Menghapus Diskriminasi Usia Kerja
Setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Namun pada kenyataannya, ada banyak persoalan yang menghambat pemenuhan hak ini, salah satunya berupa diskriminasi usia kerja. Di berbagai tempat, diskriminasi usia kerja turut menjadi faktor penyebab tingginya angka pengangguran dan menghalangi upaya untuk menciptakan pekerjaan yang layak untuk semua.
Kondisi Tenaga Kerja di Indonesia
Menurut BPS, per Februari 2024 ada sekitar 7,1 juta angkatan kerja berusia di atas 15 tahun yang tidak memiliki pekerjaan. Sementara itu pada saat yang sama, Indonesia juga sedang menghadapi badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan, dari Januari hingga Juni 2024 terdapat 101.536 pekerja yang terkena PHK. Data yang dihimpun dalam waktu setengah tahun ini bahkan lebih besar dari angka PHK yang terjadi sepanjang tahun 2023, yaitu sekitar 64 ribu.
Jutaan orang harus bersaing untuk mendapat pekerjaan di tengah lapangan kerja yang semakin terbatas. Pascapandemi COVID-19, penciptaan lapangan pekerjaan melambat seiring makin banyak terserapnya tenaga kerja di sektor informal dengan upah yang kurang layak dan tanpa perlindungan. Langkanya lapangan pekerjaan sering disebut akibat adanya mismatch atau ketidakcocokan antara pendidikan dan pekerjaan hingga terjadinya pergeseran dari industri padat karya ke padat modal.
Sayangnya, kondisi yang sulit ini diperparah dengan berbagai masalah struktural seperti diskriminasi usia kerja yang membuat banyak orang semakin kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan.
Diskriminasi Usia Kerja
Di Indonesia, lowongan kerja yang mencantumkan batas usia sebagai syarat adalah hal yang kerap ditemui, bahkan seringkali dianggap lumrah, termasuk oleh Kemnaker. Banyak lowongan kerja di berbagai sektor atau bidang yang membuat batasan usia, sehingga menghambat banyak orang, baik lulusan baru (fresh graduate) maupun tenaga kerja berusia lanjut (30 tahun ke atas), untuk memperoleh pekerjaan dan pada akhirnya melanggengkan ageisme.
Ageisme merujuk pada prasangka terhadap individu hingga pemberian tindakan yang tidak menguntungkan, tidak adil, dan tidak setara hanya karena usianya. Dalam dunia kerja, ageisme dapat mencakup berbagai hal yang dapat mempengaruhi proses perekrutan, pengabaian promosi, hingga PHK pada pekerja yang berusia lebih tua.
Batasan usia kerja ini banyak dijumpai di berbagai sektor pekerjaan, mulai dari kerja-kerja administrasi dan pramuniaga, pekerja pabrik, baik di perusahaan swasta, badan usaha milik negara, dan di institusi pemerintah. Ironisnya, praktik ini juga banyak terjadi di bidang-bidang atau sektor yang selama ini dianggap “intelektual”, seperti lembaga advokasi dan media massa yang kerap mengkritik soal diskriminasi.
Diskriminasi usia kerja merupakan pelanggaran hak yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan, menjalani kehidupan yang layak, dan mencapai kesejahteraan. Pembatasan usia dalam pekerjaan juga dapat berdampak pada mereka yang masih dalam usia produktif dan membutuhkan pekerjaan untuk menjalani hidup dan menghidupi keluarganya. Belum lagi, banyak pekerjaan yang mencantumkan syarat dengan kualifikasi yang tinggi sehingga membuat persaingan dunia kerja makin ketat.
Bagi perempuan, dampak dari diskriminasi usia kerja bisa lebih besar. Perempuan yang berhenti bekerja untuk menikah dan mengurus anak akan lebih sulit mendapatkan kembali pekerjaan karena telah berada di atas batas usia yang banyak disyaratkan perusahaan. Akhirnya, banyak perempuan, terutama ibu, yang bekerja di sektor informal yang semakin membuat posisi mereka semakin rentan.
Diskriminasi dalam segala bentuk merupakan hak yang harus dihapuskan dalam dunia kerja. Pasal 5 UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 111 ke dalam UU No. 21 Tahun 1999 untuk melarang setiap bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Sayangnya, peraturan-peraturan ini tidak secara tegas dan eksplisit mencantumkan usia sebagai salah satu bentuk diskriminasi.
Pasal 35 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan yang menyebut bahwa “pemberi kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” telah menjadi “pembenaran” oleh banyak perusahaan untuk membuat batasan usia pelamar dalam sistem perekrutan mereka. m. Pasal yang menimbulkan multitafsir tersebut sempat digugat pada Juli 2024 karena menimbulkan diskriminasi, namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Alhasil, diskriminasi usia kerja pun masih akan terus berlanjut.
Menghapus Syarat Batas Usia
Banyak negara telah memiliki aturan yang jelas terkait diskriminasi usia kerja. Amerika Serikat, misalnya, memiliki Undang-Undang Diskriminasi Usia dalam Pekerjaan bahkan sejak tahun 1967. Di Inggris, seseorang dilindungi dari berbagai bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi usia dalam Undang-Undang Kesetaraan 2010 (Equality Act 2010). Beberapa negara di ASEAN juga memiliki peraturan serupa, seperti di Filipina dan Vietnam.
Demi menciptakan dunia kerja dan kehidupan yang lebih inklusif dan mendukung kesejahteraan bagi semua, Indonesia dapat dan mesti mencontoh langkah yang telah dilakukan oleh negara-negara tersebut. Dalam hal ini Indonesia memerlukan regulasi yang lebih jelas dan spesifik untuk melarang adanya pembatasan usia dalam pekerjaan dan perekrutan. Hal ini krusial untuk menjamin bahwa siapapun memiliki akses yang setara terhadap lapangan pekerjaan yang tersedia. Pemerintah juga dapat menerapkan sanksi bagi perusahaan atau pemberi kerja yang memberlakukan diskriminasi dalam bentuk apapun.
Selain itu, kesadaran dan komitmen dari perusahaan dalam membuat syarat kerja yang adil dan inklusif juga menjadi hal yang penting untuk menghapus diskriminasi usia kerja. Alih-alih membatasi syarat usia pelamar, rekrutmen tenaga kerja harus didasarkan pada kompetensi dan keterampilan yang dimiliki. Menghapus segala bentuk stigma terkait usia merupakan hal fundamental untuk menciptakan pekerjaan yang layak dan dunia yang lebih baik untuk semua.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Nisa adalah Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.