Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Memperkuat Pendidikan Nonformal untuk Perluas Akses Pendidikan bagi Semua

Pendidikan nonformal di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, padahal perannya penting dalam mewujudkan akses pendidikan untuk semua dan mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
23 Oktober 2025
Tiga anak sedang mengikuti lomba balap karung di antara balon yang tergantung, sementara dua anak di samping memberi taburan bedak. Mereka mengenakan kaos merah putih dan berada di jalan tanah di antara pepohonan.

Foto: Fachry Hasan di Unsplash.

Bagi sebagian anak Indonesia, sekolah formal tidak selalu menjadi ruang yang bisa mereka masuki dengan mudah. Keterbatasan finansial, lokasi geografis yang sulit dijangkau, atau tekanan sosial telah membuat jutaan anak tidak dapat mengakses pendidikan formal atau terputus di tengah jalan. Pendidikan nonformal hadir sebagai jalan lain bagi mereka yang terputus dari sistem pendidikan formal untuk dapat belajar dan membangun masa depan. Di tengah upaya bersama untuk mewujudkan pendidikan untuk semua, pendidikan nonformal memainkan peran penting yang kerap dipandang sebelah mata.

Namun, dengan berbagai tantangan yang ada, sejauh mana pendidikan nonformal dapat menjawab kebutuhan yang terus berkembang?

Anak Tidak Bersekolah dan Pendidikan Nonformal di Indonesia

Menurut laporan Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah bersama UNICEF, sekitar 4,1 juta anak usia 7–18 tahun di Indonesia tidak bersekolah pada tahun 2022. Angka itu setara dengan 7,6 persen populasi anak usia sekolah, mencerminkan kesenjangan serius dalam akses pendidikan.

Definisi anak tidak sekolah sendiri dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1) tidak pernah terdaftar di sekolah, (2) putus sekolah sebelum menyelesaikan jenjang pendidikannya, atau (3) telah menyelesaikan satu jenjang pendidikan tetapi tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Di Indonesia, proporsi anak tidak sekolah terbesar merupakan kategori ketiga dengan persentase sebesar 51 persen.

Di tengah situasi itu, pendidikan nonformal hadir sebagai jembatan. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang ada di berbagai daerah menawarkan jalur kesetaraan yang memungkinkan anak-anak dan remaja menempuh kembali pendidikan setara SD hingga SMA dengan waktu yang lebih fleksibel. Saat ini, terdapat 10.506 PKBM dan 507 SKB di Indonesia, dengan jumlah siswa terdaftar sebanyak 1,7 juta individu.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga manfaat utama pendidikan nonformal:

  • Mengembangkan keterampilan praktis dan relevan melalui sistem pembelajaran yang berfokus pada kemampuan yang bisa diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari atau dunia kerja.
  • Meningkatkan peluang kerja dan ekonomi melalui sertifikasi dan pelatihan vokasional.
  • Memberikan akses pendidikan yang lebih luas dan inklusif karena pendidikan nonformal dapat menjangkau kelompok yang tidak terlayani pendidikan formal seperti masyarakat di wilayah tertinggal dan kelompok marginal, termasuk orang dewasa, sehingga mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan nonformal telah diakui secara resmi melalui berbagai regulasi dan program kesetaraan. Pemerintah memberikan kesetaraan ijazah dan sertifikat kompetensi bagi peserta yang lulus, membuka peluang mereka untuk melanjutkan pendidikan atau masuk ke dunia kerja formal.

Tantangan Pendidikan Nonformal di Indonesia

Meski potensinya besar, pendidikan nonformal di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang membuatnya tertinggal dibanding pendidikan formal. Dalam laporannya, UNICEF dan PSKP mengungkap bahwa beragam kendala struktural dan operasional masih membatasi kemampuan lembaga pendidikan nonformal dalam menyediakan layanan belajar yang inklusif, bermutu, dan relevan.

Salah satu persoalan utama terletak pada pengelolaan dan pendanaan. Laporan tersebut menjelaskan bahwa sebagian besar lembaga pendidikan nonformal dikelola secara mandiri oleh masyarakat dan sangat bergantung pada Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Kesetaraan dari pemerintah pusat. Namun demikian, dana ini tidak mencakup seluruh biaya operasional PKBM atau SKB, karena BOP hanya dimaksudkan sebagai subsidi. Akibatnya, banyak lembaga berjalan dengan sumber daya terbatas dan sering kali mengalami defisit anggaran. Di tingkat daerah, dukungan pemerintah belum merata karena belum ada kebijakan yang secara jelas menempatkan pendidikan nonformal sebagai prioritas dalam perencanaan pembangunan.

Selain itu, mekanisme pengawasan dan akreditasi juga masih lemah. Laporan tersebut menyatakan bahwa sebagian besar lembaga pendidikan nonformal, terutama PKBM, masih belum memenuhi standar nasional pendidikan, kecuali pada aspek kompetensi lulusan. Terdapat sekitar 65 persen PKBM di Indonesia yang belum terakreditasi karena kurangnya pemahaman terhadap standar mutu yang berlaku. Keterbatasan jumlah dan kapasitas pengawas di tingkat daerah juga turut menjadi masalah yang mengakibatkan supervisi berjalan tidak konsisten, sehingga sulit memastikan kualitas penyelenggaraan pendidikan nonformal secara menyeluruh.

Dari sisi sumber daya manusia, laporan tersebut menyoroti kondisi tutor yang umumnya bekerja dengan honor rendah dan tanpa kepastian kerja. Banyak di antara mereka yang menjadikan kegiatan mengajar di lembaga nonformal sebagai pekerjaan tambahan atau bahkan dilakukan secara sukarela. Walaupun sebagian besar memiliki kualifikasi akademik cukup tinggi, bidang keahliannya tidak selalu sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan maupun dengan kebutuhan peserta didik. Kesempatan pengembangan profesional pun masih terbatas dan belum menjadi prioritas kebijakan.

Lebih lanjut, laporan tersebut juga menyoroti persoalan dalam kurikulum dan pembelajaran. Secara umum, kurikulum pendidikan nonformal mengacu pada kurikulum nasional, namun memiliki pendekatan dan durasi pembelajaran yang lebih fleksibel. Meski beberapa lembaga telah mencoba menerapkan pembelajaran berbasis proyek atau keterampilan hidup, sebagian besar masih berfokus pada aspek akademik akibat keterbatasan sumber daya dan fasilitas. Padahal, banyak peserta didik di jalur nonformal membutuhkan pembelajaran yang lebih kontekstual, seperti pelatihan vokasional dan peningkatan literasi dasar.

Di sisi lain, koordinasi dan kemitraan antarinstansi juga menjadi sorotan laporan tersebut. Meski di tingkat nasional sudah ada koordinasi antar-kementerian terkait pendidikan nonformal, tantangan masih terlihat di tingkat lokal. Kemitraan antara pemerintah desa dan lembaga pendidikan nonformal masih jarang terlihat. Di wilayah yang berhasil mengembangkan pendidikan nonformal, dukungan dari unit usaha desa, pelaku usaha, dan tokoh masyarakat mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Minimnya dukungan untuk membangun kemitraan lokal ini menjadi kendala utama dalam perluasan dan efektivitas lembaga pendidikan nonformal.

Aspek kesetaraan gender dan inklusi juga masih menjadi tantangan tersendiri. Laporan tersebut menunjukkan bahwa meski partisipasi perempuan dalam pendidikan nonformal cukup tinggi, proporsinya masih lebih rendah dibanding laki-laki. Selain itu, banyak lembaga belum siap menerima peserta didik dengan disabilitas karena keterbatasan fasilitas, tenaga pengajar terlatih, dan pemahaman tentang pendidikan inklusif. Meski fleksibilitas lembaga pendidikan nonformal menarik bagi anak penyandang disabilitas, hanya sekitar 6 persen lembaga pendidikan nonformal di Indonesia yang mampu menyediakan layanan yang inklusif dan memadai.

Dari segi persepsi masyarakat, laporan tersebut menemukan pandangan yang beragam. Sebagian orang tua menganggap pendidikan nonformal sebagai alternatif positif karena fleksibel dan memberi ruang bagi anak yang bekerja untuk tetap belajar. Namun, sebagian lainnya masih memandangnya sebagai pilihan “kelas dua” jika dibandingkan dengan sekolah formal, terutama ketika mutu layanan antar-lembaga belum merata.

Laporan tersebut juga menyinggung dampak pandemi COVID-19, yang memperlihatkan ketahanan sekaligus kerentanan sistem pendidikan nonformal. Selama pandemi COVID-19, pembelajaran di lembaga pendidikan nonformal dinilai tidak terlalu terdampak, namun penilaian ini belum didukung bukti yang kuat karena minimnya data dan survei yang lebih dalam. Saat itu pembelajaran dilakukan melalui media daring, tetapi tidak diketahui seberapa banyak siswa yang memiliki akses dan apakah hasil belajar tetap terjaga. Ketidakpastian ini terutama dirasakan oleh siswa di wilayah terpencil dengan keterbatasan akses digital.

Tantangan-tantangan tersebut menunjukkan bahwa memperkuat pendidikan nonformal tidak cukup hanya dengan menambah lembaga atau membuka program baru. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik, mulai dari kebijakan pendanaan yang berkelanjutan; peningkatan kapasitas tenaga pendidik; hingga penjaminan mutu dan kemitraan yang lebih erat antar pemangku kepentingan.

Langkah untuk Masa Depan Pendidikan Nonformal

Memperkuat pendidikan nonformal tidak hanya soal memperluas akses, tetapi juga memastikan mutu dan keberlanjutannya. Laporan UNICEF-PSKP menekankan pentingnya sistem yang responsif terhadap kebutuhan belajar individu dan relevan dengan dinamika sosial-ekonomi lokal. Seperti halnya pendidikan formal, pendidikan nonformal juga mesti menjadi jembatan antara pendidikan dan dunia kerja, sekaligus mendukung target pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.

Beberapa langkah utama yang perlu dilakukan menurut laporan tersebut antara lain:

  • Memperluas akses dan inklusivitas pendidikan nonformal agar menjangkau kelompok paling rentan, termasuk anak perempuan, anak penyandang disabilitas, dan mereka yang tinggal di daerah terpencil.
  • Meningkatkan relevansi program pembelajaran dengan konteks lokal dan kebutuhan peserta, melalui kurikulum yang fleksibel, keterampilan vokasional, dan pembelajaran berbasis komunitas.
  • Memperkuat mutu layanan dan kapasitas tutor dengan pelatihan yang berkelanjutan, penyediaan bahan ajar yang adaptif, serta supervisi dan akreditasi yang konsisten di tingkat daerah.
  • Membangun tata kelola dan mekanisme koordinasi lintas lembaga untuk memastikan kebijakan dan implementasi berjalan searah.
  • Menguatkan sistem data dan pemantauan agar peserta, hasil belajar, dan capaian lembaga non-formal dapat dipantau secara nasional serta digunakan untuk perencanaan berbasis bukti.
  • Mendorong partisipasi masyarakat dan pendanaan berkelanjutan yang mendukung keberlanjutan PKBM dan SKB melalui pengakuan pendidikan nonformal sebagai prioritas dalam rencana kerja tahunan desa dan pedoman alokasi dana.

Pada akhirnya, memperkuat pendidikan nonformal berarti melakukan transformasi dan investasi besar-besaran, yang dimulai dengan perubahan paradigma tentang pendidikan: bahwa pendidikan nonformal bukanlah pilihan terakhir, melainkan jalur sejajar dalam memastikan hak belajar seumur hidup bagi setiap orang.

Editor: Abul Muamar

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Continue Reading

Sebelumnya: Memberdayakan Pembudidaya Ikan Skala Kecil untuk Akuakultur Berkelanjutan

Lihat Konten GNA Lainnya

Dua orang duduk di perahu menyusuri perairan dengan salah seorang menebar benih ikan. Memberdayakan Pembudidaya Ikan Skala Kecil untuk Akuakultur Berkelanjutan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Memberdayakan Pembudidaya Ikan Skala Kecil untuk Akuakultur Berkelanjutan

Oleh Attiatul Noor
23 Oktober 2025
tumpukan sampah yang dibakar Langkah Pemerintah Dorong Pengelolaan Sampah Perkotaan menjadi Energi
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Langkah Pemerintah Dorong Pengelolaan Sampah Perkotaan menjadi Energi

Oleh Abul Muamar
22 Oktober 2025
gambar jarak dekat sebuah botol air plastik terdampar di bibir pantai yang berbuih Mengulik Potensi Desalinasi untuk Atasi Krisis Air
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Mengulik Potensi Desalinasi untuk Atasi Krisis Air

Oleh Ponnila Sampath-Kumar
22 Oktober 2025
foto palu sidang berwarna coklat dan sebuah borgol yang tergelak di atas permukaan kayu Mekanisme Anti-SLAPP Lewat Putusan Sela: Harapan Baru bagi Pembela Lingkungan?
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mekanisme Anti-SLAPP Lewat Putusan Sela: Harapan Baru bagi Pembela Lingkungan?

Oleh Seftyana Khairunisa
21 Oktober 2025
Hutan rumput laut dengan sinar matahari yang menembus air Potensi Budidaya Rumput Laut untuk Aksi Iklim dan Ketahanan Masyarakat
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Potensi Budidaya Rumput Laut untuk Aksi Iklim dan Ketahanan Masyarakat

Oleh Attiatul Noor
21 Oktober 2025
tangan memutari bibit tanaman Mengarusutamakan Spiritualitas Ekologis dalam Praktik Keagamaan
  • GNA Knowledge Hub
  • Opini

Mengarusutamakan Spiritualitas Ekologis dalam Praktik Keagamaan

Oleh Polykarp Ulin Agan
20 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia