COP26: Terobosan dan Hasil Penting dari KTT Iklim Glasgow

Source: Reuters/Phil Noble
Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021—yang lebih dikenal sebagai COP26 (singkatan dari Conference of the Parties ke-26)—berlangsung di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober hingga 13 November 2021. COP26 dianggap sebagai “KTT Iklim Global paling penting sejak COP Paris” karena untuk pertama kalinya negara-negara di seluruh dunia menyerahkan rancangan mereka menuju janji iklim yang disepakati berdasarkan Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat.
Komitmen untuk mencapai 1,5 derajat itu sangat penting karena kenaikan suhu sekecil apapun dapat menghilangkan banyak nyawa dan merusak mata pencaharian. Menteri Lingkungan Kenya, Keriako Tobiko, menekankan bahwa untuk kondisi di Afrika sendiri, “1,5°C itu bukan lagi soal statistik–tetapi masalah hidup dan mati.” Dampak perubahan iklim paling dirasakan oleh negara-negara berkembang di garis depan.
Tahun ini, banyak negara mengajukan rencana pengurangan emisi yang lebih besar dari yang sebelumnya. Namun, Climate Action Tracker memperhitungkan bahwa kalaupun target baru itu diterapkan, suhu dunia tetap akan naik sekitar 2,4°C. Inilah mengapa negara-negara diminta untuk meningkatkan target pengurangan emisi dalam pembicaraan iklim tahun depan. Dalam COP6, kesepakatan global baru juga telah dicapai—yakni Pakta Iklim Glasgow.
Dengan kesepakatan yang dicapai dalam COP26, agenda global selanjutnya akan fokus pada beberapa hal utama, termasuk pengurangan subsidi batu bara dan bahan bakar fosil. Hampir 40 negara dan bank telah menandatangani perjanjian untuk mendukung energi bersih ketimbang mendanai proyek bahan bakar fosil di luar negeri. Para pemimpin dunia juga telah sepakat untuk mengurangi subsidi yang menurunkan harga batu bara, minyak, dan gas alam.
Hal penting lainnya yang dibahas adalah pembiayaan adaptasi untuk negara berkembang. Sebelumnya, rencana pemberian dukungan keuangan kepada negara-negara berkembang senilai $100 miliar belum terealisasi. Tahun ini, negara-negara maju dihimbau untuk setidaknya menggandakan sumbangan keuangan mereka ke negara-negara berkembang.
Catatan lainnya dalam COP26 mencakup perjanjian global untuk mengurangi emisi metana hingga 30% pada tahun 2030, yang ditandatangani oleh 110 negara. China, penghasil metana terbesar, tidak menandatangani perjanjian tersebut, tetapi mereka menyepakati kerjasama dengan Amerika Serikat untuk mengurangi emisi metana pada dekade berikutnya. Di samping itu, terkait masalah “kehilangan dan kerusakan” yang merujuk pada lenyapnya kehidupan, mata pencaharian, dan ekosistem yang sudah terjadi, juga turut dibahas untuk pertama kalinya dalam KTT Iklim itu. Hasilnya, disepakati bahwa Jaringan Santiago akan mengatur dan mendanai bantuan teknis untuk membantu mencegah, meminimalisir, dan menanggulangi masalah kehilangan dan kerusakan itu.
Target sudah ditetapkan, perjanjian telah dibuat. Sekarang tinggal bagaimana negara-negara dan semua pemangku kepentingan mengatur, merencanakan, dan melaksanakan langkah-langkah penting selanjutnya untuk mewujudnyatakan target tersebut.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Untuk membaca versi asli tulisan ini dalam bahasa Inggris, klik di sini.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Tia adalah penulis kontributor untuk Green Network Asia. Saat ini bekerja sebagai Client Executive di sebuah perusahaan konsultan komunikasi global berbasis di Jakarta.