Pelanggaran HAM dalam Proyek Rempang Eco-City

Pembangunan rumah di Tanjung Banon oleh BP Batam. | Foto: BP Batam.
Pemerintah mengerahkan berbagai proyek strategis nasional (PSN) di beberapa daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, banyak dari proyek tersebut yang menimbulkan kerugian lingkungan dan mengorbankan masyarakat adat dan komunitas lokal. Salah satunya adalah Rempang Eco-City di Batam, Kepulauan Riau, yang diklaim untuk menjadikan Batam sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Namun, hasil pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa proyek tersebut memiliki segudang masalah terutama berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya terhadap perempuan.
Proyek Rempang Eco-City
Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City merupakan lanjutan dari pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) Rempang yang telah dimulai sejak tahun 2003. Pengembangan ini didasarkan atas kesepakatan antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan (BP) Batam dengan PT MEG (Makmur Elok Graha). Proyek ini akan dibangun di Pulau Rempang, Pulau Setokok, dan Pulau Galang.
Proyek KWTE Rempang sempat mati suri akibat indikasi korupsi pada tahun 2007. Hingga pada Juli 2023, terbit Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang memasukkan proyek Rempang Eco-City sebagai PSN. Menyusul peraturan tersebut, pemerintah menandatangani kesepakatan investasi dengan Tiongkok yang memungkinkan perusahaan Tiongkok untuk membangun pabrik kaca dan panel surya yang terintegrasi dengan PSN Rempang Eco-City.
Proyek tersebut lantas mendapat penolakan dari masyarakat lokal karena disertai dengan upaya relokasi atau pemindahan paksa masyarakat Rempang dari tanah yang telah mereka tinggal selama ratusan tahun. Selain itu, pembangunan pabrik juga dapat berdampak pada masifnya penambangan pasir laut yang merampas sumber penghidupan utama masyarakat sebagai nelayan.
Namun, penolakan tersebut dihadapi dengan represi hingga pada 7 September 2023, terjadi bentrokan antara masyarakat lokal dengan aparat keamanan yang berujung pada penangkapan berapa orang dan banyak orang yang terluka. Menurut WALHI Riau, terdapat 8 warga yang ditangkap pada 7 September 2023, 43 orang ditangkap pada kerusuhan tanggal 11 September 2023, dan intimidasi oleh petugas keamanan terus berlanjut yang berujung pada kekerasan fisik.
Pelanggaran HAM dalam Konflik Rempang
Pada Oktober 2023, Komnas Perempuan melakukan pemantauan secara langsung ke lokasi konflik di Pulau Rempang untuk mengumpulkan fakta-fakta terkait situasi dan kondisi masyarakat yang terdampak, khususnya perempuan. Hasil pemantauan tersebut menunjukkan adanya berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dijelaskan dari lima aspek, yaitu sebagai berikut.
- Aspek Lingkungan
Komnas Perempuan menyatakan bahwa pembangunan Rempang Eco-City dinilai mengabaikan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal ini sesuai dengan kritik masyarakat sipil yang menemukan adanya cacat dalam pelaksanaan proyek tersebut karena belum dilengkapi dengan dokumen AMDAL.
Hingga laporan Komnas Perempuan terbit, dokumen AMDAL untuk proyek ini masih belum juga tersedia, menunjukkan kurangnya transparansi dan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan yang berlaku. Tanpa adanya AMDAL, potensi dampak negatifnya tidak dapat diidentifikasi secara efektif sehingga dapat berujung pada konflik sosial dan degradasi lingkungan.
- Aspek Gender
Tahapan pembangunan Rempang Eco-City juga dinilai tidak memiliki perspektif gender karena adanya pendekatan represif saat terjadi bentrokan pada tanggal 7 September 2023. Kekerasan oleh aparat telah menimbulkan trauma, khususnya pada perempuan dan anak-anak yang membuat ruang gerak mereka terbatas. Akibatnya, perempuan tidak hanya menanggung dampak ekonomi, tetapi juga tekanan sosial dan emosional yang berlipat ganda akibat ketidakpastian masa depan tempat tinggal mereka.
Selain itu, proses pengambilan keputusan terkait relokasi warga untuk PSN Rempang Eco-City juga minim keterlibatan perempuan. Hal ini mengabaikan prinsip partisipasi inklusif dan setara.
- Aspek Politik
Terdapat indikasi kuat adanya hegemoni investor yang mempengaruhi pemangku kebijakan politik di daerah sehingga berpotensi menggeser prioritas perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal.
Hal ini salah satunya terlihat dari rencana relokasi warga Rempang ke wilayah pulau lain dan skema ganti rugi yang tidak diikuti dengan proses maupun dasar hukum yang jelas sehingga banyak masyarakat Rempang yang menolak.
- Aspek Institusi
PSN di Pulau Rempang menunjukkan lemahnya pemahaman pemerintah terhadap dinamika sosial masyarakat setempat akibat sosialisasi yang tidak partisipatif dan bersifat top-down serta absennya dialog sosial yang bermakna. Selain itu, lemahnya koordinasi antar institusi seperti BP Batam, aparat keamanan, dan pemerintah daerah juga memicu kekacauan dalam penanganan konflik.
- Aspek Perlindungan HAM
Komnas Perempuan juga menemukan bahwa proyek Rempang Eco-City mengabaikan perspektif perlindungan HAM, khususnya terhadap perempuan, yang berperan sentral dalam menjaga tradisi dan budaya. Rempang Eco-City berpotensi mengubah struktur ekonomi masyarakat dan merusak tatanan sosial-budaya yang dijaga oleh perempuan sebagai penghubung antargenerasi.
Selain itu, rencana relokasi yang akan menyatukan warga dari 16 Kampung Tua ke satu wilayah terpusat dapat semakin memperparah pelanggaran hak masyarakat adat dan perempuan. Pemindahan paksa ini dapat memutus masyarakat dari akar budayanya dan mengancam jaringan sosial yang dijaga oleh perempuan melalui tradisi, ritual, dan praktik kehidupan sehari-hari.
Rekomendasi
Dari hasil analisis temuan lapangan, Komnas Perempuan memberikan rekomendasi untuk memastikan perlindungan HAM dalam PSN, sebagai berikut:
- Penyusunan kebijakan pengelolaan lahan yang transparan dan inklusif.
- Peningkatan sosialisasi dan dialog dengan masyarakat adat.
- Penghentian praktik koersi dan kekerasan oleh aparat keamanan.
- Implementasi program pemulihan trauma untuk korban bentrokan.
- Penerapan prinsip-prinsip hak asasi perempuan dalam perencanaan dan implementasi proyek.
- Peninjauan dan revisi kebijakan relokasi untuk memastikan keadilan.
- Pembentukan komisi independen untuk mengawasi implementasi proyek.
- Penyusunan rencana aksi untuk mengatasi tumpang tindih hak pengelolaan lahan.
Editor: Abul Muamar
Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.