Pengesahan UU TPKS: Ujung Tombak Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual
DPR RI akhirnya resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang (UU) pada Selasa (12/04). Pengesahan ini menjadi angin segar bagi seluruh elemen masyarakat yang menuntut keadilan atas kekerasan seksual, terutama setelah penggodokan UU TPKS di Senayan selama enam tahun.
Inisiasi mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah dimulai sejak 2012, lalu. Satu dekade kemudian, RUU ini baru resmi disahkan menjadi UU setelah melalui berbagai pro kontra yang terjadi. Pro kontra muncul tidak hanya dari kalangan masyarakat tetapi juga di parlemen.
Poin Penting dalam Pengesahan
Sejumlah elemen masyarakat sipil, aktivis, para tokoh, hingga beberapa anggota DPR terus mendorong disahkannya RUU PKS sejak beberapa tahun belakangan ini. Pengesahan ini dinilai sebagai ujung tombak perlindungan korban kekerasan seksual, mengingat selama ini belum ada sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual. Maka dari itu, terobosan dalam RUU TPKS hadir untuk penanganan kekerasan seksual secara komprehensif.
UU TPKS mengatur perbuatan kekerasan seksual yang sebelumnya tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional (KUHP). Mulai dari bentuk kekerasan seksual, tindak pidana kekerasan seksual, hingga hukum acara khusus untuk mengatasi hambatan keadilan korban. UU TPKS mengakomodir hukum yang lebih berpihak kepada korban dengan mengatur hak-hak korban, keluarga, dan saksi. RUU TPKS juga mengakomodir masukan dari koalisi masyarakat sipil seperti mekanisme victim trust fund atau dana bantuan korban.
Perjalanan UU TPKS
Perjalanan UU TPKS selama enam tahun sebelum disahkan melalui pasang-surut perdebatan di DPR. Pertama kali diinisiasi oleh Komnas Perempuan pada 2012, UU terkait kekerasan seksual diberi nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sekitar empat tahun Komnas Perempuan membujuk DPR untuk membentuk peraturan mengenai kekerasan seksual, baru pada 2016 DPR meminta naskah akademiknya.
Terhitung RUU PKS telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebanyak empat kali yaitu pada Prolegnas 2016, 2018, 2020, 2021 yang berujung tidak sampai disahkan. Bahkan, pada Juni 2020, RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas. Pada Desember 2021, RUU PKS yang diubah namanya menjadi RUU TPKS disetujui oleh Badan Legislatif (Baleg) menjadi RUU inisiatif DPR. Serangkaian agenda untuk mendorong pengesahan RUU TPKS dilakukan semenjak saat itu hingga akhirnya diketuk palu untuk disahkan dalam Sidang Paripurna 12 April lalu.
Saat ini, naskah UU TPKS sedang menunggu untuk ditandatangani oleh Presiden. UU TPKS tidak lantas menjadi legislasi yang sempurna. Beberapa catatannya meliputi: tidak mengatur aborsi dan pemerkosaan, belum sepenuhnya mengatur hak korban terkait penanganan dan perlindungan, serta belum mengatur beberapa hak keluarga korban. Meskipun begitu, pengesahan payung hukum ini menjadi langkah penting untuk menyediakan ruang yang lebih aman, tidak hanya bagi para perempuan dan korban kekerasan seksual, tetapi juga seluruh elemen masyarakat.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Ayu adalah seorang peneliti dan penulis kontributor di Green Network Asia - Indonesia.