Krisis Lingkungan Butuh Peran Perempuan yang Lebih Bermakna
Ketika berbicara tentang perubahan iklim dan krisis lingkungan, sebagian orang mungkin akan membayangkan musim kemarau yang berkepanjangan, bencana banjir, atau polusi udara yang semakin parah. Namun, pernahkah kita berpikir tentang siapa saja yang membuat kebijakan untuk menyelamatkan Bumi? Faktanya, perempuan sering terpinggirkan dari ruang pengambilan keputusan terkait isu lingkungan. Di tengah tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak, dunia tidak bisa lagi mengabaikan atau memandang remeh peran perempuan. Sudah saatnya kita mengubah paradigma dan memastikan bahwa perempuan mendapatkan tempat di meja pengambilan keputusan.
Pentingnya Peran Perempuan
Secara alamiah, perempuan umumnya dekat dengan alam –meski hal ini mungkin telah mengalami banyak perubahan seiring modernisasi. Di banyak wilayah pedesaan di Indonesia, perempuan biasanya tahu soal cara mengatur air, menghemat energi, atau mengelola lahan kecil untuk bercocok tanam. Pendeknya, mereka memiliki pengalaman langsung yang berharga sehingga suara mereka sangat diperlukan dalam diskusi soal kebijakan lingkungan. Namun sayangnya, hanya sedikit perempuan yang memiliki posisi atau kekuatan untuk benar-benar dapat memberikan pengaruh dalam perumusan kebijakan, baik di tingkat nasional hingga ke tingkat desa.
Minimnya peran perempuan yang bermakna tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga secara global. Data menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam Delegasi Partai di CoP28 tahun 2023 hanya 34%, tidak lebih baik dibandingkan 10 tahun sebelumnya. Padahal, dalam membangun ketahanan iklim, melibatkan perempuan sangatlah penting. PBB melaporkan bahwa masyarakat lebih berhasil dalam strategi ketahanan dan pengembangan kapasitas ketika perempuan menjadi bagian dari proses perencanaan. Berbagai penelitian juga menunjukan bahwa ketika perempuan terlibat, kebijakan yang dihasilkan akan lebih inklusif, sensitif gender, dan ramah lingkungan.
Hal ini telah terbukti di berbagai negara. Greta Thunberg dan Christiana Figueres adalah dua tokoh yang menjadi simbol perjuangan lingkungan dunia. Greta memimpin gerakan “Fridays for Future”, sementara Christiana Figueres memainkan peran penting dalam mencapai Perjanjian Paris 2015. Kepemimpinan mereka menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang dapat memobilisasi massa dan menciptakan perubahan sistemik yang dibutuhkan.
Hambatan yang Berlarut-larut
Ada banyak hambatan yang membuat perempuan sulit berkontribusi secara penuh dalam isu-isu lingkungan. Hambatan yang ada bukan hanya persoalan struktural dan sosial, tetapi juga kultural. Stereotip gender dan kurangnya dukungan keluarga termasuk salah satu masalah yang sering menjadi penghalang. Misalnya, perempuan yang ingin terlibat dalam program lingkungan seringkali dihadapkan pada tuntutan domestik atau kerja-kerja perawatan yang lebih besar dibandingkan laki-laki.
Di banyak tempat, perempuan memiliki akses terbatas terhadap pendidikan yang berkualitas, apalagi yang berkaitan dengan isu lingkungan. Padahal, pendidikan berkualitas adalah kunci untuk memahami dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan sekaligus modal penting untuk merespons perubahan iklim. Budaya patriarki yang melekat di masyarakat juga seringkali membuat perempuan hanya menjadi pelaksana kebijakan, bukan pembuat atau penentu kebijakan. Hal ini mempersempit ruang perempuan untuk memberikan solusi yang inklusif dan inovatif dalam isu lingkungan.
Gerakan Perempuan di Indonesia dan Dunia
Gerakan-gerakan yang menunjukkan peran perempuan yang lebih bermakna sejatinya telah ada di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Misalnya, Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) Aisyiyah menempatkan perempuan sebagai aktor utama dalam memasyarakatkan fikih lingkungan. Mereka mencoba membawa perspektif Islam dalam merespons isu-isu lingkungan, sekaligus mendorong perempuan untuk lebih aktif dalam memperjuangkan isu lingkungan.
Selain itu, ada juga gerakan Srikandi Lintas Iman, sebuah inisiatif yang berfokus pada keterlibatan perempuan dari berbagai latar belakang agama untuk mengatasi permasalahan lingkungan melalui pendekatan ekofeminisme. Komunitas ini sering menggelar diskusi, workshop, dan aksi langsung di lapangan yang menekankan pentingnya peran perempuan dalam menjaga kelestarian alam.
Di Flores, NTT, ada Mama Bambu, yang berperan dalam menjaga lingkungan sekaligus meningkatkan perekonomian keluarga lewat program pembibitan bambu. Di Ketapang, Kalimantan Barat, ada komunitas The Power of Mama yang berperan aktif dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan melakukan patroli, sosialisasi, hingga pemadaman.
Sosok perempuan yang turut terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan di Indonesia juga tidak sedikit. Di Kalimantan Timur, misalnya, ada Yuliana Wetuq, yang melanjutkan perjuangan ayahnya sebagai penjaga hutan lindung di Wehea, sebuah kawasan hutan adat yang kaya akan keanekaragaman hayati. Di Sumatera, ada Farwiza Farhan, aktivis lingkungan yang telah berjuang melakukan kerja-kerja konservasi dan restorasi hutan Aceh, terutama ekosistem Leuser.
Di dunia international, ada Women and Environment Development Organization (WEDO), yang memimpin kampanye global untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam isu perubahan iklim seperti UN Climate Change Conference. Organisasi ini juga memfasilitasi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan lingkungan. Contoh lainnya adalah apa yang dilakukan oleh Gender and Climate Change Action Plan (GCCAP), yang melatih perempuan untuk berpartisipasi dalam negosiasi kebijakan lingkungan.
Perlu Perubahan Cara Pandang
Namun, contoh-contoh di atas, dan juga banyak gerakan perempuan lainnya di dunia ini, tidaklah cukup. Yang kita butuhkan adalah perubahan cara pandang menuju paradigma yang adil gender sehingga peran perempuan dapat ditingkatkan secara lebih bermakna dalam menghadapi krisis lingkungan, terutama dalam level perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Menyelenggarakan forum diskusi dan lokakarya yang melibatkan perempuan di kawasan rawan bencana untuk berbagi pengalaman dan solusi berbasis komunitas dapat menjadi salah satu pendekatan kecil yang penting–yang perlu ditingkatkan dan diperluas. Mengarusutamakan pembentukan kelompok advokasi yang dipimpin oleh perempuan dalam merespons isu-isu lingkungan di tingkat lokal adalah langkah penting lainnya. Singkatnya, dengan pendekatan semacam ini, kita tidak hanya mendukung kesetaraan gender, tetapi juga dapat membantu menciptakan solusi lingkungan yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, perempuan tidak boleh hanya menjadi korban perubahan iklim dan objek kebijakan yang membuntutinya, tetapi juga harus dapat menjadi pemimpin perubahan lewat penentuan kebijakan.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Adipatra adalah Asisten Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat dan Surveyor di Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir & Laut (PKSPL) IPB, dengan fokus pada Analisis Kebijakan Lingkungan.