Memanfaatkan Limbah Makanan Laut sebagai Peluang Ekonomi Biru yang Berkelanjutan
Foto: Daniel Bernard di Unsplash.
Sekitar 70 persen makanan laut terbuang sia-sia selama proses pengolahan. Seiring meningkatnya permintaan global akan makanan laut, limbah yang dihasilkan di seluruh rantai pasoknya pun terus meningkat, mulai dari pemanenan hingga pengolahan. Sebagian besar limbah ini belum dimanfaatkan meskipun bernilai. Terkait hal ini, para pelaku di industri ini mulai mengeksplorasi solusi ekonomi sirkular untuk memanfaatkan limbah, mengurangi tekanan lingkungan, dan membangun ekonomi biru yang lebih berkelanjutan dan inklusif.
Meningkatnya Limbah Makanan Laut
Industri makanan laut global menghasilkan limbah dalam jumlah besar setiap tahunnya. Pada tahun 2020, produksi ikan global mencapai 214 juta ton. Seiring meningkatnya produksi tersebut, limbah makanan laut pun ikut meningkat.
Di India, misalnya, industri perikanan menghasilkan sekitar 576.474 ton limbah pada periode 2015–2016, sebagian besar berasal dari pengolahan udang. Demikian pula di Australia, industri makanan laut menghasilkan 50.000 hingga 100.000 ton limbah per tahun, yang membutuhkan biaya pembuangan sekitar 15 juta dolar Australia.
Limbah seperti kepala ikan, tulang, kulit, cangkang kerang, dan sisa pengolahan seringkali berakhir di tempat pembuangan sampah atau lautan. Praktik-praktik tersebut menimbulkan polusi berat, pengasaman laut, dan emisi gas rumah kaca, yang merugikan manusia dan planet ini.
Mengubah Limbah Makanan Laut menjadi Solusi Sirkular
Berbagai inovasi di seluruh dunia sedang mengubah cara pengolahan limbah makanan laut. Dengan mempertimbangkan sirkularitas, limbah makanan laut dapat menjadi bahan makanan, kosmetik, kemasan biodegradable (dapat terurai), dan lain sebagainya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi seperti hidrolisis enzimatik, fermentasi, dan pemulihan senyawa bioaktif mengubah limbah makanan laut menjadi biomaterial. Sebagai contoh, para ilmuwan sedang mengembangkan biodegradable films sebagai alternatif plastik berbasis minyak bumi menggunakan biopolimer yang diekstraksi dari limbah makanan laut, seperti kitin (serat alami dari cangkang udang) dan kitosan (hasil olahan kitin).
Sementara itu, limbah hasil pengolahan ikan diubah menjadi biofertilizer (pupuk hayati) melalui proses anaerobic digestion (penguraian bahan organik tanpa oksigen), pengomposan, atau sistem akuaponik. Produsen skala kecil, dan masyarakat pesisir semakin banyak yang memanfaatkan kembali ikan, limbah cangkang, dan berbagai jenis limbah makanan laut lainnya menjadi tepung ikan, pupuk organik, dan pakan ternak.
Memberdayakan Komunitas
Inovasi-inovasi tersebut memperlihatkan bahwa solusi sirkular bukan hanya memberikan manfaat terhadap lingkungan. Solusi ini juga menciptakan bahan baku baru, sumber pendapatan, dan peluang pertumbuhan berkelanjutan dalam ekonomi biru. Penelitian mengenai model akuakultur bio-sirkular menunjukkan bagaimana pemanfaatan limbah dapat mengurangi dampak lingkungan sekaligus menciptakan nilai ekonomi.
Di Kenya, misalnya, Kenya Marine and Fisheries Research Institute (KMFRI) mengekstrak minyak ikan dari 150.000 ton limbah yang dihasilkan di sepanjang lokasi pengolahan di sekitar Danau Victoria. Inisiatif ini mengubah limbah menjadi suplemen omega-3 dan pakan ternak, mengurangi polusi sekaligus menciptakan peluang pendapatan baru.
Kolaborasi untuk Ekonomi Biru yang Berkelanjutan
Selain sains dan teknologi, transisi menuju ekonomi biru yang berkelanjutan bergantung pada kolaborasi antara pelaku industri, komunitas, dan pembuat kebijakan. Mulai dari investasi publik-swasta hingga pertukaran pengetahuan, berbagi sumber daya menjadi hal yang krusial. Bagaimanapun juga, inovasi tidak selalu harus berasal dari sains modern, melainkan bisa berasal dari kearifan lokal dan pengetahuan tradisional masyarakat adat di berbagai belahan dunia. Selain itu, mendukung nelayan dan petani kecil dengan perlindungan sosial yang lebih baik akan mendorong penerapan inovasi sirkular secara lebih luas.
Pada akhirnya, masih banyak aspek yang perlu dibenahi dalam industri ini agar benar-benar berkelanjutan, mulai dari bahan bakar kapal, metode penangkapan ikan, hingga pengelolaan limbah. Meskipun demikian, masih ada harapan dan potensi bahwa industri makanan laut dapat menjadi bagian dari ekonomi biru yang sirkular dan inklusif, serta bermanfaat bagi ekosistem laut dan masyarakat pesisir.
Penerjemah: Andi Batara
Editor: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member Sekarang
Menilik Dampak Proyek LNG di Tengah Pusaran Transisi Energi
Menilik PLTN Terapung: Potensi dan Tantangan Energi Nuklir di Indonesia
Mengintegrasikan Keberlanjutan dalam Upaya Gastrodiplomasi Indonesia
Bagaimana Memberi Makan Sembilan Miliar Orang Sembari Mendinginkan Langit?
Bukan Sekadar Memimpin, tapi Juga Melakukan Transformasi: Bagaimana Perempuan Membentuk Kembali Keadilan Iklim di Asia
Menyoal Akuntabilitas dalam Tata Kelola Perdagangan Karbon