Kaleka: Mendukung Produksi Pertanian Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Komunitas Lokal dan Masyarakat Adat
Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, khususnya dalam sektor pertanian, menjadi salah satu kunci keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat saat ini dan generasi mendatang. Komunitas lokal, petani, dan masyarakat adat memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, praktik pertanian yang tidak berkelanjutan memiliki dampak serius terhadap manusia dan lingkungan.
Sebagai upaya untuk mengatasi persoalan ini, organisasi nirlaba Kaleka hadir untuk memberikan pendampingan, khususnya bagi petani, generasi muda, dan masyarakat adat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Bagaimana mereka melakukannya? Berikut wawancara Green Network Asia dengan Bernadinus Steni Sugiarto, Ketua Kaleka.
Apa masalah utama dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, khususnya di sektor pertanian?
Ada banyak. Salah satu yang utama adalah membuat pertanian dikelola secara berkelanjutan, dimana produksi dilakukan dengan menjaga lingkungan sekaligus memberikan pendapatan yang memadai bagi petani.
Pertanian yang tidak berkelanjutan akan mengurangi daya dukung ekosistem, mengancam ketersediaannya untuk masa kini dan masa yang akan datang. Contohnya, kerusakan hutan alam, lahan gambut, dan ekosistem penting lainnya dapat mengakibatkan krisis air, kebakaran hutan, dan hilangnya penyerbuk alamiah, sehingga dapat terjadi pengurangan produksi dan peningkatan biaya pertanian. Situasi ini diperparah oleh masalah lingkungan global seperti perubahan iklim yang mengharuskan pertanian dikelola secara bijaksana.
Bagaimana awal terbentuknya Kaleka?
Penggagas awal terbentuknya Kaleka adalah Dr. Silvia Irawan yang didukung oleh Dr. Daniel Nepstad pada tahun 2013-2014. Sekitar tahun 2014-2015, saya bersama dengan beberapa teman bergabung. Saat itu, Kaleka bernama Inobu.
Kehadiran Kaleka dipicu oleh beberapa alasan fundamental. Salah satunya adalah fokus pada REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation), di mana pertanian diidentifikasi sebagai pemicu deforestasi dan emisi. Kami menyadari bahwa diperlukan suatu model yang memiliki dampak luas untuk mendorong pertanian berkelanjutan.
Banyak proyek telah dilakukan untuk mendorong pertanian berkelanjutan, tetapi belum menjadi kekuatan utama dalam pembangunan. Oleh karena itu, kami melihat perlu ada suatu model yang memiliki dampak luas. Kemudian tercetuslah ide pendekatan yurisdiksi atau kewilayahan. Ini adalah gagasan untuk memfasilitasi pengelolaan lanskap berkelanjutan melalui keterlibatan otoritas dengan sistem yang kuat, wilayah yang jelas, dan birokrasi yang mendukung perubahan besar. Pendekatan ini juga melibatkan dialog antara pelaku usaha pertanian dan kelompok-kelompok yang memperhatikan keberlanjutan di wilayah tersebut.
Kami memulai dengan fokus pada komoditas sawit di Provinsi Kalimantan Tengah, kemudian menurunkannya ke tingkat kabupaten. Contohnya, di Kabupaten Seruyan, yang merupakan kelompok paling rentan dalam industri sawit di wilayah ini, telah mengalami kemajuan dalam kebijakan dan pendampingan petani kecil.
Bagaimana keterlibatan masyarakat dan pihak lainnya dalam menjalankan program-program yang ada?
Program ke masyarakat dikembangkan melalui kerja sama multipihak dengan pemerintah daerah dan perusahaan swasta yang memiliki program untuk membantu petani. Pendampingan masyarakat dilakukan dengan pengembangan kapasitas, penyediaan teknologi, akses ke penelitian praktis, pembangunan organisasi, dan akses pasar.
Dalam banyak kasus, perusahaan swasta mendukung petani dengan menyediakan laboratorium, pelatihan, dan memberikan bantuan dalam pengumpulan data. Kerja sama dengan pemerintah daerah dilakukan secara resmi melalui Memorandum of Understanding (MOU) dan keputusan bupati. Sementara dengan perusahaan, kami memiliki MOU dan perjanjian untuk mendorong pembelian dari petani yang didampingi dengan praktik berkelanjutan.
Kami juga telah mengembangkan Youth of Tanibaik (YOTA), suatu wadah untuk memfasilitasi minat generasi muda terhadap pertanian. Kami mengenalkan mereka dengan platform-platform belajar yang kami kembangkan, seperti Tanibaik, untuk menghasilkan produk dengan nilai unik dan menjual di pasaran. Kaleka memberi mereka pendanaan kecil dan didampingi oleh para profesional dari penggagas dan pelaku bisnis yang sudah mapan.
Bagaimana upaya Kaleka dalam menggabungkan penelitian terapan dan pengetahuan masyarakat hingga menjadi sebuah inovasi?
Kami selalu memulai pekerjaan dengan riset. Riset yang dimaksud berupa penelitian terapan yang dilakukan melalui belajar bersama dengan pemangku kepentingan, termasuk petani, pemerintah daerah, dan juga NGO.
Bersama mereka, kami mengidentifikasi masalah dan mencari solusi praktis. Solusinya dapat berupa teknologi sederhana, kebijakan, pembuatan platform, input pertanian, manajemen, atau pengembangan kapasitas. Kami menguji solusi-solusi tersebut dalam praktik untuk mengevaluasi efektivitasnya. Jika tidak berhasil, kami merancang ulang solusinya dan mencobanya kembali sampai berhasil. Setelah berhasil diterapkan, kami mempromosikannya sebagai inovasi.
Apa saja program yang dimiliki Kaleka?
Pertama, Tanibaik. Tanibaik adalah platform yang menyediakan pendampingan bagi petani serta menghubungkan mereka dengan sumber-sumber pengetahuan dan informasi yang membantu meningkatkan keterampilan dalam mengelola pertanian, yang dapat mendukung petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik.
Pengguna utama Tanibaik adalah petani dari berbagai jenis komoditas, usia, dan produksi skala kecil. Selain itu, kelompok pendukung atau peminat pertanian seperti penyuluh, NGO, dan ahli pertanian juga menjadi pengguna platform ini. Saat ini, sudah ada 3.864 petani terdaftar di Tanibaik, dengan mayoritas berusia 26-35 tahun dan tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Kedua, Aliansi Kolibri. Aliansi Kolibri adalah aliansi yang terdiri dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) lokal dari berbagai daerah yang memiliki visi dan misi untuk memperjuangkan keberlanjutan di wilayahnya masing-masing. Inisiatif ini dirancang untuk mendukung penguatan kapasitas OMS, mulai dari tata kelola, keuangan, kemampuan penelitian, penyusunan kebijakan, hingga advokasi berbasis data. Aliansi ini mengumpulkan data iklim dari berbagai daerah tempat anggotanya beroperasi, terutama mengenai dampak fenomena iklim terhadap ketahanan pertanian lokal.
Selanjutnya, data-data yang terkumpul akan dikembangkan menjadi model yang dapat menganalisis pola iklim, sehingga dapat membantu petani dalam membangun sistem resiliensi terhadap perubahan iklim yang merugikan pertanian mereka. Saat ini, sudah ada delapan organisasi yang bergabung dalam aliansi ini, yang tersebar di Mentawai, Aceh, Kalimantan Barat, Flores (Nusa Tenggara Timur), Buton (Sulawesi Tenggara), Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah), Jambi, dan Sulawesi Tengah.
Ketiga, Inisiatif Mosaik. Inisiatif ini merupakan hasil gabungan dari beberapa wilayah yurisdiksi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, termasuk Seruyan, Kotawaringin Barat, Sukamara, dan Ketapang. Wilayah-wilayah ini memiliki konsentrasi tinggi nilai konservasi, seperti Taman Nasional Tanjung Puting, Cagar Alam Lamandau, Taman Nasional Gunung Palung, dan Kawasan Hidrologi Gambut. Di dalamnya, terdapat komunitas petani yang berasal dari beragam latar belakang, termasuk masyarakat adat, transmigran, dan komunitas lokal.
Melalui inisiatif ini, Kaleka memfasilitasi pertanian yang berkelanjutan dengan mengembangkan model pertanian lokal secara bijaksana. Salah satu contohnya adalah membantu masyarakat adat dan lokal dalam memanfaatkan input organik dari sumber-sumber yang terjangkau dan ekonomis. Selain itu, inisiatif ini juga mempromosikan produk pertanian beragam berdasarkan keunggulan setempat, untuk mencegah dominasi sistem pertanian monokultur yang rentan terhadap fluktuasi pasar dan biaya tinggi.
Dengan cara ini, masyarakat memiliki alternatif sumber pendapatan yang beragam selain dari komoditas utama seperti sawit. Di masa depan, model alternatif ini diharapkan dapat diperluas menjadi skala wilayah yang dapat mengubah struktur ekonomi pertanian, sesuai dengan visi yang telah dijelaskan sebelumnya.
Keempat, Wewowo Lestari. Wewowo Lestari adalah inisiatif lokal di tingkat kabupaten di Fakfak, Papua Barat, yang menyerupai model yang diterapkan di Seruyan. Pendekatan ini dilakukan pada skala wilayah dengan fokus utama pada masyarakat adat orang asli Papua yang memiliki komoditas unggulan berupa pala. Pala ini tumbuh di hutan-hutan Papua dan menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat adat.
Kaleka memfasilitasi proses penghubungan pala dengan pasar produk akhir yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu yang sedang dikembangkan adalah kolaborasi dengan perusahaan pembuatan parfum merek-merek ternama untuk klien kelas atas. Pengembangan parfum dengan harga tinggi ini akan memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi pala, dibandingkan dengan penjualan sebagai bahan mentah. Harapan dari nilai ekonomi yang lebih tinggi adalah meningkatkan pendapatan secara signifikan dan membantu mengatasi masalah kemiskinan.
Apa kebijakan atau hal yang masih luput dari pemerintah terkait praktik pengelolaan sumber daya alam di Indonesia?
Kecenderungan melakukan ekspansi lahan dengan terburu-buru untuk mengembangkan produk pertanian tertentu tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, sosial, dan pasar. Minimnya pertimbangan yang matang sering kali mengakibatkan upaya ekspansi terhenti di tengah jalan, sementara lahan yang sudah terlanjur dibuka menjadi tidak terpakai. Langkah semacam ini bukan hanya menjadi sia-sia, tetapi juga menimbulkan bencana lingkungan dan meningkatkan risiko konflik.
Dibutuhkan kebijakan untuk menghentikan ekspansi lahan yang tidak terkendali dan beralih ke strategi pertanian yang berkelanjutan untuk meningkatkan produktivitas lahan yang telah terdegradasi. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan restorasi lahan menggunakan tanaman pertanian bernilai tinggi yang juga memiliki fungsi ekologis. Dukungan kebijakan insentif sangat diperlukan untuk mendukung inisiatif semacam ini.
Berdasarkan pengalaman Kaleka, apa saja tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia? Adakah saran untuk mengatasinya?
Tantangannya ada pada perubahan kebijakan nasional dan daerah serta perubahan rezim politik yang dapat mempengaruhi aturan dan kebijakan dengan cepat. Namun, pengalaman di Seruyan menunjukkan bahwa pergantian pemerintahan tidak mempengaruhi inisiatif yang telah dilakukan. Semua bupati selalu menerima dengan baik.
Namun, untuk mempertahankan hal ini, diperlukan dukungan berupa konsistensi regulasi dan penerimaan dari pengambil kebijakan agar inisiatif keberlanjutan dapat terintegrasi ke dalam semua perencanaan sektor. Dengan demikian, semua instansi pemerintah memiliki kerangka kerja yang berkelanjutan. Keberlanjutan membutuhkan kerja sama. Dengan kerja sama, keberlanjutan pasti terwujud.
Aktivitas Kaleka dapat diikuti melalui laman Kaleka.id dan akun Instagram @tanibaik_kaleka.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Busra adalah Intern Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Pendidikan Bahasa Inggris dari Universitas Mataram. Ia memiliki ketertarikan pada dunia kepenulisan dengan topik seputar pendidikan, sosial, dan budaya.