Menanti Presiden yang Lebih Bijak dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dengan maraknya isu transisi energi dan hilirisasi, pengelolaan sumber daya alam yang bijak menjadi sesuatu yang dinanti-nanti. Ketika berbicara tentang pengelolaan sumber daya alam, bukan hanya permukaan dan isi perut bumi yang ditelaah, tapi juga kesejahteraan manusia tempat bumi dipijak. Berbagai kebijakan dan program telah diperkenalkan oleh presiden-presiden sebelumnya guna mengelola sumber daya alam dengan berkeadilan. Namun, kerusakan lingkungan dan konflik dengan warga masih sering terjadi. Karena itu, presiden berikutnya harus lebih baik dalam mengelola sumber daya alam dan menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Transisi Energi Berkeadilan Tidak Sederhana
Agenda transisi energi Indonesia diperkenalkan pada perhelatan G20 tahun 2022. Namun hingga hari ini, eksekusinya masih memerlukan negosiasi antara pemangku kepentingan yang terlibat. Hal ini dikarenakan transisi energi harus dilakukan secara berkeadilan agar tidak ada pihak yang tertinggal.
Program-program atau strategi transisi energi yang tidak direncanakan dengan matang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap ekonomi regional dan mata pencaharian penduduk. Contohnya dapat kita lihat pada pemensiunan dini PLTU batubara. Saat ini, baru ada dua PLTU batubara yang sudah ditargetkan untuk pensiun dini, yakni PLTU Cirebon-1 pada tahun 2035 dan PLTU Pelabuhan Ratu pada tahun 2037. Sayangnya, negosiasi di kedua PLTU tersebut masih fokus ke proses akuisisi dan pembiayaan. Padahal, tutupnya PLTU dapat mengakibatkan PHK besar-besaran.
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan CELIOS dan Yayasan Indonesia CERAH di tiga kabupaten berbeda, pemensiunan dini PLTU batubara dapat berdampak pada hilangnya tenaga kerja sebesar 14.022 orang dan penurunan PDB sebesar Rp3,96 triliun. Penelitian tersebut menyarankan agar PLTU yang dipensiunkan digantikan dengan pembangkit energi terbarukan, dengan catatan pekerja PLTU dipersiapkan untuk bekerja di pembangkit energi terbarukan tersebut.
Sayangnya, belum ada kejelasan apakah PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon-1 akan diubah menjadi pembangkit listrik dengan sumber tenaga lain, ditutup tanpa pembongkaran, atau dibongkar sepenuhnya. Skenario yang jelas perlu ditentukan agar operator PLTU dapat memformulasikan tahapan selanjutnya dan dampak positif dapat dirasakan oleh warga.
Hal serupa pun terjadi pada hilirisasi industri mineral–yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Industri nikel, misalnya, yang saat ini pembangunan smelternya digenjot guna meningkatkan produksi mobil listrik, dilaporkan menyebabkan berbagai dampak buruk, antara lain kerusakan lingkungan pesisir dan perampasan lahan warga. Jika produksi mobil listrik dimaksudkan sebagai upaya untuk meninggalkan bahan bakar fosil, alangkah baiknya jika rantai pasokan bahannya pun mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial.
Memperbaiki Pengelolaan Proyek Strategis Nasional
PSN digalakkan dengan tujuan agar negara dapat mencapai ketahanan ekonomi, pangan, dan energi. Sebagaimana tercantum dalam PP 42/2021, PSN diberi kemudahan dalam persiapan dan operasionalnya. Selain itu, negara memperbolehkan penggunaan kawasan hutan untuk sektor-sektor tertentu seperti sektor industri, energi dan perhubungan sebagaimana diatur dalam PermenLHK No. P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018. Kombinasi ini menyebabkan banyak aspek lingkungan yang terabaikan ketika proyek-proyek ini berjalan.
Proyek food estate (lumbung pangan) di Kalimantan Tengah adalah cerminan eksekusi PSN yang tidak berkeadilan. Proyek ini diberi pengecualian berupa lahan di dalam kawasan Hutan Lindung. Walhi melaporkan bahwa terjadi bencana ekologis berupa peningkatan ketinggian banjir di Kabupaten Gunung Mas dari 10-40 cm menjadi 1-1,5 m. Selain itu, Greenpeace mencatat adanya perampasan tanah masyarakat adat Dayak. Ada sekitar 860 hektare tanah adat bersertifikasi yang dijadikan kawasan proyek lumbung pangan.
Tanah untuk Kemaslahatan Masyarakat
Masalah pelik yang sering terjadi dalam pengelolaan sumberdaya alam sejak era Orde Baru adalah konsesi yang tumpang tindih. CIFOR melaporkan bahwa ini adalah produk dari otonomi daerah yang menyebabkan “legalisasi” dari konsesi-konsesi ilegal. Pada tahun 2021, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melaporkan adanya 5,2 juta hektare Izin Usaha Pertambangan (IUP) di dalam Kawasan Hutan, serta 4,7 juta hektare IUP yang tidak memiliki atau tidak sesuai dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
KSP diperkenalkan pada tahun 2016 sebagai solusi dari masalah pertanahan. Sayangnya, mengintegrasikan peta dari lembaga-lembaga berbeda, serta konsultasi dengan masyarakat terkait tanah adat, merupakan proses yang tidak mudah. Astuti dan McGregor melaporkan hanya 5-40% data tersedia di level kecamatan. Ini akibat kurangnya dokumentasi dan adanya informasi ‘sensitif’ yang diduga berupa konsesi ilegal. Silviana menemukan bahwa beberapa batasan kepemilikan lahan masih menjadi sengketa, dan Nurwadjeji et al. menjelaskan bahwa ada ketidakkonsistenan dalam penyajian data maritim.
Akibatnya, hingga saat ini KSP pun masih belum bisa diandalkan sebagai referensi absolut untuk kebijakan pertanahan. Kompas melaporkan bahwa terdapat 115 konflik agraria antara tahun 2020 dan 2023 terkait PSN yang berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat.
Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil
Masalah yang sering terjadi dalam kebijakan lingkungan adalah lemahnya penegakan hukum. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Raidy menjelaskan bahwa penegakan hukum terhadap aspek lingkungan menjadi longgar ketika pihak yang ditertibkan dirumorkan dekat dengan pemerintah. JATAM melaporkan banyak pejabat pemerintah terafiliasi dengan oligarki tambang. Hal ini berpotensi mempersulit penegakan hukum.
Jalan menuju pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan adalah jalan yang berliku-liku. Payung kebijakan yang rigid, birokrasi dan studi berlapis, serta tanggung jawab pihak pengusaha dibutuhkan. Namun hal itu juga perlu didukung dengan penegakan hukum yang tegas. Semua itu tidak akan ada gunanya jika ada pihak yang mengambil jalan pintas. Penegakan hukum harus dilakukan secara adil tanpa memandang bulu pihak yang diadili.
Editor: Abul Muamar dan Marlis Afridah
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Ata adalah Manajer Kemitraan Bisnis di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Ilmu Manajemen Lingkungan dari University of Queensland, Australia. Ia seorang environmental & biodiversity impact specialist, memperkuat kemitraan bisnis Green Network Asia khususnya dengan fokus lensa dan wawasan lingkungan.