret 2023, 48,86% rumah tangga usaha pertanian termasuk dalam rumah tangga miskin. Banyak petani di Indonesia yang merupakan petani kecil yang menanam dengan lahan kurang dari 0,5 hektare. Banyak dari mereka yang merupakan petani penggarap; mereka tidak memiliki lahan sendiri dan hanya menggarap lahan persawahan milik orang lain dengan prinsip bagi hasil.
Perubahan iklim membuat para petani harus berhadapan dengan ancaman gagal panen dan kerugian di tengah penghasilan yang kecil. Seperti yang dialami oleh para petani di beberapa daerah di Jawa Tengah pada Februari 2024. Hujan ekstrem yang mendera selama berhari-hari membuat tanggul jebol hingga akhirnya ribuan hektare sawah pun tidak bisa dipanen. Sementara padi yang berhasil diselamatkan hanya laku dengan harga Rp 6.000 per kilogramnya. ”(Hasil penjualan gabah) Mungkin tidak akan cukup untuk menambal kerugian yang saya tanggung. Kalau dihitung sejak awal menyiapkan lahan, menanam, memupuk, merawat dan menjaga dari serangan hama, kira-kira saya merugi Rp 20 juta,” kata Sumikah, petani asal Kudus.
Selain itu, harga jual hasil pertanian di tingkat petani seringkali sangat rendah dan tidak adil bila dibandingkan harga jual tingkat hilir (di pasar). Distribusi hasil pertanian yang panjang turut menyebabkan rendahnya keuntungan yang diterima petani. Hal ini menjadi sebuah ironi bagi para petani mengingat sektor pertanian merupakan penyumbang pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 12,53% pada tahun 2023.
Koperasi Pertanian
Koperasi pertanian merupakan badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum hukum koperasi yang pemisahan kekayaan anggotanya digunakan sebagai modal untuk menjalankan usaha pertanian. Koperasi pertanian dapat menjadi tempat untuk mengusahakan kebutuhan usaha tani seperti pembelian bibit, pupuk, pemberantas hama hingga alat-alat pertanian, sebagai tempat untuk mengolah hasil pertanian, memberikan kredit bagi petani, dan mengusahakan pasar penjualan hasil pertanian.
Koperasi pertanian dapat membantu memperpendek rantai pasok pangan yang panjang dan rumit, dengan menjadi sarana bagi petani-petani dengan lahan kecil dan sempit untuk berkonsolidasi dan terhubung langsung dengan pasar. Selain itu, koperasi pertanian juga dapat membantu meningkatkan daya tawar petani di pasar, misalnya melalui penyediaan bibit dengan kualitas yang seragam dan prosedur operasi standar lahan anggota yang disesuaikan dengan karakteristik daerah, seperti yang dilakukan oleh koperasi pertanian di Demak.
Penyediaan kebutuhan atau alat-alat pertanian melalui koperasi dapat membantu petani dalam menghadapi berbagai kesulitan. Koperasi Tani Mulus di Indramayu, misalnya, memberikan pinjaman dana tanpa bunga dalam bentuk pupuk atau pestisida kepada para anggotanya yang dapat dikembalikan ketika masa panen selesai. Pinjaman tersebut dapat menghindarkan petani dari keterlambatan pemupukan yang berdampak pada penurunan produksi. Koperasi Tani Mulus juga mengembangkan peternakan untuk meningkatkan pendapatan petani, sekaligus untuk membangun pertanian yang terintegrasi.
Koperasi pertanian juga dapat membantu petani dalam memperbaiki kualitas produk sekaligus memperbaiki sistem pasok pangan sehingga turut berperan dalam memperkuat ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Mengembangkan Koperasi Pertanian Multipihak
Namun, di berbagai tempat, koperasi pertanian masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan modal, kesulitan dalam pemasaran, hingga kurangnya kemampuan dalam implementasi teknologi pertanian. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengembangkan model koperasi multipihak.
Koperasi multipihak (KMP) adalah model koperasi yang menyatukan berbagai pihak yang terlibat dalam suatu bisnis di bawah satu payung koperasi. Berbeda dengan koperasi konvensional yang anggotanya seragam, KMP dimiliki dan dikendalikan oleh lebih dari satu jenis anggota mulai dari konsumen, produsen, pekerja, hingga investor. KMP merupakan respons terhadap perkembangan teknologi, peluang, dan inovasi sehingga kerap didorong untuk digunakan oleh usaha di sektor digital. Namun, KMP juga dapat beroperasi di berbagai sektor lain, termasuk sektor pertanian.
Dalam sektor pertanian, KMP dapat menjadi sistem yang efektif untuk kolaborasi pihak-pihak yang relevan mulai dari petani, pengepul, penjual, hingga konsumen dengan peran, kontribusi, serta hak dan kewajiban yang disepakati bersama. Kolaborasi memungkinkan petani untuk mendapatkan nilai tambah atau keuntungan yang lebih besar sehingga proses tata niaga dapat berjalan secara adil bagi petani. KMP yang anggotanya memiliki latar belakang yang beragam juga dapat menambah kapasitas dalam menjalankan koperasi yang belum tentu dikuasai petani, seperti pengolahan produk atau wirausaha dengan kepakaran tertentu atau akses ke pasar.
Kemenkop UKM telah menerbitkan Peraturan Menteri koperasi UKM Nomor 8 Tahun 2021 tentang Koperasi dengan Model Multipihak yang berlaku sejak April 2022. Dengan adanya Permen tersebut, masyarakat bisa mendirikan atau mengubah koperasi yang sudah ada menjadi KMP melalui perubahan Anggaran Dasar.
Sejak aturan tersebut diterbitkan, per Oktober 2023, sudah ada 62 KMP yang berdiri di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah Koperasi Produsen Multipihak Wanatani Bambu Lestari (Bambu Coop) di NTT yang berfokus pada proses produksi, pembibitan, panen lestari, dan menggapai akses pasar dalam mengembangkan komoditas bambu. Ada pula Koperasi Kaltara di Hati yang berbasis di Kalimantan Utara untuk memfasilitasi ekspor rumput laut. Sementara di Jombang, terdapat Koperasi Sarana Agro Lestari yang mengonsolidasikan hingga 4.300 petani, pemilik mesin penggilingan beras, dan juga pihak lainnya untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Sedikitnya jumlah KMP di Indonesia menunjukkan bahwa model koperasi ini masih tergolong baru dan asing sehingga membutuhkan lebih banyak edukasi dan pelatihan bagi masyarakat luas. Khususnya dalam sektor pertanian, perlu ada transfer pengetahuan kepada petani agar mereka dapat menggali potensi pendirian KMP baru atau mengubah koperasi yang sudah ada sekaligus mengidentifikasi pihak-pihak yang dapat diajak berkolaborasi. Edukasi ini penting untuk memastikan agar KMP dengan struktur organisasinya yang kompleks dapat dikelola dengan baik dan agar semua kepentingan dapat terakomodasi, mengingat beragamnya jenis anggota. Selain itu, pemerintah perlu mencanangkan berbagai program berdasarkan praktik terbaik (best practices) dari berbagai daerah yang dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam pengembangan KMP di masa mendatang.
Editor: Abul Muamar
Terima kasih telah membaca!
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk membuka akses online tanpa batas ke platform “Konten Eksklusif” kami yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Nikmati manfaat berlangganan, termasuk -namun tidak terbatas pada- pembaruan kabar seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.
Seftyana adalah Freelance Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.