Bagaimana Agroforestri Bantu Atasi Konflik Tenurial di KHDTK Kepau Jaya

Foto: Travel Photography di Freepik.
Hutan adalah sumber daya fundamental yang menentukan keseimbangan alam dan kualitas hidup semua makhluk di Bumi. Namun, kerusakan hutan di berbagai tempat terus meningkat akibat penebangan liar dan alih fungsi lahan, termasuk untuk kepentingan pertanian. Untuk mengurangi kerusakan hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, agroforestri dapat menjadi salah satu solusi potensial. Di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kepau Jaya, Kabupaten Kampar, Riau, agroforestri membantu mengatasi konflik tenurial dengan menyediakan alternatif mata pencaharian yang berkelanjutan.
Hutan di Indonesia dan Tantangan Pengelolaannya
Indonesia memiliki hutan alam tropis seluas 144 juta hektare, dengan 113 juta hektare ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap dan 30 juta hektare dicadangkan untuk peruntukan lain. Menurut data yang tersedia, dari luas tersebut, 27,4 juta hektare merupakan kawasan hutan konservasi yang terdiri dari 50 taman nasional, 250 cagar alam, 75 suaka margasatwa, 115 taman wisata alam, 23 taman hutan raya, dan 13 taman buru serta kawasan perairan laut.
Namun, program konservasi masih menghadapi tantangan seperti pembalakan liar, alih fungsi lahan, dan kebakaran hutan. Selain itu, konflik kepentingan antara pelestarian hutan dan pembangunan ekonomi, serta kurangnya pengawasan, juga menjadi hambatan utama dalam pengelolaan sumber daya hutan. Di tingkat tapak, konflik tenurial juga sering terjadi, terutama melibatkan masyarakat pengelola hutan dan pelaku usaha. Adanya tumpang tindih pemanfaatan hutan dan lemahnya penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal melengkapi tantangan yang ada.
Agroforestri di KHDTK Kepau Jaya
KHDTK Kepau Jaya terletak di Desa Kepau Jaya, Kabupaten Kampar, Riau. KHDTK seluas 1.027 hektare ini dikelola oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH) sebagai kawasan penelitian dan konservasi lingkungan. Namun, sebuah penelitian mengungkap bahwa kawasan hutan ini telah mengalami deforestasi yang signifikan, di mana sekitar 90% dari luas lahannya telah beralih menjadi perkebunan kelapa sawit, baik yang dikelola oleh perusahaan swasta maupun masyarakat.
Pada tahun 2019, Pengelola KHDTK Kepau Jaya bersama Kelompok Tani Hutan Tuah Tani Tonggak Negeri mulai membangun demplot agroforestri seluas 2,7 hektare. Program ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat dan menyelesaikan konflik lahan melalui sistem pengelolaan yang lebih ramah lingkungan. Tanaman kehutanan seperti gelam, geronggang, dan belangeran dikombinasikan dengan tanaman hortikultura seperti melon, cabai, dan ubi kayu. Hasilnya, lahan yang terdegradasi dapat dimanfaatkan kembali, memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat tanpa merusak lingkungan.
Selain hasil pertanian, agroforestri juga memberikan peluang ekonomi lain bagi masyarakat melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu seperti budidaya lebah madu. Dengan ketersediaan tanaman berbunga di sekitar kawasan agroforestri, masyarakat dapat memanen madu secara berkelanjutan, yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar. Selain madu, masyarakat juga dapat memanfaatkan berbagai tanaman hutan yang memiliki nilai jual, seperti rotan dan tanaman obat. Berbagai produk olahan seperti minyak atsiri dari tanaman tertentu juga menjadi sumber pendapatan tambahan. Dengan diversifikasi, masyarakat tidak hanya bergantung pada pertanian semusim, tetapi memiliki lebih banyak pilihan ekonomi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pengembangan hasil hutan bukan kayu juga mendukung upaya konservasi kawasan hutan. Dengan adanya nilai tambah dari produk-produk tersebut, masyarakat lebih terdorong untuk menjaga kelestarian hutan dibandingkan mengalihfungsikannya menjadi lahan pertanian intensif.
Keberlanjutan Hutan Demi Masa Depan
Keberlanjutan hutan tidak hanya bergantung pada kebijakan konservasi, tetapi juga membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaannya. Konflik tenurial yang sering terjadi di kawasan hutan dapat diselesaikan dengan pendekatan yang mengutamakan keseimbangan antara manfaat ekonomi dan kelestarian ekosistem. Dengan memastikan bahwa masyarakat mendapatkan manfaat langsung dari hutan melalui sistem yang ramah lingkungan, risiko perambahan hutan dapat dikurangi. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang berpihak pada solusi jangka panjang, di mana hutan tetap lestari dan masyarakat sekitar dapat hidup sejahtera tanpa harus merusak lingkungan.
Editor: Abul Muamar

Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.