Peluang dan Tantangan Sistem 4 Hari Kerja Seminggu
Pandemi COVID-19 telah mendorong dunia untuk merombak ulang sistem kerja. Kini, sistem kerja jarak jauh (remote) dan fleksibel telah menjadi semakin umum di seluruh dunia, sehingga mendorong lahirnya peraturan dan sistem baru untuk menyesuaikan keadaan. Salah satunya adalah sistem jam kerja terkompresi (compressed workweek), dengan jumlah hari kerja yang lebih sedikit dalam seminggu atau umumnya dikenal sebagai sistem 4 hari kerja seminggu. Lantas, bagaimana peluang dan tantangan penerapan sistem kerja ini secara global?
Sistem 4 Hari Kerja Seminggu
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mendefinisikan compressed workweek sebagai “waktu kerja yang dijadwalkan dalam jumlah hari yang lebih sedikit sehingga menghasilkan hari kerja dengan jam yang lebih panjang namun lebih sedikit dalam seminggu.” Dengan kata lain, sistem ini memperpendek hari kerja dalam seminggu menjadi empat hari kerja, namun tetap mempertahankan jam kerja mingguan yang sama.
Banyak negara di dunia yang telah memperkenalkan sistem 4 hari kerja seminggu dan . Di Inggris, misalnya, hasil uji coba menunjukkan bahwa sistem ini menguntungkan baik bagi pengusaha maupun pekerja. Beberapa negara Eropa seperti Belgia, Jerman, dan Spanyol, juga telah memulai percontohan sistem kerja ini.
Di Indonesia, sistem 4 hari kerja seminggu ini juga mulai diterapkan. Kementerian BUMN, misalnya, telah menerapkan uji coba sistem ini pada sebagian pegawai mereka pada Juni 2024 selama 2-3 bulan.
Peluang dan Tantangan
Salah satu manfaat paling signifikan dari jadwal kerja yang dipadatkan bagi pekerja adalah hari libur menjadi lebih panjang. Dilansir BBC, pekerja yang memadatkan jadwal kerjanya menjadi empat hari mengaku lebih produktif dan lebih mampu mencapai work-life balance (keseimbangan hidup).
“Manfaat utamanya adalah saya jadi dapat menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak-anak saya sambil tetap menjaga pekerjaan full-time saya,” kata Laura Etchells, yang bekerja empat hari per minggu dengan shift 10 jam. Banyak pekerja yang menyatakan bahwa fleksibilitas merupakan faktor kunci ketika mereka ingin mencari pekerjaan baru.
Namun, bagi sebagian orang, bekerja dengan jumlah jam ekstra dalam sehari dapat menjadi tantangan serius. Tanpa manajemen waktu dan sistem pekerjaan yang baik, sistem 4 hari kerja seminggu juga berpotensi membuat para pekerja burnout alih-alih merasa rileks.
Tidak hanya itu, sistem kerja ini masih hanya berlaku pada pekerjaan bergaji tinggi dan formal. David Spencer, seorang profesor di Universitas Leeds, menyatakan bahwa “pekerja dengan upah rendah dan pekerjaan yang tidak aman, termasuk pekerja ekonomi gig, hampir tidak punya bayangan untuk mengurangi jam kerja mereka dengan gaji yang sama.” Pada akhirnya, sistem ini dapat memperparah kesenjangan antara para pekerja.
Masa Depan Pekerjaan
Dunia terus berubah, dan kita harus menemukan cara beradaptasi untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan kita. Meskipun sistem kerja 4 hari seminggu dapat menjadi pilihan yang baik untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, pemerintah dan pemberi kerja harus berkolaborasi untuk memperluas jangkauan sistem ini agar dapat mencakup seluruh pekerja. Selain itu, regulasi yang tepat untuk sistem ini harus ditetapkan untuk menghindari eksploitasi dan memastikan hak-hak pekerja tetap terlindungi.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Madina adalah Reporter di Green Network Asia. Dia adalah alumni program sarjana Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Dia memiliki tiga tahun pengalaman profesional dalam editorial dan penciptaan konten kreatif, penyuntingan, dan riset.