Perbincangan Tentang Sampah, Pengelolaan Sampah Urban
Pernahkan Anda berpikir, “Kenapa kita tidak mengirim sampah-sampah kita ke matahari? Ini akan menyelesaikan masalah sampah di bumi kan?”
Begitulah saya 10 tahun yang lalu. Untungnya, sekarang saya paham bahwa “membuang” sampah kita ke matahari tidak akan menjadi solusi. Sebagai catatan, sampah antariksa saja sudah banyak sekali, membuat kita bertanya-tanya, “apakah serpihan-serpihan yang melayang-layang itu adalah sampah dari astronot-astronot kita?”
Sampah di Kota-kota Kita
Sementara itu, masalah yang belum terselesaikan di bumi sedang menunggu sebuah solusi: sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Jakarta Raya sudah setinggi 50 meter menjulang ke langit. Bantargebang, TPA terbesar di Jakarta Raya, sudah kelebihan muatan sejak 2021 dengan 7,7 ton sampah per hari.
Ingat kebijakan luar negeri China untuk melarang impor sampah pada 2016 silam? Negara-negara pengekspor sampah kemudian beralih ke negara-negara sedang berkembang yang sebagian besar lokasinya di Asia Tenggara. Imbasnya, Greenpeace menyatakan dalam buku laporannya bahwa kebijakan ini berakibat pada meningkatnya sampah plastik di Asia Tenggara sampai 170%.
Masalah sampah di Asia Tenggara mencapai puncaknya pada 2019. Sebagaimana dilaporkan oleh Guardian, seekor paus sperma yang terdampar ditemukan mati dengan 1000 sampah plastik di dalam perutnya di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi.
Tak hanya berimbas pada sampah lingkungan: gesekan dalam kepentingan luar negeri dengan negara-negara pengekspor sampah juga terjadi. Contohnya, pada 2019 Malaysia mengembalikan 4.120 ton sampah ilegal ke negara pengimpor sampah, kemudian menegaskan bahwa Malaysia bukan pengimpor sampah dunia. Indonesia pun melakukan hal yang sama dengan mengembalikan 18 kontainer sampah ilegal ke Australia.
Ketegangan antara Filipina dengan Kanada terkait sengketa ekspor sampah juga terjadi pada 2019. 2.700 ton sampah yang salah label “Sampah Kanada” dilaporkan menyebabkan masalah domestik, hampir membuat Duterte dan perdana Menteri Kanada berada dalam krisis diplomatik.
Sejujurnya, kesadaran lingkungan mengenai isu sampah sudah menyebar dari isu ekologis ke kepentingan politik yang intens. Isu ini menjadi masalah yang luas, dari tempat pembuangan akhir sampai kursi pemangku kepentingan negara.
Meskipun demikian, kesadaran saya tentang isu sampah hadir bukan dari buku ataupun sekolah. Tetapi, kesadaran itu hadir justru dari sebuah game komputer: The Cities Skyline—game tentang simulasi perencanaan kota.
Sampah di Game Komputer Saya
Bermain peran sebagai seorang pengelola kota yang berupaya untuk menciptakan kota terbaik di dunia, kita akan dihadapkan pada fenomena yang sama: ledakan populasi. Sisi positifnya adalah, ledakan populasi tersebut akan meningkatkan pendapatan pajak rata-rata kota; meskipun begitu hal ini juga menyebabkan semakin banyaknya sampah yang dibuang setiap harinya.
Orang-orang mulai sakit dan mengeluh setiap hari, mengakibatkan rendahnya indeks kebahagiaan kota dan membuat orang-orang meninggalkan kota. Perlahan-lahan kota sekarat.
Solusi awal kita sederhana: tambahkan truk-truk sampah, naikkan gaji pekerja kebersihan, didik masyarakat untuk mengurangi-menggunakan kembali-dan mendaur ulang (Reduce, Reuse, Recycle -3R) sampah dan lain sebagainya.
Masalah selesai? Tidak, tidak sama sekali.
Kenyataannya, populasi kota tetap bertambah dalam kedipan mata. Fasilitas pembuangan sampah semakin penuh setiap hari, dan kita membutuhkan tempat pembuangan yang baru.
Game ini tampak terlalu nyata. Kontaminasi lingkungan yang disebabkan oleh tempat pembuangan akhir mempengaruhi tanah, air, dan kehidupan di bawahnya. Lingkungan di sekitarnya menjadi lingkungan yang berbahaya, menjadi sebuah lahan luas terbengkalai di kota.
Tiba-tiba, sebuah game yang sedang saya nikmati berubah menjadi kenyataan pahit bahwa masalah sampah begitu mengancam dan berbahaya.
Aksi Bersama untuk Menjadi Lebih Baik
Yang bisa saya katakana adalah bawah pasti ada sesuatu yang kita abaikan karena kita telah mengupayakan solusi yang sama lagi dan lagi selama beberapa dekade terakhir. Kita membutuhkan pendekatan baru dari pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan terkait sistem pengelolaan sampah di negara-negara berkembang.
Dalam pandangan saya, Jepang menjadi tolak ukur yang bagus untuk mempelajari penyelarasan dalam keberlanjutan lingkungan dan praktik-praktik pengelolaan sampah padat sejak 1977. Selain itu, ada juga Singapura, yang telah mengimplementasikan tempat pembuangan akhir berbasis lingkungan di Samakau.
Sebagai permulaan, saya menyarankan sistem pemilahan fasilitas pembuangan sampah yang lebih baik. Hal ini akan mengelompokkan kategori sampah, mengurangi jumlah sampah campur aduk di TPA, dan memudahkan proses daur ulang.
Lebih dari itu, kolaborasi juga menjadi hal yang penting. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus bisa mendorong sektor privat untuk merumuskan solusi sebagai sebuah kesempatan bisnis (Creating Shared Value).
Di Indonesia, statistik penanaman modal asing meningkat sampai 50% untuk perusahaan-perusahaan yang mengimplementasikan ESG (tata kelola lingkungan, sosial, dan perusahaan) pada 2019. Meningkatnya obligasi hijau secara massif di pasar global mencapai 258.9 miliar US dollar di 2019, meningkat sampai 296% dibandingkan dengan tahun 2018. Hal ini berarti ASEAN bisa memainkan peran penting dalam menembus pasar bisnis Asia Tenggara untuk mencapai keberlanjutan melalui bisnis hijau.
Tentu saja semua ini tidak akan berjalan muda. Sampah digital, dengan komponen yang lebih rumit dan berbahaya untuk didaur-ulang, akan mengikuti jejak sampah rumah tangga pada umumnya. Kita perlu melihat sampah sebagai gejala sistem produksi yang bercela sekaligus ancaman pada komitmen kita terhadap pembangunan berkelanjutan.
Saya berharap kota gersang dalam game itu tidak akan benar-benar menjadi masalah nyata bagi kita –apa yang ada di game, biar tetap di dalam game.
Penerjemah: Iffah Hannah
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Kamil adalah seorang dosen dan penulis konten di Green Network Asia.