Bagaimana Tradisi Subak di Bali Mendukung Praktik Pertanian yang Lebih Berkelanjutan

Pemandangan sawah terasering dengan sistem irigasi subak di Tabanan. | Foto: Lailatun Mubarokah.
Pertanian adalah fondasi ketahanan pangan di seluruh dunia. Di tengah degradasi lingkungan dan berbagai krisis lainnya yang tengah melanda dunia, penerapan praktik pertanian berkelanjutan yang selaras dengan alam menjadi semakin penting dan relevan. Di Bali, komunitas petani setempat telah menerapkan tradisi Subak, yakni sistem irigasi tradisional yang membantu menjaga produktivitas pertanian sekaligus keseimbangan ekosistem secara turun temurun.
Kondisi Pertanian di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dengan padi sebagai sebagai salah satu komoditas utamanya. Pada tahun 2016, lahan sawah di Indonesia mencapai 8,19 juta Ha. Status Indonesia sebagai negara agraris didukung oleh iklim tropis yang hangat dan tanah yang subur.
Dengan alam yang mendukung, sektor pertanian menjadi tulang punggung dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Selain sebagai penyedia bahan pangan, sektor ini juga menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar.
Namun, pertanian menghadapi berbagai tantangan dalam pengelolaannya, seperti perubahan iklim, lahan yang terdegradasi, dan menyusutnya sumber daya pendukung yang berdampak terhadap ketahanan pangan. Selain itu, berbagai aspek teknis juga masih menjadi tantangan signifikan dalam operasional pertanian di Indonesia, termasuk soal irigasi.
Sistem irigasi yang tidak efisien dapat menyebabkan ketidakseimbangan, seperti kekeringan atau kelebihan air, yang berisiko menurunkan produktivitas serta mempercepat degradasi lahan. Sayangnya, hal ini sering terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, inovasi dan kebijaksanaan dalam pengelolaan air merupakan kunci untuk meningkatkan efisiensi irigasi, membantu menjaga stabilitas produksi, dan mendukung praktik pertanian yang lebih keberlanjutan. Tradisi subak di Bali adalah salah satu contohnya.
Tradisi Subak sebagai Pilar Pertanian di Bali
Subak adalah sistem irigasi sawah tradisional di Bali yang berbentuk terasering. Subak pertama kali diterapkan di Timbul Baru, Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar pada tahun 1971 dengan memanfaatkan air Sungai Deha Suwung melalui terowongan sepanjang 2 km untuk mengairi sawah seluas 14 hektare. Sejak tahun 2012, Subak telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Berlandaskan prinsip Tri Hita Karana, Subak mengutamakan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas dalam pengairan, yang menegaskan bahwa alam tidak boleh dieksploitasi. Sistem irigasi Subak tidak menggunakan bangunan beton, sehingga tetap menjaga estetika lanskap persawahan berundak yang menjadi daya tarik wisata. Oleh karena itu, keberadaan sistem Subak tidak hanya berperan dalam menjaga produksi pertanian, tetapi juga mendukung sektor pariwisata.
Selain sebagai sistem irigasi, Subak di Bali juga merujuk pada organisasi petani yang mengelola sistem irigasi persawahan. Sebagai organisasi otonom, Subak dipimpin oleh seorang pekaseh yang bertugas mengawasi sistem pertanian serta berkoordinasi dengan masyarakat untuk mengumpulkan inspirasi terkait inovasi pertanian.
Pada awalnya, pembentukan Subak di Bali diawali dengan kegiatan masyarakat yang membuka area hutan menjadi persawahan sedikit demi sedikit, berdekatan dengan area persawahan yang sudah ada. Subak diciptakan bukan karena konflik, tetapi demi kelangsungan hidup dan pemanfaatan air yang adil. Transformasi budaya, ekonomi, dan teknologi dalam sistem Subak mencerminkan nilai kebersamaan dan simbol demokrasi petani. Berbagai persoalan, mulai dari kekeringan hingga hama yang merugikan petani, dapat dibahas melalui Subak. Organisasi ini memiliki peraturan yang disebut awig-awig, termasuk jadwal tanam padi agar hasil panen maksimal. Pada musim kering, awig-awig memungkinkan para petani untuk tetap bisa menanam padi.
Menjaga Keseimbangan di Tengah Perubahan Zaman
Dengan tiga krisis planet yang kita hadapi saat ini, praktik pertanian berkelanjutan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Di Indonesia, ada banyak kearifan lokal dan warisan budaya di berbagai daerah yang secara prinsip selaras dengan konsep pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang mendukung, serta kolaborasi antara pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil agar kearifan lokal dan warisan budaya yang ada tetap relevan di tengah perkembangan zaman. Dengan pendekatan yang adaptif dan inklusif, tradisi dan inovasi dapat berjalan beriringan, menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan dan mendukung kesejahteraan manusia dan planet Bumi.
Editor: Abul Muamar

Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.