Edy Suranta Ginting, Menyulap Sampah Plastik menjadi Lukisan
Polusi sampah telah menjadi salah satu masalah mendesak yang mengancam keberlangsungan lingkungan dan seluruh makhluk hidup di dunia. Meningkatnya populasi manusia, yang diiringi dengan pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan dan tidak bertanggung jawab, menghasilkan jutaan ton sampah setiap tahunnya, dan sebagian besar tidak terkelola dan bocor ke lingkungan, termasuk sungai dan laut. Di banyak daerah di Indonesia, masalah penumpukan sampah, khususnya sampah plastik, terus berlarut-larut karena sistem pengelolaan sampah yang kurang memadai.
Melihat permasalahan itu, Edy Suranta Ginting, seorang pelukis dan pegiat lingkungan asal Desa Ajijahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, berupaya mengurangi masalah penumpukan sampah dengan memanfaatkan berbagai jenis sampah plastik sebagai bahan untuk menghasilkan lukisan yang bernilai.
Berawal dari Kegelisahan
Apa yang dilakukan Edy berawal dari kegelisahan saat menyaksikan kebiasaan masyarakat pada umumnya dalam memperlakukan sampah. Ia melihat kurangnya kepedulian masyarakat terhadap sampah telah menjadi masalah utama dalam penanggulangan sampah di Indonesia. Sikap acuh tak acuh dan tidak bertanggung jawab pada lingkungan sekitar, menurut Edy, seakan telah mendarah daging dan sulit untuk dihilangkan, sekalipun dengan cara-cara yang “keras”.
“Masyarakat pada umumnya menilai masalah sampah dapat selesai hanya dengan membuang sampah pada tempatnya. Pada kenyataannya, praktik ini hanya memindahkan tumpukan sampah dari satu tempat ke tempat lain tanpa berusaha memanfaatkan potensi yang ada pada setiap sampah. Bila ditelisik, cara ini tidak menyelesaikan akar masalahnya,” kata Edy kepada Green Network Asia, 31 Oktober 2024.
Untuk mengurangi masalah penumpukan sampah, Edy menekankan, masyarakat perlu meninggalkan kebiasaan menumpuk sampah di tempat pembuangan sampah dan beralih ke cara-cara baru yang lebih inovatif dan dapat menghasilkan, termasuk dengan menyulap sampah menjadi sesuatu yang bernilai dan bermanfaat. Hal itu pula yang menggerakkan Edy untuk menggunakan sampah plastik sebagai bahan lukisannya.
Mengubah Sampah Plastik menjadi Lukisan
Kegiatan melukis dengan menggunakan sampah plastik telah digeluti Edy sejak tahun 2016. Sebelum dikenal luas seperti sekarang, lukisan-lukisannya dulu hanya menjadi hiasan di dalam “rumah sampah” yang ia bangun dengan berbagai jenis sampah yang ia kumpulkan. Bangunan tersebut berfungsi sebagai wadah untuk kegiatan edukasi, rekreasi, dan tempat berkumpul orang-orang yang peduli terhadap persoalan lingkungan.
Menurut Edy, pada dasarnya ada banyak jenis sampah plastik yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan lukisan. Namun, tiap-tiap jenis sampah akan menciptakan karakter atau gaya lukisan yang berbeda. Misalnya, dengan sampah plastik bekas kemasan kopi, lukisan yang dihasilkan akan condong ke arah siluet karena warna dari bungkus kopi cenderung monoton dan plastiknya tidak transparan. Berbeda halnya ketika menggunakan sampah kantong kresek, bentuknya yang transparan dan bervariasi akan membuat nuansa atau gaya lukisan yang dihasilkan lebih berwarna.
Dengan demikian, memastikan sampah plastik layak digunakan merupakan hal terpenting dalam proses pemanfaatannya. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk memastikan sampah plastik layak digunakan, mulai dari mencucinya, memberikan cairan antibakteri, pengharum, lalu mengeringkannya, sebelum dipotong-potong sesuai dengan pola yang sudah ditentukan.
Namun, bagian terberat yang Edy rasakan dalam melukis dengan sampah bukan pada proses pembuatan lukisannya, melainkan saat ia harus turun ke jalan mencari sampah plastik.
“Sering kali orang-orang memandang curiga atas apa yang saya lakukan. Saya harus kuat mental ketika mau memungut sampah, karena sering kali orang-orang menganggap remeh dan rendah aktivitas ini. Diusir, ditegur, dibentak, dan dituduh maling sudah jadi makanan sehari-hari saya. Jarang sekali dalam aktivitas saya memungut sampah, orang-orang akan membantu atau paling tidak menghargai apa yang saya lakukan,” katanya.
Namun, jerih payah Edy pada akhirnya berbuah manis. Lukisan-lukisannya dihargai tinggi oleh orang-orang yang paham akan kesenian dan banyak pula yang telah terjual ke berbagai negara.
“Saya membagi lukisan saya ke dalam dua kategori–lukisan wajah dan lukisan idealis. Pada umumnya lukisan idealis relatif lebih mahal daripada lukisan wajah, karena memiliki tingkat kesulitan yang lebih kompleks ketimbang lukisan wajah,” kata Edy. “Orang-orang dari luar negeri cenderung lebih tertarik dengan lukisan-lukisan ini dibanding orang Indonesia. Mungkin hanya sekitar 5 persen dari total lukisan saya yang terjual di dalam negeri, selebihnya terjual ke luar negeri.”
Upaya Melestarikan Lingkungan
Sejak tahun 2000, Edy telah berkeliling ke berbagai daerah Indonesia untuk melakukan berbagai hal yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan. Selain melukis, ia juga aktif mengedukasi masyarakat, khususnya anak-anak, akan pentingnya menjaga alam. Tempat pertama yang ia tuju adalah Ubud, Bali. Di sana, ia sempat mengajar di Green School Bali, seraya melakukan berbagai kegiatan dalam rangka menjaga lingkungan bersama penduduk setempat. Setelah itu, ia terus berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain untuk menjalankan misi yang sama.
“Rasa risih akan pengelolaan sampah yang urak-urakan menjadi alasan saya melanjutkan gerakan ini ke banyak daerah, terkhususnya daerah terpencil dan pelosok,” katanya.
“Rendahnya pengetahuan masyarakat untuk mendaur sampah menjadi sesuatu yang baru dan bernilai merupakan salah satu penyebab krisis sampah di Indonesia. Untuk itu, melakukan kegiatan edukasi dan berbagai pelatihan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan. Kegiatan edukasi adalah bagian terpenting dari aktivisme saya dalam merawat lingkungan,” ia melanjutkan.
Kesejahteraan Adalah Kunci
Pada akhirnya, sinergi dan kolaborasi seluruh pihak, mulai dari pemerintah, bisnis, hingga komunitas akar rumput adalah elemen fundamental untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang efektif di tengah masyarakat. Pemerintah, dalam hal ini, perlu merangkul seluruh pihak dan duduk bersama dalam merumuskan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan.
“Pemerintah sering kali salah kaprah melihat orang-orang seperti saya. Misalnya, ketika meminta waktu untuk berdiskusi atau berbagi pengalaman terkait kegiatan-kegiatan merawat alam, pemerintah justru melihat kami seperti pengemis yang sedang meminta-minta bantuan dana kepada mereka. Menurut saya itu salah,” kata Edy. Menurutnya, pemerintah justru terbantu oleh kehadiran individu-individu atau komunitas akar rumput yang turut terlibat dalam mengatasi permasalahan lingkungan tanpa pamrih.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya selama 20 tahun lebih menjadi pegiat lingkungan dan berkeliling ke berbagai daerah, Edy menilai bahwa mewujudkan kesejahteraan bagi semua adalah kunci untuk mengatasi persoalan penumpukan sampah di Indonesia.
“Rendahnya tingkat kesejahteraan merupakan penghambat dalam penanganan permasalahan sampah di Indonesia. Masyarakat cenderung tidak tertarik dan menolak setiap kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah maupun perawatan lingkungan, karena dirasa tidak menguntungkan secara materi atau meningkatkan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, meningkatkan kesejahteraan sosial di setiap daerah adalah hal yang sangat penting untuk mendorong kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang bersumber dari pemanfaatan sampah atau membangun home industry di setiap daerah merupakan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini,” kata Edy memungkasi.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.