Kota Pekalongan yang Kian Tenggelam
Qomarudin tak pernah membayangkan bahwa firasat buruknya sekitar 22 tahun lalu menjadi kenyataan. Qomarudin adalah satu dari 4.500 penduduk Desa Api-Api, Kecamatan Wonokerto, Pekalongan, yang harus kehilangan rumahnya karena tenggelam akibat banjir rob, sebagai dampak krisis iklim yang meningkatkan muka air laut di daerahnya.
Sedih dan putus asa adalah perasaan yang hampir selalu dirasakannya. Ia dan warga lainnya telah mengerahkan segala upaya dan daya, tapi selalu berbuah nihil. Namun, pemuda yang kini menjabat sebagai kepala desa itu tetap berjuang dengan berbagai cara. Jalur-jalur advokasi hingga pengiriman surat kepada kepala daerah, telah ia tempuh untuk mengembalikan tanah kelahirannya yang tenggelam. Namun, sampai saat ini, dampak krisis iklim di Pekalongan masih terus bergulir.
Krisis Lingkungan di Kota Pekalongan
Apa yang dirasakan oleh Qomarudin adalah fakta bahwa krisis iklim merupakan ancaman nyata bagi mereka yang tinggal di wilayah pesisir. Slamet Miftakhudin, Perencana Ahli Madya BAPPEDA Kota Pekalongan, menjelaskan bahwa penurunan tanah adalah faktor utama yang menyebabkan tenggelamnya Kota Pekalongan.
Maraknya eksplorasi air bawah tanah (ABT) di Kota Pekalongan yang rata-rata berjenis alluvial (lempung) dan alih guna lahan membuat upaya mitigasi untuk menyelamatkan kota ini dari amukan banjir rob belum menuai hasil. Meski Kota Pekalongan adalah kota pesisir yang diberkahi dengan sumber air melimpah, namun satu-satunya sumber air bersih yang dapat digunakan sebagai air baku hanya berasal dari ABT, karena rata-rata air di Kota Pekalongan berjenis payau, sehingga kurang baik digunakan sebagai air baku.
“Sifat tanah alluvial itu adalah terus turun setiap tahunnya secara alami. Ekstraksi ABT dan intrusi air laut menjadikan Kota Pekalongan semakin cepat tenggelam. Saat ini penurunan tanah sudah sampai 16,5 cm per tahun, berbanding terbalik dengan kenaikan muka laut yang naik hanya sekitar 0,8 cm per tahunnya,” kata Mifta.
Akar Historis Masalah
Selain faktor penurunan tanah, meningkatnya muka laut, dan krisis iklim, Qomarudin menegaskan bahwa bencana di Pekalongan tidak terlepas dari faktor salah kelola tata ruang. Ia bercerita bahwa pada tahun 2004-2005, Pemerintah Kabupaten Pekalongan menormalisasi sungai irigasi di desanya. Namun, hal itu justru menjadi awal tenggelamnya Kota Pekalongan.
Qomarudin menjelaskan bahwa program tersebut banyak menebang pohon mangrove saat proses pengerukan endapan lumpur dari sungai. Akibatnya, air laut dapat masuk dengan mudah ke daratan sehingga menimbulkan banjir rob. Selain itu, normalisasi tersebut juga mengubah jalur sungai, dari yang semula berkelok menjadi lurus langsung ke laut.
“Masalah baru terus berdatangan, tapi tidak ada satu pun solusi yang pasti,” ujar Qomarudin.
Adaptasi Banjir
Bencana iklim di Pekalongan diperkirakan akan bertambah parah karena faktor extraordinary, seperti penurunan tanah, rusaknya daerah hulu sungai, naiknya muka laut, berkurangnya daerah resapan, dan alih guna lahan.
Arif Ganda Purnama, Governance Specialist Zurich Flood Resilience Alliance (ZFRA) menawarkan solusi melalui strategi berbasis adaptasi, di mana masyarakat diajak untuk beradaptasi dan mengubah sudut pandang dalam melihat banjir, yang selama ini dianggap petaka menjadi “berkah”.
Beberapa solusi yang ditawarkan dalam strategi tersebut, antara lain:
- Membangun koridor ekonomi hijau serta melakukan penataan ruang berbasis risiko.
- Menerapkan manajemen sumber daya air terintegrasi antara hulu dengan hilir dan pembangunan drainase serta pengamanan pantai berkelanjutan.
- Menciptakan mata pencaharian alternatif dan transformasi sosial ekonomi.
“Kita berharap agar Kota Pekalongan dapat tersenyum lagi dan bangkit dari keterpurukannya,” kata Arif.
Editor: Abul Muamar
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Panji adalah Reporter & Penulis Konten In-House untuk Green Network ID. Dia meliput Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.