Haiti di Ambang Bencana Kemanusiaan Akibat Gejolak Politik
Hak atas keselamatan dan akses terhadap kebutuhan dasar merupakan hak asasi manusia yang sangat penting. Untuk menjamin hak-hak tersebut terpenuhi, stabilitas politik adalah sebuah harga mati. Di Haiti, gejolak politik yang meningkat menjadi krisis multidimensi yang penuh kekerasan telah mendorong negara tersebut ke ambang bencana kemanusiaan. Lantas, apa pelajaran yang bisa dipetik atas gejolak politik yang terjadi di Haiti?
Bencana Kemanusiaan di Haiti
Sejak pembunuhan presiden pada tahun 2021, Haiti terus mengalami kekacauan politik. Situasi ini semakin parah hingga pemerintah tidak berfungsi dengan baik, dan lembaga-lembaga dasar seperti sistem peradilan dan parlemen, tidak lagi berfungsi.
Secara keseluruhan, pemerintah Haiti semakin tidak mampu untuk menyediakan layanan penting bagi warga sipil. Selain stagnasi ekonomi, meningkatnya kekerasan di Haiti telah membuat warga sipil menderita dan kondisi ini memperburuk situasi keamanan di negara tersebut. Pada awal tahun 2024, sekitar 5,5 juta orang Haiti—yang berarti hampir setengah dari populasi—membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Krisis ini sangat berdampak pada kehidupan masyarakat di negara itu, dimana anak-anak dan perempuan menjadi pihak yang paling terkena dampaknya. Menurut Laporan UNICEF tahun 2023, 90% penduduk Haiti hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka harus menjual barang dan harta benda mereka untuk bertahan hidup.
Selain itu, meningkatnya kekerasan membuat semakin banyak warga Haiti yang terpaksa mengungsi hingga jumlahnya mencapai lebih dari 360.000 orang pada bulan Maret 2024, naik dari sebelumnya 200.000 orang. Penculikan dan kekerasan seksual juga semakin memperburuk krisis di Haiti, dengan lebih dari 3.000 penculikan dan 4.000 kematian pada tahun 2023.
Yang menyedihkan, respons kemanusiaan Haiti pada tahun 2023 hanya menerima 34% dari dana yang dibutuhkan. Selain itu, permohonan kemanusiaan PBB pada tahun 2024 sebesar $674 juta hanya dipenuhi 3,2%.
Temuan-temuan ini menunjukkan kurangnya pendanaan dan dukungan kemanusiaan untuk menjamin keamanan warga sipil Haiti, khususnya kelompok marginal yang terkena dampak terbesar selama masa-masa sulit ini.
Ancaman Kelaparan
Tidak sampai di situ, Haiti juga menghadapi ancaman kelaparan akut. Upaya untuk menimbun makanan di ibu kota, Port-au-Prince, dibatasi karena kondisi kota yang terkepung – yang berarti tidak ada seorang pun yang dapat masuk atau keluar dari wilayah tersebut. Situasi ini memaksa mereka untuk makan lebih sedikit dan mengonsumsi makanan berkualitas rendah, yang mengakibatkan lebih dari 200.000 anak berisiko mengalami malnutrisi akut.
“(Apa yang terjadi di) Haiti adalah salah satu krisis pangan paling parah di dunia. Ketahanan pangan di Haiti sangat rapuh sejak merebaknya pandemi COVID-19 pada tahun 2020, namun saat ini, 1,4 juta orang berada di ambang kelaparan,” kata Jean-Martin Bauer, Direktur Program Pangan Dunia PBB (UNWFP) untuk Haiti. Bauer menggambarkan situasi di Haiti yang kini berada “di ambang kelaparan yang parah”, dengan tingkat kelaparan di Port-au-Prince mirip dengan yang terjadi di zona perang.
Pelajaran yang Bisa Dipetik
Konflik akibat politik—apalagi yang disertai dengan kekerasan—akan selalu mengancam kehidupan manusia, terutama di daerah-daerah tertinggal dimana akses terhadap kebutuhan sudah terbatas. Setiap konflik akan membawa dampak buruk, dan sering kali, mereka yang tidak terlibat langsung justru menjadi pihak yang terkena dampak paling parah. Dalam jangka panjang, konflik juga berdampak terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu, apa yang terjadi di Haiti mesti menjadi pelajaran penting bagi setiap negara, terutama Indonesia, untuk mencegah terjadinya gejolak politik yang hanya akan menyengsarakan rakyat.
Memastikan keselamatan warga sipil dan akses terhadap hal-hal penting seperti makanan, air, dan tempat berlindung sangat penting untuk mengurangi dampak konflik akibat gejolak politik. Oleh karena itu, bantuan kemanusiaan yang mendesak dan upaya pembangunan perdamaian internal diperlukan untuk menciptakan perdamaian abadi untuk kemudian menuju kehidupan yang lebih baik bagi semua orang dan planet Bumi.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Dinda adalah Reporter di Green Network Asia. Dia belajar Ilmu Hubungan Internasional di President University. Dinda bersemangat menulis tentang isu keberagaman, konsumsi berkelanjutan, dan pemberdayaan.