Deforestasi dan Ancaman terhadap Eksistensi Budaya Masyarakat Adat
Lebih dari sekadar kehilangan tutupan hutan alami, deforestasi memiliki dampak yang meluas ke berbagai aspek, salah satunya menyangkut keberlangsungan eksistensi budaya masyarakat adat yang hidupnya bergantung pada hutan. Bagi banyak komunitas adat, hutan bukan hanya sumber daya alam, tetapi juga bagian integral dari identitas dan spiritualitas mereka. Di banyak tempat, deforestasi telah menggerus dan bahkan melenyapkan budaya adat yang telah ada selama berabad-abad, termasuk pengetahuan adat yang penting dalam upaya pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, menghentikan deforestasi menjadi semakin penting untuk menyelamatkan kebudayaan adat di berbagai daerah.
Hutan sebagai Identitas Budaya Masyarakat Adat
Bagi banyak komunitas adat, hutan bukan hanya tempat tinggal yang diwarisi dari leluhur mereka dan menyediakan sumber daya alam. Hutan adalah tempat yang erat dengan identitas budaya mereka, sehingga kerap dihormati dengan berbagai aturan. Bagi Suku Kajang di Sulawesi Selatan, misalnya, hutan diyakini sebagai tempat sakral karena dipercaya sebagai tempat Bumi pertama kali dibuat. Sementara di Kalimantan, Suku Dayak Iban Menua Sungai Itik memandang hutan sebagai Bapak yang menyediakan makanan, sementara tanah adalah Ibu yang melahirkan tumbuh-tumbuhan.
Masyarakat adat kerap memiliki spiritualitas yang erat dengan hutan. Hutan kerap dijadikan sebagai simbol atau tempat untuk berhubungan dengan ruh atau kekuatan Yang Maha Kuasa. Selain itu, banyak komunitas adat yang menerapkan aturan dalam memanfaatkan hutan yang bisa mendatangkan malapetaka jika dilanggar. Hal ini mencerminkan hubungan timbal balik masyarakat adat dengan hutan, yaitu melestarikan keberlangsungan hutan sebagai rasa syukur dan terima kasih karena hutan telah menyediakan kebutuhan hidup mereka.
Tidak hanya itu, masyarakat adat juga memiliki beragam pengetahuan lokal yang terkandung di dalam bahasa ibu mereka. Misalnya, Orang Rimba memiliki istilah khusus untuk mengklasifikasikan hutan ke dalam beberapa bagian yang tidak dijumpai dalam bahasa nasional. Di antaranya adalah tano terban untuk kawasan hutan yang terbentuk karena longsoran, tano peranaon untuk kawasan yang digunakan sebagai tempat melahirkan, dan tano pasoron untuk tempat pemakaman. Orang Rimba juga memiliki kosakata sendiri untuk menggambarkan aktivitas mereka di hutan, seperti behuma (berladang), bebenor (mencari umbi-umbian), dan bekutel (mencari buah-buahan). Selain itu, ekosistem hutan juga melahirkan ide-ide atau sistem pengetahuan tradisional yang menjadi ciri khas Orang Rimba, yaitu penamaan dan pemaknaan terhadap flora dan fauna yang beberapa di antaranya belum teridentifikasi nama ilmiahnya.
Hal serupa juga dimiliki oleh masyarakat Tonsawang, salah satu subetnis di Tanah Minahasa, yang memiliki kearifan lokal dalam memanfaatkan tumbuhan obat yang diwariskan secara turun-temurun. Setidaknya terdapat 40 jenis tumbuhan obat yang beberapa di antaranya diambil dari hutan kemudian dibudidayakan di pekarangan rumah. Sementara itu, masyarakat Tau Taa Vana yang mendiami pedalaman Sulawesi Tengah mempunyai bakum valia, yaitu praktik pengobatan yang berbasis pada peracikan tanaman obat dari hutan. Suku ini juga memiliki resep obat-obatan untuk bakum valia yang dituturkan turun-temurun melalui syair.
Ancaman Deforestasi
Pada akhir tahun 2023 kawasan hutan di Indonesia mencapai 105,8 juta hektare. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 23,2 juta hektare yang merupakan hutan adat yang menjadi ruang hidup masyarakat adat yang tersebar di seluruh wilayah. Keberadaan masyarakat adat di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 40 hingga 70 jiwa dari 2116 komunitas adat per tahun 2022. Akan tetapi, keberadaan masyarakat adat dan hutan tersebut terancam oleh deforestasi. Pada tahun 2023, Auriga Nusantara mencatat deforestasi di Indonesia mencapai 257 ribu hektare.
Hutan begitu penting bagi setiap sendi kehidupan masyarakat adat sehingga perubahan atau kerusakan ekosistem hutan akan berdampak besar terhadap mereka. Pembukaan dan alih fungsi lahan hutan dapat menggusur masyarakat adat dari ruang hidup yang telah mereka tempati selama berabad-abad dan mencerabut identitas budaya mereka yang telah diwariskan turun-temurun. Banyak komunitas adat di Indonesia yang telah mengalami dampak deforestasi, termasuk Orang Rimba. Ekspansi perkebunan sawit serta pembangunan jalan dan pabrik skala masif telah membuat Orang Rimba tersingkir dari tempat tinggalnya. Deforestasi juga menyebabkan Orang Rimba kesulitan untuk menjalankan tradisi melangun, yaitu meninggalkan suatu tempat ketika ada seseorang dalam kelompok yang meninggal dunia.
Pembukaan hutan juga menghilangkan pembagian wilayah hutan yang mengakibatkan Orang Rimba tidak bisa lagi mempraktikkan ritual untuk merayakan kelahiran karena ketiadaan pohon tenggeris dan pohon sentubung yang digunakan sebagai simbol untuk menghubungkan manusia dengan alam.
Masyarakat Dayak Iban di Kalimantan juga mengalami hal serupa. Pembukaan lahan untuk sawit membuat mereka terpaksa berpindah sehingga memiliki akses terbatas untuk melakukan kegiatan berkebun dan melakukan berbagai ritual adat. Bahkan, aktivitas perusahaan sawit telah membuat kemampuan menenun yang diwariskan turun-temurun oleh perempuan Dayak Iban hampir punah karena semakin sulit untuk mendapatkan material yang dibutuhkan. Padahal, hasil anyaman ini merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi perempuan Dayak Iban.
Sayangnya, hingga kini masih terdapat kebijakan atau proyek-proyek yang menyebabkan deforestasi dan merampas ruang hidup masyarakat adat. Di antaranya adalah pembangunan IKN Nusantara yang berpotensi menggusur 51 Komunitas Masyarakat Adat dari wilayah adatnya dan pembangunan food estate di berbagai daerah termasuk Papua dan Sumatera Utara.
Pada saat yang sama, masih banyak komunitas adat yang memperjuangkan hak dan pengakuan secara resmi. Per Agustus 2024, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah meregistrasi sebanyak 1.499 wilayah adat dengan total luas 30,1 juta hektare. Sayangnya, baru 4 juta hektare yang diakui secara resmi oleh pemerintah daerah. Selain itu, hutan adat yang telah ditetapkan baru sekitar 265 ribu hektare. Tanpa pengakuan, identitas budaya masyarakat adat yang bersandar pada ekosistem hutan akan terus terancam seiring meningkatnya ancaman deforestasi, termasuk oleh rencana ekspansi perkebunan monokultur dan industri energi. Dalam jangka panjang, deforestasi dapat melenyapkan berbagai pengetahuan adat yang penting bagi upaya pelestarian lingkungan, termasuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati.
Melindungi Keberadaan Masyarakat Adat
Mengingat begitu pentingnya fungsi hutan alami baik secara ekologis maupun sebagai ruang hidup masyarakat adat, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berkomitmen untuk mengurangi laju deforestasi. Lebih jauh, pemerintah juga perlu menetapkan target yang lebih ambisius untuk mengejar nol deforestasi. Memperkuat pengakuan atas peran penting masyarakat adat dan memenuhi hak-hak mereka, termasuk melalui penguatan regulasi merupakan langkah awal yang sangat krusial. Menjaga keberlangsungan hutan berarti melindungi keberadaan masyarakat adat sebagai agen terdepan dalam konservasi lingkungan.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.