Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Internasional
  • Berlangganan
  • Log In
Primary Menu
  • Beranda
  • Terbaru
  • Topik
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Wawancara
  • Opini
  • Figur
  • Infografik
  • Video
  • Komunitas
  • Partner
  • Siaran Pers
  • Muda
  • Dunia
  • Opini
  • Unggulan

Dekarbonisasi di Negara Berkembang Perlu Lebih dari Sekadar Pembiayaan Iklim

Dekarbonisasi bukan hanya tentang pembiayaan iklim, melainkan tentang bagaimana menjalin kemitraan yang mendalam dan berbasis pengetahuan yang memungkinkan negara-negara Global South untuk menangkap peluang pertumbuhan yang nyata dan berkelanjutan.
Oleh Aufar Satria dan Kevin Zongzhe Li
7 Mei 2024
ilustrasi jungkat-jungkit yang tidak seimbang

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.

Negara-negara Global North berjanji untuk memberikan $100 miliar untuk membantu negara-negara yang berkembang dan miskin dalam menghadapi perubahan iklim, namun mereka masih menunda-nunda. Yang lebih parah, tidak hanya pembiayaan iklim yang diberikan bersifat jangka pendek, namun sebagian besar dana tersebut datang dalam bentuk pinjaman dengan suku bunga pasar, bukan pinjaman konsesi atau hibah yang benar-benar akan memobilisasi aksi iklim. Ambil contoh kasus di Indonesia. Dalam Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) senilai $20 miliar yang diumumkan dengan bangga, yang berupa pinjaman lunak atau hibah tidak sampai setengahnya.

Sejauh Mana Pembiayaan Iklim Bermanfaat?

Uang bukanlah solusi ajaib untuk mengatasi berbagai tantangan iklim yang dihadapi negara-negara berkembang. Uang memang sangat membantu, namun yang benar-benar akan membuat perbedaan adalah memadukan modal dengan keahlian dan teknologi yang tepat—yang umumnya tidak dimiliki oleh negara-negara berkembang. Yang menjadi kuncinya adalah “pengetahuan” khusus dan dukungan teknis yang disesuaikan dengan agenda dekarbonisasi setiap negara dan selaras dengan tujuan ekonomi dan pembangunan negara tersebut. Dengan cara inilah negara-negara Global North dapat memastikan bahwa dukungan mereka benar-benar bermanfaat, bukan sekadar basa-basi.

Negara-negara berkembang berada dalam posisi yang sulit: di tengah krisis iklim, mereka masih harus meningkatkan perekonomian, mengatasi kemiskinan, dan masalah-masalah besar lainnya. Asia Tenggara, misalnya, tengah berupaya untuk melipatgandakan perekonomiannya pada tahun 2040. Namun ketika negara-negara tersebut diperkirakan akan mencapai emisi nol bersih, modal yang diperlukan untuk transformasi besar-besaran ini dapat memakan biaya untuk bidang-bidang penting lainnya. Akibatnya, bagi banyak negara berkembang, target iklim dan dekarbonisasi terasa lebih seperti beban finansial yang berat ketimbang investasi cerdas di masa depan.

Kasus di Indonesia

Untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060, Indonesia perlu menghasilkan ~$1-2 triliun. Angka yang besar ini mencakup segala hal, mulai dari memperbarui jaringan listrik hingga meningkatkan energi terbarukan, ditambah kebijakan baru seperti subsidi kendaraan listrik. Artinya, dibutuhkan sekitar $45 miliar per tahun untuk mencapai target tersebut.

Yang lebih buruk lagi, investasi senilai $45 miliar per tahun dapat membahayakan kondisi fiskal pemerintah Indonesia. Dengan asumsi hanya sekitar 25% dari investasi tahunan yang dialokasikan kepada pemerintah sementara sisanya digunakan untuk belanja swasta, skenario ini akan memperbesar defisit Indonesia sebesar ~0,7% dan utang terhadap PDB sebesar ~5%. Dengan angka demikian, tidak mengherankan jika banyak negara berkembang menganggap pengeluaran seperti ini lebih merupakan pemborosan ketimbang sebuah langkah maju.

Skenario Peluang Pertumbuhan

Bagaimana jika kita membalikkan keadaan dan melihat “gelontoran dana” ini sebagai peluang pertumbuhan? Banyak negara berkembang mungkin menganggap peralihan ke energi ramah lingkungan sebagai hal yang memusingkan, alih-alih peluang untuk tumbuh. Hal ini terutama disebabkan karena mereka belum benar-benar memanfaatkan sisi industri dari revolusi hijau. Sebagian besar aktivitas ekonomi “nilai tambah” terjadi di luar negeri. Misalnya, panel surya yang mereka gunakan sebagian besar dibuat di luar negeri seperti China.

Hal yang benar-benar dapat mengubah keadaan bagi negara-negara berkembang yang berupaya menerapkan kebijakan ramah lingkungan adalah mendapatkan transfer “pengetahuan” yang penting. Begitu mereka menguasai teknologinya, mereka bisa bermain di kedua sisi lapangan—mengurangi impor dan mengekspor lebih banyak produk ramah lingkungan mereka ke seluruh dunia.

“Pengetahuan” ramah lingkungan seperti apa yang dibutuhkan oleh negara-negara berkembang? Mengingat rumitnya keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan, negara-negara berkembang memerlukan strategi cerdas untuk memulainya. Ada beberapa prinsip: pertama, mereka harus menargetkan transisi energi yang mendorong pembangunan ekonomi—memikirkan pertumbuhan industri, bukan hanya pengurangan. Kedua, perubahan ini tidak boleh merusak stabilitas keuangan mereka, termasuk kesehatan perusahaan-perusahaan penting milik negara. Dan ketiga, mereka harus memanfaatkan keanekaragaman alam dan kekuatan regional mereka yang unik. Pendekatan ini bukan hanya tentang menuju ke arah yang ramah lingkungan, namun juga tentang tumbuh secara cerdas.

Strategi yang Diperlukan

Sebagai contoh, Indonesia memiliki tambang emas dengan cadangan mineral penting yang sangat besar seperti nikel. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai pemimpin dalam bidang teknologi ramah lingkungan seperti kendaraan listrik (EV) dan panel surya. Selanjutnya apa? Berinvestasi di seluruh rantai: menambang mineral, membuat baterai, dan memicu inovasi. Kombinasikan hal tersebut dengan pengembangan kapasitas dan pelatihan bagi penduduk lokal dan kemitraan dengan para pembuat kendaraan listrik global terkemuka untuk melayani baik di dalam maupun luar negeri, sehingga meningkatkan perekonomian dan kualitas udara.

Sementara itu, meningkatkan produksi panel surya dalam negeri dapat memangkas biaya energi dan mengurangi ketergantungan impor sekaligus membuka peluang ekspor bagi dunia. Selain itu, terdapat potensi besar dalam fokus pada bahan bakar baru, seperti memanfaatkan industri kelapa sawit yang melimpah menjadi bioenergi. Investasi cerdas dalam kilang bioenergi dapat membantu Indonesia menghilangkan bahan bakar fosil lebih cepat dan memasuki pasar internasional dengan sumber energi yang ramah lingkungan.

Tidak sampai di situ, Harvard Growth Lab telah mengidentifikasi bahwa Indonesia juga dapat memanfaatkan industri semikonduktor, yang merupakan elemen penting dalam pembangunan ekonomi digital dan dekarbonisasi. Seperti halnya Malaysia, Indonesia dapat memulai dengan mengembangkan perakitan dan pengujian bagian dari rantai nilai semikonduktor, memanfaatkan tenaga kerja yang kompetitif dan basis manufaktur yang kuat.

Negara-negara berkembang punya potensi untuk tumbuh menjadi negara yang terdekarbonisasi. Fokus harus dimulai hari ini. Poinnya, dekarbonisasi bukan hanya tentang pembiayaan iklim, melainkan tentang menjalin kemitraan yang mendalam dan berbasis pengetahuan yang memungkinkan negara-negara Global South untuk menangkap peluang pertumbuhan yang nyata dan berkelanjutan.

Editor: Nazalea Kusuma

Penerjemah: Abul Muamar

Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.

Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami


Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan

Aufar Satria
+ posts Bio

Aufar adalah mahasiswa pascasarjana Harvard Kennedy School dengan pengalaman di bidang konsultasi manajemen, pemerintahan, dan sektor swasta. Beliau juga menjabat sebagai Komisaris Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (SRE), meraih gelar MBA dari University of Cambridge, dan B.Sc. dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

  • Aufar Satria
    https://greennetwork.id/author/aufar/
    Indonesia Butuh Lebih Banyak Climate Realist
Kevin Zongzhe Li
+ posts Bio

Kevin Zongzhe Li adalah mahasiswa pascasarjana Harvard Kennedy School dan asisten peneliti di Belfer Center for Science and International Affairs di Harvard.

    This author does not have any more posts.

Continue Reading

Sebelumnya: Indonesia Butuh Lebih Banyak Climate Realist
Berikutnya: Panduan Praktis untuk Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah

Artikel Terkait

kaca yang retak Femisida yang Terus Berulang: Alarm tentang Kekerasan terhadap Perempuan
  • Ikhtisar
  • Unggulan

Femisida yang Terus Berulang: Alarm tentang Kekerasan terhadap Perempuan

Oleh Abul Muamar
27 Juni 2025
kumbang kepik menempel di dedaunan Penurunan Jumlah Serangga yang Kian Mengkhawatirkan
  • Kabar
  • Unggulan

Penurunan Jumlah Serangga yang Kian Mengkhawatirkan

Oleh Kresentia Madina
27 Juni 2025
lahan sawah dengan pepohonan kelapa di belakang Bagaimana Sekolah Lapang Iklim Bantu Petani Hadapi Dampak Perubahan Iklim
  • Eksklusif
  • Kabar
  • Unggulan

Bagaimana Sekolah Lapang Iklim Bantu Petani Hadapi Dampak Perubahan Iklim

Oleh Abul Muamar
26 Juni 2025
seorang anak berdiri di sebuah rumah kayu Kemiskinan Anak dan Tingkat Pendapatan yang Rendah saat Dewasa
  • Ikhtisar
  • Unggulan

Kemiskinan Anak dan Tingkat Pendapatan yang Rendah saat Dewasa

Oleh Abul Muamar
25 Juni 2025
penampakan mangrove Mikoko Pamoja, Proyek Karbon Biru untuk Ketahanan Iklim di Kenya
  • Kabar
  • Unggulan

Mikoko Pamoja, Proyek Karbon Biru untuk Ketahanan Iklim di Kenya

Oleh Attiatul Noor
25 Juni 2025
Seorang wanita yang menggunakan topi caping sedang menganyam keranjang bambu. Mengevaluasi Koperasi Desa Merah Putih sebagai Penggerak Ekonomi Pedesaan
  • Eksklusif
  • Ikhtisar
  • Unggulan

Mengevaluasi Koperasi Desa Merah Putih sebagai Penggerak Ekonomi Pedesaan

Oleh Andi Batara
24 Juni 2025

Tentang Kami

  • Founder’s Letter GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Siaran Pers GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Konten Komunitas GNA
  • Pedoman Media Siber
  • Internship GNA
  • Hubungi Kami
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia - Indonesia.