Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Kenyang Sesaat atau Kunci Kemandirian?

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Dagelan memang. Indonesia negeri agraris, namun kerawanan pangan terus menghantui. Dalam kondisi ini, setiap gagasan mengisi perut jutaan anak bangsa pastilah serasa embun penyejuk. Tapi, bagaimana jika “solusi cepat” datang dalam bentuk program nasional raksasa seperti Makan Bergizi Gratis (MBG)? Pertanyaan mendasarnya: apakah kita membangun fondasi kokoh kemandirian pangan, atau sekadar menunda lapar? Di persimpangan niat mulia dan potensi jebakan, terlebih dengan laporan kendala lapangan, suara kritis masa lalu dan pengetahuan teruji zaman menjadi kompas berharga.
Niat MBG mungkin mulia: anak bangsa tumbuh sehat, cerdas, terbebas dari ancaman tengkes. Tapi, cukupkah makanan gratis untuk kemandirian pangan? Atau justru memadamkan kreativitas lokal dengan bantuan instan, apalagi jika program triliunan ini mengorbankan alokasi layanan dasar lain? Keluhan kualitas, distribusi, hingga transparansi menambah pertanyaan. Di sinilah, kita perlu menengok sejarah, belajar dari gagasan besar dan praktik masyarakat lokal.
Pelajaran Kepemimpinan dari Nyerere
Mwalimu Julius Kambarage Nyerere – ‘Sang Guru’ dalam Swahili yang kemudian menjadi Presiden Tanzania adalah salah satu pelajaran kepemimpinan yang patut disimak.
Nyerere, pemikir visioner, menggagas “Pendidikan untuk Kemandirian” (Education for Self-Reliance). Konsep fundamental ini melawan pendidikan kolonial yang mencabut individu dari komunitas, dengan gagasan utama untuk mengintegrasikan sekolah dengan kehidupan komunitas dan membekali siswa keterampilan praktis relevan potensi lokal. Pendidikan harus menanamkan sikap kritis, mendorong kreativitas, membangun kemandirian individu-kolektif, serta menghargai kerja manual dan pertanian sebagai fondasi bangsa. Bukan utopia semata, Nyerere menerapkan konsep ini dan menjadikan sekolah sebagai unit produksi demi kemandirian nasional. Semua sekolah adalah kebun dan bengkel.
Lalu, bagaimana dengan MBG? Program ambisius ini diuji sejarah dan filosofi: apakah sekadar transfer logistik makanan, atau mampu bertransformasi menjadi gerakan sosial pemberdaya, mendidik bangsa berdaulat atas pangannya? Ini pertaruhan besar, bukan soal anggaran triliunan semata, tapi menyangkut masa depan karakter bangsa.
Peluang dan Risiko MBG
Dengan pisau analisis Nyerere, program Makan Bergizi Gratis bisa menjadi berkah, asalkan dirancang dengan semangat “Pendidikan untuk Kemandirian.” Namun, program ini juga berpotensi menjadi beban jika hanya dipahami sebagai program karitatif.
Idealnya, MBG tak hanya mengisi piring, tapi menghidupkan lumbung pangan lokal dan memberdayakan petani setempat. Sekolah seharusnya menjadi pusat pembelajaran agraris dan gizi yang kurikulumnya mengakar pada kearifan pangan Nusantara, sehingga menumbuhkan kebanggaan produk kampung sendiri. Anak-anak tak hanya kenyang, mereka juga cerdas pangan dan paham asal-usul makanannya.
Namun, risiko program gigantis ini nyata, sudah terlihat sejak implementasi awal: dari ketergantungan pasokan terpusat yang meminggirkan produsen kecil, keluhan menu yang cenderung monoton, hingga isu kualitas dan keamanan makanan. Sekolah sekadar menjadi tempat distribusi yang minim pelibatan komunitas. Paling mengkhawatirkan, lahirnya mentalitas menunggu bantuan, sementara janji pelibatan ekonomi kerakyatan perlu pembuktian di tengah kerumitan pengelolaan anggaran raksasa yang menuntut transparansi. Jika terjebak skenario ini, MBG mungkin mengisi perut sementara, namun gagal membangun kemandirian; menjadi program “memberi ikan”, bukan “mengajari memancing” – prinsip yang sangat dihindari Nyerere.
Belajar dari Praktik Masyarakat Lokal
Di tengah hiruk-pikuk program nasional, mari menepi, mendengarkan bisikan kearifan dari mereka yang mempraktikkan kemandirian dalam senyap. Di kaki Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan, pernah hidup Tata Mandong. Sosok sederhana, bukan pejabat atau akademisi, melainkan penjaga hutan, petani subsisten yang hidup menyatu dengan alam.
Hingga akhir hayatnya, Tata Mandong mendedikasikan hidupnya menjaga kelestarian hutan Bawakaraeng, sumber air kehidupan. Ia melakukannya karena panggilan jiwa, bukan sekadar proyek. Di lahan sempitnya, ia bertani sayuran, beternak sapi, membuat kolam ikan. Hidupnya adalah pengejawantahan “Pendidikan untuk Kemandirian”: mandiri pangan, menjaga lingkungan, menjadi guru informal tentang kearifan lokal. Ia tak berteori kedaulatan pangan; ia mempraktikkannya.
Kisah dan warisan Tata Mandong, serta ribuan sosok serupa di Nusantara, adalah pengingat penting bahwa kemandirian sejati tumbuh dari akar komunitas, pengetahuan lokal, dan kerja keras konsisten. Keteladanan mereka menjadi suluh. Semangat serupa bukanlah nostalgia; ia terus bersemi, diwujudkan generasi muda yang peduli.
Tengoklah inisiatif Doangta’ di Desa Manyampa, Bulukumba, di sudut Jazirah Selatan Sulawesi. Sekelompok orang muda yang tak menunggu uluran tangan, mereka bergerak mengolah hasil tambak udang lokal menjadi produk bernilai tambah dengan sentuhan cita rasa khas setempat, seperti olahan udang Bajabu, mengangkat khazanah kuliner daerah.
Upaya nyata merajut asa kedaulatan ekonomi dari bawah demi kesejahteraan komunitas ini sejalan dengan prinsip kemandirian. Inisiatif berdaya seperti inilah yang bisa menjadi tulang punggung MBG di tingkat desa; bayangkan produk olahan udang bergizi dengan cita rasa lokal dari tangan kreatif pemuda Doangta’ bisa turut memperkaya menu sekolah sekaligus menghidupi ekonomi petambak dan pemuda setempat.
Menuju MBG yang Memberdayakan
MBG tak harus jadi beban. Namun, agar tak sekadar ’kenyang sesaat’ yang melahirkan ketergantungan, ia harus didesain ulang, belajar dari tantangan implementasi awal. Salah satunya, kita bisa mengadopsi semangat kepemimpinan Nyerere, inspirasi praktik baik komunitas seperti warisan Tata Mandong, dan geliat pemberdayaan orang muda seperti Doangta’. Ini bukan menolak program raksasa nasional, melainkan mengisinya dengan jiwa: percaya setiap komunitas berpotensi berdaulat pangan, dan anak-anak dapat menjadi agen perubahan berkarakter mandiri.
Jika tidak, kita hanya berputar dalam idealisme yang padam sebelum waktunya. Tantangan sesungguhnya ada pada upaya untuk mengubah MBG dari program pemerintah menjadi gerakan penghidup lumbung desa, pemberdaya petani dan nelayan lokal, dan penanam benih kemandirian di setiap anak Indonesia.
Kemerdekaan sejati bangsa dimulai dari kemampuannya memberi makan dirinya sendiri, kini dan nanti. Bisikan Nyerere dan keteladanan dari Bawakaraeng telah menunjukkan jalannya. Keberanian melangkah, kini ada di tangan kita.
Editor: Marlis Afridah & Kresentia Madina

Berlangganan GNA Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia, akselerasi dampak positif Anda untuk masyarakat (people) dan lingkungan (the planet).

Ary adalah pekebun di kaki Gunung Salak, dan bagian dari Jaringan Penasihat Green Network Asia. Ia menyelesaikan Ph.D di bidang Sociology of Adult Education and Development dari University of Alberta, Kanada. Ary telah menekuni isu-isu pendidikan pedesaan, kaum muda sebagai agen perubahan, transformasi pedesaan, pembangunan kapasitas, dan manajemen pengetahuan selama 20 tahun.