Batik Si Putri: Bagaimana Bisnis Batik dapat Mendukung Pelestarian Lingkungan dan Budaya
Selain sumber daya alam, Indonesia kaya akan seni dan budaya. Salah satu produk seni-budaya Indonesia yang paling mahsyur dan patut dibanggakan adalah batik. Dikenal luas di berbagai belahan dunia, batik telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak-benda sejak 2 Oktober 2009. Namun, perkembangan industri fesyen perlahan-lahan mengancam eksistensi pakaian yang telah ada sejak zaman Majapahit tersebut, dan itulah yang mendasari lahirnya Batik Si Putri.
Dalam hal ini, batik tulis tangan menjadi yang paling terancam. Persaingan harga dengan “batik-batik” yang diproduksi secara massal oleh pabrik membuat batik-batik tulis tangan kian terpojok ke ambang kepunahan. Beberapa motif dan jenis batik bahkan benar-benar terancam keberadaannya, seperti batik tulis tangan di Bengkulu, batik Patengteng di Madura, dan batik nitik di Jogja.
Meski demikian, berkat para pengrajin yang pantang menyerah, batik masih bertahan hingga hari ini. Di tengah gempuran industri pakaian dan tren fast-fashion, mereka tetap tekun mencanting di sudut-sudut kesunyian, dan yakin bahwa batik-batik yang mereka hasilkan tetap akan memiliki tempat di hati para pecintanya.
Hal itu pula yang menjadi ruh Batik Warna Alam Si Putri, sebuah bisnis batik kecil di tengah pepohonan rindang di Semarang. Mengusung prinsip fesyen beretika dan berkelanjutan, Batik Si Putri berupaya mempertimbangkan aspek lingkungan sekaligus manusia yang terlibat dalam proses produksinya.
Pada Kamis, 4 Mei 2023, Green Network berkunjung ke rumah produksi dan galeri Batik Si Putri yang beralamat di Jalan Watusari, Kelurahan Pakintelan, Kecamatan Gunung Pati, Semarang, dan mengobrol dengan Putri Merdekawati, sang pendiri dan CEO bisnis ini. Selama hampir dua jam, kami membahas mengenai perjalanan Batik Si Putri dan bagaimana bisnis ini berupaya menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam rantai produksinya.
Awal Perjalanan Batik Si Putri
Batik Si Putri tidak lahir dari ruang hampa. Bisnis batik ini ada karena kecintaan Putri pada batik sejak kecil. Semasa kanak-kanak, ia menyaksikan neneknya membuat batik untuk dipakai sehari-hari. Pembuatan batik untuk pemakaian pribadi pada masa itu merupakan hal yang lazim. Sejak saat itu, Putri tahu bahwa dirinya menyukai kain bermotif yang diukir dengan penuh ketelitian itu.
Memori dan rasa suka itu bertahan hingga Putri dewasa. Sampai pada suatu hari pada bulan Mei 2017, setelah berkunjung ke rumah temannya, kecintaannya pada batik membuncah. Awalnya, ia hanya menjualkan produk-produk batik bikinan temannya itu. Dari situ, ia kemudian mulai belajar menekuni pembuatan batik dan akhirnya mendirikan bisnis batik sendiri—yang belakangan ia namai Batik Si Putri.
Dibantu empat orang staf produksi, Batik Si Putri awalnya bertempat di working space Inkubator Bisnis Teknologi Aksi Semarang. Setahun berjalan, barulah bisnis batik ini memiliki tempat produksi dan galeri tetap di Pakintelan, Gunung Pati, di tengah kawasan perkebunan yang masih asri dan sejuk. Lahan-lahan kosong di sekitar halaman rumah produksi dimanfaatkan untuk menanam aneka tumbuhan yang daunnya digunakan sebagai pewarna alami batik, seperti ketapang, kelengkeng, hingga paku-pakuan.
Mengusung tagline “Fashion With Values”, Putri menekankan bahwa setiap produk batiknya tidak hanya dibuat sebagai penutup tubuh semata, tetapi juga dimaksudkan sebagai medium untuk mengekspresikan kesenian dan identitas diri sembari mendukung upaya pelestarian lingkungan dan budaya. “Saya menyamakan persepsi dulu dengan staf. Bahwa bisnis ini mesti punya nilai: tidak merugikan lingkungan dan kesehatan, dan secara tampilan bisa menarik peminat,” katanya.
Pakai Pewarna Alami
Sesuai prinsip yang diusung, Batik Si Putri memakai pewarna dari alam untuk setiap batik yang diproduksi. Selain daun, pewarna alami juga diperoleh dari kayu dan limbah organik. “Pewarna alam ini pun sebenarnya mengandung zat kimia juga, hanya saja dia akan lebih tereduksi. Jadi meskipun pakai pewarna alam, kami tetap saring dulu airnya sebelum dialirkan ke tanah. Sederhana saja, cuma pakai arang sekam, batu kali, batu pasir, baru dialirkan,” kata Putri.
Selain penggunaan bahan kimia yang mencemari lingkungan, industri fesyen juga berkontribusi terhadap krisis air. Untuk membuat satu celana jins saja, misalnya, dibutuhkan sekitar 7.500 liter air—setara dengan jumlah air yang diminum oleh rata-rata satu orang selama tujuh tahun. Akibatnya, industri pakaian menghasilkan 20 persen air limbah global setiap tahunnya. Sebagai produsen, Putri tidak memungkiri hal itu dan berusaha untuk tidak memperburuk keadaan.
“Untuk mengurangi pemakaian air, kami tampung air yang sudah dipakai saat penjemuran untuk kami gunakan lagi,” katanya.
Untuk menghindari eksploitasi berlebih terhadap tanaman yang akan dipakai sebagai pewarna, Putri dan stafnya menerapkan prinsip tanam kembali dan tidak sembarangan dalam mengambil bagian tanaman. “Supaya tanaman tidak terganggu fotosintesisnya, daun yang di pucuk tidak kami ambil. Kami juga selalu menanam pohon yang baru, jadi tidak cuma mengambil saja dari pohon yang sudah ada,” lanjut Putri.
Tantangan
Di tengah perkembangan industri fesyen yang begitu masif, menjual produk batik dengan pewarna alami bukanlah perkara mudah. Meskipun tren untuk kembali ke yang orisinil itu ada dan kampanye pelestarian lingkungan gencar dilakukan di berbagai tempat, tetap saja batik orisinil sulit bersaing soal harga. Dengan produk di rentang harga Rp200 ribu hingga Rp5 juta, Batik Si Putri juga turut merasakan tantangan ini.
“Masyarakat bertanya-tanya, kenapa ada batik murah, ada batik mahal. Padahal boleh jadi, batik yang harganya Rp50 ribuan itu bukan batik, tetapi kain printing bikinan pabrik. Banyak pengrajin batik yang bertumbangan, karena gak bisa bersaing di harga. Ini tantangan yang paling berat,” kata Putri.
Untuk mengatasi tantangan itu, Putri terus berupaya mengedukasi calon pembelinya tentang mengapa harga batik orisinil cenderung lebih mahal. Selain itu, ia juga memproduksi batik dengan motif-motif unik dengan kesan yang lebih muda dan edisi terbatas untuk mengatasi anggapan bahwa batik merupakan pakaian orang tua.
“Proses pewarnaannya bisa sampai belasan kali untuk mendapatkan warna yang kuat. Waktu pembuatannya lebih lama. Selain itu, orang perlu paham soal upah pengrajin batik. Saya punya pengalaman waktu ke Pekalongan. Para pengrajinnya dibayar sangat murah. Saya gak tega. Mereka cuma dibayar Rp 12.500 sampai 15.000. Karena itulah, saat membuka bisnis ini, saya harus memastikan bahwa karyawan saya mendapatkan apa yang menjadi hak mereka. Asuransi mereka dan lain sebagainya,” katanya.
Tantangan berat lainnya yang dihadapi Putri adalah menghindari penggunaan plastik. Ia mengakui bahwa Batik Si Putri belum bisa sepenuhnya lepas dari pemakaian plastik. Adanya benturan-benturan dalam proses penjualan membuatnya terpaksa masih menggunakan plastik.
“Kami sempat tidak pakai plastik sama sekali, tapi kami malah dikomplain sama kurir. Apalagi ketika hujan, mereka kerepotan. Di samping itu, kemasan non-plastik juga lebih mahal. Dan mencari partner yang menyediakan alternatif plastik masih sulit,” ujarnya.
Memanfaatkan Digitalisasi
Ketika Pandemi COVID-19 melanda Indonesia, bisnis batik Putri ikut terdampak hebat. Omset penjualannya turun drastis hingga 80 persen dari biasanya. Namun, pandemi pula yang mendorong Putri dan karyawannya untuk akrab dengan dunia digital, sekaligus menjadi titik balik perjalanan Batik Si Putri hingga bertahan sampai hari ini.
“Kami bisa bertahan berkat digital. Awalnya sama sekali gak terpikirkan untuk menjual lewat online. Berkat pemahaman digital, pelan-pelan kami mendapat pesanan dari luar negeri, ada dari Kanada, Dubai, dan Jerman,” katanya.
Terapkan Manajemen Kekeluargaan
Dalam menjalankan bisnisnya, Putri mengaku tidak hanya mengejar profit semata. Ia juga selalu berupaya untuk memastikan hak-hak pekerjanya terpenuhi, termasuk kesehatan, untuk mendukung pekerjaan yang layak. Selain itu, bisnisnya juga terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar. Beberapa mahasiswa dan warga pernah belajar di rumah produksi Batik Si Putri.
“Saya menerapkan manajemen kekeluargaan. Sifatnya terbuka. Dalam artian, saya beritahu kepada staf kebutuhan dalam sebulan berapa. Harus kejar target berapa. Saya juga berikan asuransi dengan porsi 50-50 untuk biaya iurannya. Untuk kesehatan, saya sediakan obat-obatan. Kami biasa makan siang bareng, makanan yang kami punya kami makan bersama. Tapi kami tetap profesional,” kata Putri.
“Ketika karyawan bisa upskilling, bisa punya kendaraan, itu sudah pencapaian bagi saya. Yang masih muda saya kuliahkan lagi. Kalau di kemudian hari mereka mendapat pekerjaan yang lebih baik, saya gak akan menahan. Saya selalu bilang ke mereka, ‘Kamu gak harus tetap bertahan di sini. Kalau kamu dapat yang lebih baik, ambillah kesempatan itu.’ Prinsip saya, tidak ada yang tidak tergantikan,” ia menambahkan.
Harapan
Bisnis Batik Si Putri kini berada di antara harapan dan kekhawatiran. Fesyen berkelanjutan yang mengedepankan etika belum begitu dikenal di Indonesia dan hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi Putri dalam memastikan keberlangsungan bisnisnya. Agar bisnis fesyen berkelanjutan dapat tumbuh dan menjadi tren, perlu ada tindakan, kebijakan, dan regulasi yang tegas dari pemerintah, serta dukungan dari seluruh pihak, utamanya masyarakat.
“Pemerintah menjadi penentu dalam hal ini. Mungkin dengan undang-undang. Para pengrajin fesyen berkelanjutan perlu diberi privilese khusus. Itu penting sekali. Misalnya supaya para pengrajin batik bisa bertahan dan bisnisnya tetap jalan, beli dan pakailah produk mereka. Di instansi-instansi pemerintahan, mungkin perlu dibuat aturan pakai batik ramah lingkungan setiap seminggu atau sebulan sekali. Saya pernah menyampaikan itu ke orang-orang DPR, tapi sayangnya yang mau dengerin sampai sekarang gak ada,” imbuh Putri.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.