Dekarbonisasi di Negara Berkembang Perlu Lebih dari Sekadar Pembiayaan Iklim
Negara-negara Global North berjanji untuk memberikan $100 miliar untuk membantu negara-negara yang berkembang dan miskin dalam menghadapi perubahan iklim, namun mereka masih menunda-nunda. Yang lebih parah, tidak hanya pembiayaan iklim yang diberikan bersifat jangka pendek, namun sebagian besar dana tersebut datang dalam bentuk pinjaman dengan suku bunga pasar, bukan pinjaman konsesi atau hibah yang benar-benar akan memobilisasi aksi iklim. Ambil contoh kasus di Indonesia. Dalam Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) senilai $20 miliar yang diumumkan dengan bangga, yang berupa pinjaman lunak atau hibah tidak sampai setengahnya.
Sejauh Mana Pembiayaan Iklim Bermanfaat?
Uang bukanlah solusi ajaib untuk mengatasi berbagai tantangan iklim yang dihadapi negara-negara berkembang. Uang memang sangat membantu, namun yang benar-benar akan membuat perbedaan adalah memadukan modal dengan keahlian dan teknologi yang tepat—yang umumnya tidak dimiliki oleh negara-negara berkembang. Yang menjadi kuncinya adalah “pengetahuan” khusus dan dukungan teknis yang disesuaikan dengan agenda dekarbonisasi setiap negara dan selaras dengan tujuan ekonomi dan pembangunan negara tersebut. Dengan cara inilah negara-negara Global North dapat memastikan bahwa dukungan mereka benar-benar bermanfaat, bukan sekadar basa-basi.
Negara-negara berkembang berada dalam posisi yang sulit: di tengah krisis iklim, mereka masih harus meningkatkan perekonomian, mengatasi kemiskinan, dan masalah-masalah besar lainnya. Asia Tenggara, misalnya, tengah berupaya untuk melipatgandakan perekonomiannya pada tahun 2040. Namun ketika negara-negara tersebut diperkirakan akan mencapai emisi nol bersih, modal yang diperlukan untuk transformasi besar-besaran ini dapat memakan biaya untuk bidang-bidang penting lainnya. Akibatnya, bagi banyak negara berkembang, target iklim dan dekarbonisasi terasa lebih seperti beban finansial yang berat ketimbang investasi cerdas di masa depan.
Kasus di Indonesia
Untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060, Indonesia perlu menghasilkan ~$1-2 triliun. Angka yang besar ini mencakup segala hal, mulai dari memperbarui jaringan listrik hingga meningkatkan energi terbarukan, ditambah kebijakan baru seperti subsidi kendaraan listrik. Artinya, dibutuhkan sekitar $45 miliar per tahun untuk mencapai target tersebut.
Yang lebih buruk lagi, investasi senilai $45 miliar per tahun dapat membahayakan kondisi fiskal pemerintah Indonesia. Dengan asumsi hanya sekitar 25% dari investasi tahunan yang dialokasikan kepada pemerintah sementara sisanya digunakan untuk belanja swasta, skenario ini akan memperbesar defisit Indonesia sebesar ~0,7% dan utang terhadap PDB sebesar ~5%. Dengan angka demikian, tidak mengherankan jika banyak negara berkembang menganggap pengeluaran seperti ini lebih merupakan pemborosan ketimbang sebuah langkah maju.
Skenario Peluang Pertumbuhan
Bagaimana jika kita membalikkan keadaan dan melihat “gelontoran dana” ini sebagai peluang pertumbuhan? Banyak negara berkembang mungkin menganggap peralihan ke energi ramah lingkungan sebagai hal yang memusingkan, alih-alih peluang untuk tumbuh. Hal ini terutama disebabkan karena mereka belum benar-benar memanfaatkan sisi industri dari revolusi hijau. Sebagian besar aktivitas ekonomi “nilai tambah” terjadi di luar negeri. Misalnya, panel surya yang mereka gunakan sebagian besar dibuat di luar negeri seperti China.
Hal yang benar-benar dapat mengubah keadaan bagi negara-negara berkembang yang berupaya menerapkan kebijakan ramah lingkungan adalah mendapatkan transfer “pengetahuan” yang penting. Begitu mereka menguasai teknologinya, mereka bisa bermain di kedua sisi lapangan—mengurangi impor dan mengekspor lebih banyak produk ramah lingkungan mereka ke seluruh dunia.
“Pengetahuan” ramah lingkungan seperti apa yang dibutuhkan oleh negara-negara berkembang? Mengingat rumitnya keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan, negara-negara berkembang memerlukan strategi cerdas untuk memulainya. Ada beberapa prinsip: pertama, mereka harus menargetkan transisi energi yang mendorong pembangunan ekonomi—memikirkan pertumbuhan industri, bukan hanya pengurangan. Kedua, perubahan ini tidak boleh merusak stabilitas keuangan mereka, termasuk kesehatan perusahaan-perusahaan penting milik negara. Dan ketiga, mereka harus memanfaatkan keanekaragaman alam dan kekuatan regional mereka yang unik. Pendekatan ini bukan hanya tentang menuju ke arah yang ramah lingkungan, namun juga tentang tumbuh secara cerdas.
Strategi yang Diperlukan
Sebagai contoh, Indonesia memiliki tambang emas dengan cadangan mineral penting yang sangat besar seperti nikel. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai pemimpin dalam bidang teknologi ramah lingkungan seperti kendaraan listrik (EV) dan panel surya. Selanjutnya apa? Berinvestasi di seluruh rantai: menambang mineral, membuat baterai, dan memicu inovasi. Kombinasikan hal tersebut dengan pengembangan kapasitas dan pelatihan bagi penduduk lokal dan kemitraan dengan para pembuat kendaraan listrik global terkemuka untuk melayani baik di dalam maupun luar negeri, sehingga meningkatkan perekonomian dan kualitas udara.
Sementara itu, meningkatkan produksi panel surya dalam negeri dapat memangkas biaya energi dan mengurangi ketergantungan impor sekaligus membuka peluang ekspor bagi dunia. Selain itu, terdapat potensi besar dalam fokus pada bahan bakar baru, seperti memanfaatkan industri kelapa sawit yang melimpah menjadi bioenergi. Investasi cerdas dalam kilang bioenergi dapat membantu Indonesia menghilangkan bahan bakar fosil lebih cepat dan memasuki pasar internasional dengan sumber energi yang ramah lingkungan.
Tidak sampai di situ, Harvard Growth Lab telah mengidentifikasi bahwa Indonesia juga dapat memanfaatkan industri semikonduktor, yang merupakan elemen penting dalam pembangunan ekonomi digital dan dekarbonisasi. Seperti halnya Malaysia, Indonesia dapat memulai dengan mengembangkan perakitan dan pengujian bagian dari rantai nilai semikonduktor, memanfaatkan tenaga kerja yang kompetitif dan basis manufaktur yang kuat.
Negara-negara berkembang punya potensi untuk tumbuh menjadi negara yang terdekarbonisasi. Fokus harus dimulai hari ini. Poinnya, dekarbonisasi bukan hanya tentang pembiayaan iklim, melainkan tentang menjalin kemitraan yang mendalam dan berbasis pengetahuan yang memungkinkan negara-negara Global South untuk menangkap peluang pertumbuhan yang nyata dan berkelanjutan.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.