Nelayan di Tengah Krisis Iklim dan Liberalisasi Penangkapan Ikan
Nelayan memegang andil besar dalam kehidupan kita. Mereka adalah aktor utama dalam sektor kelautan dan perikanan yang berjasa dalam mendukung ketahanan pangan dan penyediaan nutrisi bagi kita.
Namun nelayan, terutama nelayan skala kecil dan tradisional, masih menghadapi berbagai permasalahan yang menghambat mereka untuk merasakan hidup sejahtera, sehat, dan aman. Krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif merupakan dua ancaman terbesar bagi nelayan saat ini.
Krisis Iklim dan Ancaman Industri Ekstraktif
Nelayan merupakan salah satu pihak yang paling merasakan dampak krisis iklim. Kenaikan suhu dan muka laut, penurunan populasi ikan, banjir, cuaca ekstrem, longsor, serta gelombang pasang dan abrasi adalah sederet ancaman yang kerap dihadapi nelayan hari ini. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), 251 nelayan meninggal dunia akibat cuaca buruk pada 2020–hampir tiga kali lipat dibanding tahun 2010 (86 nelayan).
Dengan hanya mengandalkan peralatan sederhana, keberlangsungan hidup nelayan kecil dan tradisional seringkali bergantung pada cuaca yang baik. Sementara krisis iklim sering membuat mereka tidak bisa pergi melaut setiap hari sepanjang tahun. Perpindahan ikan dari wilayah tropis akibat kenaikan suhu laut semakin membuat nelayan sulit untuk mendapatkan ikan.
Tidak hanya soal iklim, nelayan skala kecil dan tradisional juga masih menghadapi berbagai persoalan lainnya, seperti keterbatasan alat tangkap dan fasilitas penyimpanan, kesulitan dalam pemasaran hasil tangkap, minimnya akses permodalan dan asuransi keselamatan, hingga konflik antar-nelayan.
Selain itu, nelayan juga terancam oleh keberadaan industri ekstraktif, baik di laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, nelayan berhadapan dengan ekspansi proyek reklamasi dan pertambangan. WALHI mencatat, lebih dari 747 ribu keluarga nelayan di Indonesia terdampak oleh proyek reklamasi dan 35 ribu keluarga nelayan kehilangan ruang hidupnya akibat proyek pertambangan. Pertambangan juga menyebabkan kawasan perairan di 6.081 desa pesisir tercemar oleh limbah.
Kondisi ini pada gilirannya berdampak pada kondisi sosial-ekonomi nelayan. Tidak sedikit nelayan yang akhirnya “gantung jala” dan memilih jalan lain untuk mencari nafkah. Berdasarkan data Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut Tahun 2021, jumlah nelayan tangkap di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam rentang 2010-2019. Pada tahun 2010, jumlah nelayan tangkap tercatat sebanyak 2,16 juta orang, sedangkan pada tahun 2019 jumlahnya menjadi 1,83 juta orang.
Liberalisasi Penangkapan Ikan
Per 6 Maret 2023, Pemerintah Indonesia telah resmi memberlakukan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur melalui PP Nomor 11 Tahun 2023. Regulasi yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja ini memberikan konsesi bagi perusahaan dan investor besar dalam negeri maupun luar negeri untuk melakukan penangkapan ikan berbasis kuota dan zona penangkapan di perairan Indonesia.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim bahwa regulasi ini bertujuan untuk mewujudkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan mendukung kebijakan ekonomi biru, serta mengatasi penurunan stok ikan di lautan Indonesia yang diakibatkan oleh penangkapan berlebih serta Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing atau penangkapan ikan oleh kapal ilegal.
Namun, kebijakan yang telah menuai polemik jauh hari sebelum diresmikan ini dinilai lebih menguntungkan korporasi dan pemodal besar untuk menjalankan industri ekstraktif di lautan Indonesia. Dengan berlakunya aturan ini, perusahaan penanaman modal asing dapat menangkap ikan di empat zona perairan Indonesia yang melingkupi delapan dari total 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
“Kebijakan penangkapan ikan terukur adalah karpet merah yang diberikan kepada korporasi dan para pemodal besar untuk mengeksploitasi sumber daya ikan, khususnya pemodal-pemodal asing (PMA),” kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI kepada Green Network Indonesia, Selasa, 4 April 2023.
“Kebijakan ini adalah bentuk privatisasi, swastanisasi, dan liberalisasi sumber daya ikan di Indonesia yang meminggirkan nelayan dari ruang hidupnya. Kebijakan ini akan meningkatkan ekstraksi atau eksploitasi sumber daya kelautan kita. Akan terjadi kompetisi antara nelayan skala kecil yang menggunakan alat-alat sederhana dengan pelaku skala besar yang menggunakan alat canggih. Tentu nelayan akan kalah, dan mereka akan menjadi penonton di laut sendiri,” Parid melanjutkan.
Perlindungan yang Belum Optimal
Indonesia sebenarnya telah memiliki sejumlah regulasi untuk melindungi nelayan serta wilayah laut dan pesisir. Di antaranya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K) dan UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Namun, berbagai pihak menilai bahwa dua UU tersebut belum memberikan perlindungan optimal terhadap nelayan serta wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.
“Perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil telah menjadi prioritas dalam setiap kebijakan KKP. Namun pemerintah tidak dapat berjalan sendiri. Sinergi dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan merupakan kunci keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan,” kata Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono.
Rekomendasi
Melindungi nelayan merupakan hal yang krusial untuk memastikan upaya kita untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tidak berjalan di tempat atau melangkah mundur. Menerapkan rencana tata ruang laut yang komprehensif, baik di laut, pesisir, maupun pulau-pulau kecil merupakan hal penting untuk meningkatkan perlindungan bagi nelayan.
Seluruh kegiatan yang memanfaatkan ruang laut mesti menyesuaikan dengan alokasi ruang laut, daya dukung, dan mitigasi dampak. Hal penting lainnya adalah meningkatkan kolaborasi, sinergi, dan partisipasi aktif berbagai pihak untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, salah satunya melalui penelitian pemberdayaan nelayan dan pengelolaan pesisir, serta untuk mewujudkan tata kelola perikanan yang lebih terukur, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Dengan berbagai kondisi yang ada, WALHI memberikan sejumlah rekomendasi untuk penguatan perlindungan nelayan Indonesia, yang secara khusus ditujukan kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait:
- Evaluasi seluruh kebijakan dan peraturan yang memberatkan kehidupan nelayan, di antaranya UU Minerba dan UU Cipta Kerja beserta turunan-turunannya.
- Hentikan proyek-proyek skala besar yang ada di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang akan memperparah krisis ekologi, termasuk proyek pariwisata yang berpotensi mengambil alih wilayah tangkap nelayan.
- Evaluasi berbagai izin usaha di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang terbukti merugikan nelayan di Indonesia.
- Hentikan berbagai upaya liberalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia.
- Implementasikan dan susun aturan turunan dari UU Nomor 7 Tahun 2016 sebagai upaya untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan terhadap nelayan, serta rumuskan RUU penanganan perubahan iklim.
Artikel ini diterbitkan untuk memperingati Hari Nelayan Nasional, 6 April 2023.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.