Menempatkan Anak di Jantung Isu Iklim: Refleksi tentang Hak Anak dari ARNEC 2025

Kegiatan bersama para peneliti dan praktisi Early Childhood di Pre-Conference Workshop ARNEC 2025. | Foto: Dokumentasi ARNEC.
Banyak orang telah sering mendengar istilah “‘pelindungan anak” atau “hak-hak anak”. Namun, mungkin tidak banyak yang benar-benar memahami makna dari istilah-istilah tersebut dan apa yang seharusnya dilakukan.
Pelindungan anak bukanlah tentang bantuan yang bersifat sementara, atau sekadar mengajarkan mereka huruf dan angka–misalnya. Pelindungan anak adalah tentang bagaimana menciptakan sistem yang benar-benar berpihak kepada mereka, yang memahami dengan sungguh-sungguh apa kebutuhan mereka, dan membentuk masa depan aman dan nyaman bagi mereka. Namun, menciptakan pelindungan anak dengan konsep seperti itu masih menjadi tantangan berat hingga saat ini.
Pada 1-3 Juli 2025, saya berkesempatan mengikuti konferensi Asia Pacific Regional Network on Early Childhood (ARNEC) 2025 di Manila, Filipina. Konferensi tersebut merupakan medium berbagi praktik terbaik dan inspirasi. Narasumber yang hadir berasal dari berbagai negara di Asia Pasifik, termasuk para akademisi, pembuat kebijakan, praktisi pendidikan anak usia dini, hingga perwakilan organisasi masyarakat sipil. Ada banyak wawasan dan pelajaran berharga yang saya peroleh selama mengikuti konferensi tersebut.
Mengarusutamakan Nurturing Care Framework dan Pendekatan Lintas Sektor
Salah satu pelajaran yang saya dapatkan adalah tentang pentingnya mengarusutamakan Nurturing Care Framework dalam setiap kebijakan pembangunan anak usia dini, terlebih dalam konteks perubahan iklim. Kerangka ini menekankan lima elemen utama: kesehatan yang baik, nutrisi yang memadai, keamanan dan perlindungan, pengasuhan yang responsif, serta stimulasi awal. Dalam konteks perubahan iklim, kelima aspek ini menjadi sangat rentan. Anak-anak yang hidup di wilayah rawan bencana, kekeringan, atau banjir berkepanjangan, tidak hanya kehilangan akses ke pendidikan, tetapi juga akses ke hak-hak dasar lainnya yang krusial dalam menopang tumbuh kembang mereka secara sehat dan aman.
Hal lain yang ditekankan oleh para panelis adalah pentingnya pendekatan lintas sektor dalam merespons perubahan iklim. Perubahan iklim tidak bisa diselesaikan oleh aktor-aktor di sektor lingkungan saja. Para aktor dalam sektor pendidikan, perlindungan sosial, kesehatan, hingga tata kelola sampai di tingkat desa, semuanya perlu dilibatkan dalam satu kerangka kerja yang terpadu. Di sinilah Indonesia perlu belajar banyak; khususnya dalam membangun sistem yang adaptif, kolaboratif, dan berperspektif anak.

Anak Muda Bukan hanya Mereka yang “Progresif” dan Mengikuti Forum
Satu hal yang terus menggema di benak saya selama dan setelah mengikuti konferensi ini adalah bagaimana masih banyak anak muda di Indonesia, khususnya di wilayah pedesaan atau dari kelompok marginal, yang bahkan belum memiliki akses terhadap informasi-informasi atau isu seperti ini. Tidak semua anak muda bisa hadir dalam forum-forum resmi seperti saya. Tidak semua anak-anak muda memiliki privilese untuk memahami isu perubahan iklim, apalagi menjadi bagian dari perumus solusi. Banyak anak muda yang bahkan masih berkutat dengan tantangan paling mendasar: akses listrik yang memadai, pendidikan yang layak, atau bahkan makanan bergizi dan air bersih–yang semuanya kerap sulit untuk dijangkau terutama oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan dan/atau tinggal di wilayah terpencil dengan keterbatasan sumber daya.
Oleh karena itu, memperluas makna “anak muda” dalam narasi perubahan iklim dan pelibatan menjadi sangat penting. Anak muda bukan hanya mereka yang progresif, vokal, dan aktif di forum-forum. Anak muda adalah juga mereka yang tinggal di desa-desa pesisir, di wilayah tertinggal, atau di komunitas adat–yang jauh dari forum-forum tentang pembangunan. Mereka yang tak memiliki gawai, dan harus berjalan kaki puluhan kilometer untuk sekolah. Mereka yang hidup di hutan, dan tak mengenal konsep tentang pendidikan formal modern layaknya yang kita anut. Mereka yang merasakan dampak langsung dari krisis iklim, padahal mereka paling minim kontribusinya dalam menyebabkan krisis ini.
Mereka memerlukan akses terhadap informasi yang inklusif, pengembangan kapasitas di level komunitas, serta ruang-ruang aman untuk berpendapat dan terlibat. Maka dari itu, membangun sistem pelindungan anak di Indonesia harus dimulai dari memperluas partisipasi, memperkuat sistem pengasuhan berbasis komunitas, serta mengintegrasikan Nurturing Care Framework dalam seluruh kebijakan.
Memahami Lebih Jauh Hak-Hak Anak
Selama tiga hari konferensi, saya juga mendapatkan pemahaman penting bahwa krisis iklim dan ketimpangan sosial adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sayangnya, banyak orang kerap lupa dan abai kepada mereka yang paling terdampak: anak-anak.
Orang-orang sering berbicara tentang hak-hak anak, dan bagaimana cara membangun masa depan yang lebih baik untuk mereka. Tetapi banyak orang luput menempatkan perspektif anak-anak dalam percakapan, dan juga dalam perumusan kebijakan. Orang-orang sering sibuk membicarakan data-data saintifik dan hal-hal teknis terkait perubahan iklim, seperti tingkat emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya, tetapi lupa bahwa di balik setiap bencana alam yang terjadi, terdapat anak-anak yang kehilangan hal-hal yang berharga bagi mereka: rumah, orang tua, dan masa kecil mereka.
Konferensi tersebut menekankan bahwa perkembangan anak di usia dini seharusnya menjadi fondasi dalam setiap kebijakan pembangunan. Anak-anak adalah kelompok rentan yang perlu diprioritaskan, didengar, dan dipenuhi hak-haknya.
Memperjuangkan hak anak bukan hanya tugas satu atau dua pihak saja. Memperjuangkan hak anak memiliki arti bahwa kita memberikan kesempatan yang setara bagi siapapun dalam percakapan iklim. Keadilan iklim bukan hanya tentang planet yang kita tinggali, tetapi tentang siapa saja yang harus kita perjuangkan untuk tetap hidup dan tumbuh dengan layak. Anak-anak bukan penonton dalam krisis yang terjadi; mereka adalah alasan utama mengapa kita harus melakukan perubahan sekarang juga.
Editor: Abul Muamar

Berlangganan GNA Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Aisha adalah mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia. Ia terlibat dalam komunitas Green Welfare Indonesia, UNICEF East Asia & Pacific Young People's Action Team, dan Ikatan Duta Bahasa DKI Jakarta. Ia memiliki minat pada isu perlindungan anak, hak-hak anak, dan kesetaraan gender.