Tetsu Nakamura, Menghidupkan Kembali Lembah yang Lama Mati
Pada 1991, Tetsu Nakamura, bersama sebuah regu dari Peace Medical Service Japan, membuka tiga klinik di Darai Noor, Provinsi Nangarhar, wilayah timur Afganistan. Nakamura mendedikasikan diri untuk melayani kebutuhan kesehatan masyarakat pedalaman selama bertahun-tahun. Ia mempelajari bahasa yang digunakan oleh penduduk lokal dan memperlakukan mereka dengan hormat. Tentu sebagai gantinya, warga sekitar juga membalasnya dengan penghormatan dan rasa terima kasih yang sama besar.
Mulai tahun 2000, kemarau berkepanjangan melanda wilayah rawan konflik tersebut dan berdampak pada wabah penyakit akibat minimnya kebersihan dan kekurangan gizi. Saat itu, Nakamura mencetuskan bahwa para penduduk tersebut lebih membutuhkan sebuah sistem sanitasi yang baik dibandingkan 100 orang dokter.
Masalah bertambah ketika pada tahun 2001 meletus perang di Afghanistan. Nakamura dan rekan-rekannya harus pindah ke wilayah yang lebih aman. Ketika kembali ke Darai Noor, ia melihat keadaan masyarakat jauh lebih parah dari sebelumnya.
Tetsu Nakamura meyakini bahwa kurangnya asupan makanan adalah akar dari tindak kejahatan yang terjadi, seperti pencurian, kekerasan, keterlibatan dengan narkoba, bahkan keikutsertaan dalam melawan atau membela Taliban. Ia menyimpulkan bahwa mengembalikan kemampuan masyarakat dalam menghasilkan bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya adalah agenda utama yang musti mereka lakukan.
Tahun 2003, Nakamura lantas mengawali sebuah proyek pembangunan saluran air dari Sungai Kunar ke Gurun Gambari dengan tujuan menyediakan pasokan air untuk penduduk sekitar. Orang-orang dari Darai Noor kemudian ikut bergabung membantunya dalam proyek jangka panjang ini.
Para pekerja tersebut mendapatkan upah harian, sehingga para pengungsi kemudian memutuskan untuk kembali dan turut bekerja di saluran itu sebagai sumber pencaharian pengganti bertani. Nakamura dan timnya sempat mengalami berbagai kendala teknis pada masa-masa tersebut, namun mereka tetap bersikukuh.
“Aku hanyalah seorang dokter,” candanya. Nakamura tak pernah merasa gengsi untuk meminta saran dari para penduduk lokal maupun mencari referensi dari negara asalnya, Jepang.
Melalui jerih payahnya selama dua belas tahun, Saluran Marwarid berhasil dibangun. Dengan panjang mencapai 27 kilometer, saluran ini menyalurkan air dari Sungai Kunar ke wilayah sekitar Gurun Gambari untuk kepentingan pengairan lahan pertanian.
Setahun kemudian, Nakamura kembali memimpin proyek pembangun delapan saluran tambahan. Saluran-saluran air itu kini memasok area seluas 16.000 hectar, yang dihuni oleh lebih dari 600.000 penduduk. Gurun Gambari, yang dulu dijuluki sebagai Lembah Kematian, kini berubah menjadi lahan kaya yang dipenuhi oleh sawah padi, peternakan, lumbung makanan, dan disibukkan oleh perdagangan.
Bagi penduduk Darai Noor yang telah memperoleh semangat hidupnya kembali, mulai memikirkan apa saja yang perlu mereka lakukan untuk bertahan dan melanjutkan kebaikan yang telah mereka peroleh. Nakamura dipercaya oleh orang-orang tersebut untuk membantu mereka dan memeriksa proyek-proyek yang ia rencanakan—dan ia selalu menepati janjinya.
Nakamura terus membimbing masyarakat sekitar dalam proyek-proyek yang dibuat berdasarkan kebutuhan mereka. Salah satu di antaranya yang paling berdampak adalah pembangunan masjid, yang kemudian juga berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat, sekolah atau madrasah yang mengajarkan mata pelajaran dasar dan pendidikan agama untuk lebih dari 600 orang anak, selain juga sebagai tempat pelaksanaan ritual keagamaan.
“Air, bukan senjata,” adalah prinsip yang diyakini Nakamura. Ia juga menekankan bahwa perdamaian bukanlah tujuan, melainkan hasil yang diperoleh dari perbaikan kehidupan masyarakat.
Kematiannya di tahun 2019 sangat memukul rakyat Afganistan. Kaka Murad, panggilan mereka untuk Nakamura, begitu dihormati oleh warga Afganistan sehingga ia dikaruniai status warganegara kehormatan di sana.
Menjelang akhir masa hidupnya, Nakamura meluncurkan sebuah proyek untuk membangun pusat pelatihan guna meneruskan pengalaman dan pengetahuannya dalam membangun saluran pengairan, yang disebut Metode Nakamura, kepada para teknisi muda dari area-area kekeringan dari seluruh penjuru negeri. Dan dengan demikian, warisan Tetsu Nakamura menjadi abadi.
Penerjemah: Inez Kriya
Versi asli tulisan ini dalam bahasa Inggris dapat dibaca di sini.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.