Dialog Sosial untuk Transisi Energi Berkeadilan Bagi Pekerja
Transisi energi merupakan pengalihan sistem produksi dan konsumsi energi berbasis fosil (minyak, gas bumi, dan batubara) yang tinggi karbon ke sistem energi baru dan terbarukan (EBT) yang rendah karbon. Transisi energi bertujuan mencapai target emisi nol bersih/net zero emission (NZE) dan membatasi kenaikan temperatur bumi di bawah 1,5 derajat celsius pada tengah abad 21 atau tahun 2050.
Penggunaan energi berbasis fosil secara masif selama ini telah memacu peningkatan emisi gas rumah kaca jauh melampaui batas aman, yang berdampak pada meningkatnya bahaya perubahan iklim. Oleh karena itu, urgensi transisi energi telah disadari dan menjadi agenda besar dunia berdasarkan Perjanjian Paris 2015. Agenda ini kemudian ditindaklanjuti pada Conference of the Parties ke-26 (COP26), dengan tujuan memperkuat ambisi dan aksi global untuk penanganan krisis iklim.
Demi menghindari kesenjangan antara retorika dengan aksi nyata dalam transisi energi, International Energy Agency (IEA) menyusun peta jalan sebagai panduan bagi negara-negara di dunia dalam transisi energi mereka, yaitu “Net Zero by 2050: A Roadmap for the Global Energy Sector”. Pada COP26, Indonesia telah menandatangani deklarasi “Global Coal to Clean Power Transition”. Presiden Joko Widodo bahkan menyampaikan komitmen Indonesia untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat dengan dukungan komunitas internasional.
Transisi Energi Nasional dan G20
Pemerintah mengupayakan pencapaian target emisi nol bersih melalui kebijakan, regulasi, dan praktik-praktik bauran EBT ke dalam sistem energi nasional melalui peta jalan transisi energi nasional. Kabarnya, dalam peta jalan ini, pemerintah menargetkan bauran EBT mencapai 23% pada tahun 2025, 87% pada tahun 2050, dan netral karbon pada tahun 2060. Upaya ini terutama dilakukan pada sektor-sektor prioritas dekarbonisasi, seperti ketenagalistrikan dan transportasi.
Di sektor ketenagalistrikan, upaya yang dilakukan meliputi pengembangan dan peningkatan bauran EBT secara masif dan penghapusan setahap demi setahap (phase out) atau pengurangan (phase down) produksi dan konsumsi berbasis fosil terutama batu bara, yang merupakan sumber energi terbesar Indonesia baik untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri maupun ekspor. Di sektor transportasi, transisi energi diupayakan dengan perluasan penggunaan kendaraan listrik dan bahan bakar nabati untuk kendaraan yang sulit dielektrifikasi.
Sebagai tuan rumah G20 tahun 2022, Indonesia menjadikan transisi energi sebagai satu di antara tiga isu prioritas Presidensi G20 Indonesia melalui Forum Transisi Energi G20. Kesempatan ini dilihat sebagai momentum strategis bagi Indonesia untuk mengajak semua negara anggota G20, yang merupakan produsen dan konsumen 75% energi global, untuk mempercepat transisi energi dan menunjukkan Grand Strategi Energi Nasional dalam mencapai target emisi nol bersih.
Jangan Lupa Nasib Pekerja
Transisi energi diprediksi akan meningkatkan jumlah total pekerjaan di sektor energi. Dalam skenario NZE, diperkirakan ada 14 juta pekerjaan baru dalam sistem pasokan energi global yang akan tercipta pada 2030. Pada periode yang sama, diperkirakan akan ada 5 juta pekerjaan di sektor energi fosil yang hilang. Perkiraan ini menghasilkan selisih bersih sejumlah 9 juta pekerjaan baru. Terima kasih untuk peluang pekerjaan yang ditawarkan oleh transisi energi ini!
Sayangnya, dampak positif transisi energi dalam ketenagakerjaan ini berpotensi tidak akan dirasakan secara adil dan merata. Akan ada individu dan komunitas yang terancam kehilangan pekerjaan dan tertinggal di belakang jika tidak ada langkah konkret untuk mencegahnya. Di Indonesia, transisi energi diperkirakan akan menghilangkan hingga 252.000 pekerjaan di industri batu bara (IESR, 2022). Angka ini belum termasuk menghitung jumlah pekerja yang tidak terlibat secara langsung dalam industri batubara di daerah-daerah penghasil batubara, seperti pekerja di pembangkit listrik, rumah makan, hotel, dll.
Terkait hal ini, bagaimana nasib para pekerja tambang dan industri batubara jika industri ini dipercepat penutupannya? Meskipun diprediksi akan muncul banyak peluang pekerjaan baru, bagaimana kesiapan pekerja untuk beralih pada pekerjaan baru tersebut? Jika terjadi pemutusan kontrak tambang batubara akibat percepatan coal phase out, siapa yang akan menanggulangi gap biaya yang timbul mengingat dampaknya pada jaminan kehilangan pekerjaan bagi pekerja? Apakah pemerintah dalam hal ini kementerian ketenagakerjaan telah mempersiapkan regulasi untuk masalah-masalah ketenagakerjaan selama berlangsungnya transisi energi?
Perlu Dialog Sosial
Pertanyaan-pertanyaan di atas masih belum terjawab secara terperinci, sehingga perlu diadakan dialog sosial antara pemerintah, pengusaha, pekerja, dan stakeholder relevan lainnya.
Sangat disayangkan bahwa aspek ketenagakerjaan sepertinya senyap dalam peta jalan transisi energi nasional yang sedang disusun oleh para pemangku kebijakan seperti Kementerian ESDM, BAPPENAS, KLHK, Dewan Energi Nasional, dan beberapa stakeholder utama lainnya, setidaknya berdasarkan informasi yang saya terima sebelumnya. Aspek ketenagakerjaan ini layak menjadi perhatian serius mengingat pekerja adalah pelaku utama dan menjadi pihak yang paling terdampak dalam proses transisi energi tersebut.
Pemerintah dan pengusaha harus duduk bersama pekerja untuk menghasilkan regulasi atau peraturan-peraturan yang mampu mengakomodir kepentingan tiap-tiap pihak agar tercapai transisi energi yang berkeadilan bagi pekerja. Perlu dibuat suatu lembaga tripartit yang khusus membahas isu-isu yang berhubungan dengan transisi energi ini, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk provinsi dan kabupaten/kota.
Tripartit yang terbentuk diharapkan akan mampu menjawab tantangan yang ada, sehingga prinsip People-Centered dalam transisi energi bisa berjalan, dan kesejahteraan pekerja bisa terlindungi. Melalui dialog sosial dalam tripartit diharapkan akan terbentuk regulasi ketenagakerjaan di sektor-sektor pekerjaan baru, usaha-usaha yang akan dilakukan dalam peningkatan dan pengalihan keahlian “upskilling, reskilling, newskilling”, juga peningkatan jaminan sosial bagi pekerja, sehingga perjalanan transisi energi Indonesia dapat terlaksana dengan baik dan adil untuk semua pihak, tanpa ada satu orang pun tertinggal di belakang.
Editor: Abul Muamar dan Marlis Afridah
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Royanto adalah Wakil Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) 2022-2027.