Gua Mogao di Tengah Perubahan Iklim dan Ancaman Kerusakan
Kota Dunhuang yang berada di Provinsi Gansu, China Barat, adalah kota bersejarah. Bertahun-tahun yang lampau, Dunhuang menjadi salah satu perhentian utama bagi para pedagang yang menyusuri Jalur Sutra. Di sebelah selatan Dunhuang, terdapat Gua Mogao yang merupakan warisan berharga karena signifikansi sejarahnya dalam seni dan budaya Buddha. Sayangnya, para peneliti menemukan bahwa gua tersebut terdampak serius oleh perubahan iklim.
Mengenal Gua Mogao
Dibangun pada tahun 366 M, Gua Mogao merupakan situs terbesar, terkaya, dan terpanjang di dunia untuk seni Buddha. Gua Mogao membentuk suatu sistem 492 kuil yang berisi mural sepanjang 45.000 meter persegi dan lebih dari 2.000 patung lukisan seni Buddha dari abad ke-4 hingga ke-14. Gua Mogao juga terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Sayangnya, ahli konservasi warisan budaya dari Dunhuang Research Academy dan ilmuwan iklim dari Greenpeace Asia Timur menemukan bahwa perubahan iklim berdampak pada Gua Mogao. Selama survei oleh Administrasi Warisan Budaya Nasional China berlangsung, para peneliti menemukan bahwa situs tersebut terancam oleh curah hujan ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selama ini, situs itu hanya diliputi oleh kondisi gurun yang kering.
Curah Hujan Ekstrem Sebabkan Kerusakan
Sejak tahun 2000, Provinsi Gansu mengalami peningkatan curah hujan total dan penurunan jumlah hari hujan. Hal ini mengakibatkan kasus curah hujan yang lebih ekstrem. Para peneliti menggunakan standar meteorologi lokal, yang mendefinisikan curah hujan ekstrem dengan tingkat curah hujan 10-30 mm dalam sehari di berbagai wilayah Gansu. Catatan meteorologi itu juga menunjukkan bahwa suhu rata-rata meningkat sebesar 0,28°C setiap 10 tahun antara tahun 1961 hingga 2021, lebih cepat dari rata-rata global.
Lukisan-lukisan di Gua Mogao menghadapi risiko tinggi akibat perubahan pola iklim. Kelembaban yang meningkat dan kristalisasi garam menyebabkan cat mengelupas dan terlepas dari dinding. Selain itu, curah hujan ekstrem juga menyebabkan banjir bandang, tanah longsor, dan runtuhnya kuil. Air hujan juga merembes ke dalam gua sehingga menyebabkan kerusakan langsung pada lukisan. Selain itu, kuil-kuil di Kota Zhangye, masih di Provinsi Gansu, juga mengalami nasib yang sama seperti yang ada di Dunhuang.
“Krisis iklim membuat gurun mengalami hujan lebat sementara lahan pertanian mengalami kekeringan. Gansu terkenal dengan guanya dan seni yang tersimpan di dalamnya selama berabad-abad. Peningkatan curah hujan di gurun menimbulkan risiko parah. Lonjakan kelembaban, banjir bandang, dan keruntuhan sudah terjadi. Dan pada saat survei warisan budaya ini selesai, beberapa artefak mungkin sudah hilang,” kata Li Zhao, seorang peneliti senior di kantor Greenpeace Asia Timur di Beijing.
Menjaga Warisan Budaya di Tengah Perubahan Iklim
Perubahan iklim menjadi perhatian karena berpotensi merusak situs-situs warisan budaya di seluruh dunia. Dalam Laporan Perubahan Iklim dan Warisan Dunia, UNESCO menyampaikan bahwa perubahan iklim dan dampaknya, seperti naiknya permukaan laut dan meningkatnya suhu tanah, telah menimbulkan ancaman terhadap bangunan dan situs-situs kuno. Selain itu, perubahan iklim juga dapat menimbulkan dampak sosial dan budaya terhadap masyarakat di sekitar lokasi.
Kerusakan akibat perubahan iklim di Gua Mogao merupakan peringatan bagi kita bahwa menjaga warisan budaya sangat penting dalam upaya menghadapi perubahan iklim. Melestarikan situs warisan budaya di tengah kondisi dunia yang berubah-ubah sama artinya dengan menjaga sejarah pendahulu kita agar dapat disaksikan dan dipelajari oleh generasi mendatang.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Madina adalah Reporter di Green Network Asia. Dia adalah alumni program sarjana Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Dia memiliki tiga tahun pengalaman profesional dalam editorial dan penciptaan konten kreatif, penyuntingan, dan riset.