Dedikasi Rumah Lentera Mengasuh dan Merawat Asa Anak-Anak dengan HIV/AIDS
HIV/AIDS adalah salah satu penyakit yang masih sering disalahpahami dan mendapatkan stigma dari masyarakat. Masih banyak orang yang memiliki ketakutan berlebihan akan tertular HIV/AIDS jika berinteraksi dengan orang dengan HIV/AIDS. Akibatnya orang yang terinfeksi virus ini seringkali dikucilkan dan didiskriminasi. Yang menyedihkan, anak yang tertular virus HIV/AIDS dari orang tuanya juga harus menanggung beban diskriminasi tersebut, dan tak sedikit dari mereka yang sampai ditolak oleh keluarganya sendiri.
Hal demikian juga terjadi di Surakarta, Jawa Tengah. Sebagai upaya untuk mengatasi persoalan itu, Yayasan Lentera Surakarta hadir untuk memberikan pendampingan, khususnya bagi anak dengan HIV/AIDS (ADHA) dan menghentikan diskriminasi terhadap mereka. Bagaimana mereka melakukannya? Berikut wawancara Green Network Asia dengan Yunus Prasetyo, salah satu inisiator Yayasan Lentera. Wawancara dilakukan melalui sambungan telepon pada 11 Maret 2024.
Bisa ceritakan apa itu Lentera?
Lentera adalah sebuah lembaga independen yang kami dirikan pada tahun 2013 dan berfokus pada isu kesehatan, khususnya untuk isu HIV/AIDS melalui pendampingan advokasi dan juga edukasi masyarakat. Salah satu program yang kami lakukan adalah membuat suatu panti atau shelter yang bisa merawat dan mendampingi anak-anak dengan HIV/AIDS, yang seringkali mendapat banyak stigma dan terdiskriminasi, baik dari lingkungan internal keluarga mereka maupun dari eksternal–seperti lingkungan tempat tinggal dan sekolah.
Boleh dikatakan, di Indonesia hanya kami satu-satunya yang ada (yang melakukan pendampingan untuk ADHA). Ini semua berawal dari kegilaan kami, karena saat itu stigma kepada anak dengan HIV/AIDS masih sangat tinggi, bahkan sampai sekarang ini.
Bagaimana awal mula pendirian Lentera?
Inisiator Yayasan Lentera adalah saya dan rekan-rekan saya, Puger (Mulyono) dan Kevas (Jibrael Lumatefa), staff saya saat masih berada di lembaga swadaya masyarakat yang bernama Yayasan Mitra Alam. Ketika masih menjadi direktur di Mitra Alam, saya dan banyak staf saya banyak mendampingi kelompok rentan seperti pengguna narkoba, pekerja seks, dan yang terinfeksi HIV/AIDS. Banyak kasus ketika ada anak yang ibunya meninggal dan ditolak oleh keluarganya karena diketahui statusnya mengidap HIV.
Pada awalnya kami memutuskan untuk mengasuh satu anak di rumah sakit yang ditolak asuh oleh keluarganya. Kami jemput anak itu di rumah sakit, kami bayarkan biaya perawatannya, dan kami beramai-ramai dengan staf di kantor mengasuhnya secara bergantian. Tapi staf tidak bisa merawat terus-terusan karena harus bekerja, akhirnya kami mencari pengasuh dan juga mencarikan tempat kos untuk merawat anak tersebut.
Beberapa bulan kemudian ada kasus seperti itu lagi, ada anak yang terkena HIV dari orang tuanya dan keluarga besarnya tidak mau merawat. Akhirnya kami tampung juga di tempat kos. Saya dan Puger pun berinisiatif untuk berpindah tempat rawat dari tempat kos ke rumah kontrakan. Dari situ anak yang kami rawat bertambah lagi karena memang baru kami pada saat itu yang berani untuk menampung dan mengasuh anak dengan HIV/AIDS. Awalnya kami juga masih melakukan secara diam-diam dan belum berani terbuka karena jika ketahuan merawat anak dengan HIV/AIDS pasti kami tidak diperbolehkan oleh pemilik rumah maupun tetangga.
Ketika sudah bertambah empat atau lima baru kemudian saya berpikir bahwa ini tidak bisa tanpa ada payung hukum yang jelas karena khawatir bisa dicurigai dan sebagainya. Kami bertiga pun membuat lembaga Lentera dan setelah tiga tahun operasi, sekitar tahun 2014 atau 2015, kami buat yayasan yang resmi berbadan hukum.
Dimana Saja Lentera Beroperasi?
Dulu tempat kami di Taman Makam Pahlawan (TMP Kusuma Bhakti, Jurug, Surakarta) yang merupakan tanah milik pemerintah. Bayangkan saja tempat anak-anak di makam, tidak manusiawi itu sebetulnya. Tapi saya mencoba melihat sisi positifnya, bahwa tempat ini luas untuk anak-anak bermain dan ada banyak pohon sehingga sejuk dan rindang. Persoalan kami “dibuang” atau disingkirkan biarkan saja, yang penting anak-anak sehat. Terus kami pindah (per 7 Januari 2024) ke bangunan SD yang sudah tidak dipakai (di daerah Purwodiningratan, Jebres).
Apa tantangan yang dihadapi saat memutuskan mengasuh ADHA dan mendirikan Lentera?
Kami sering menghadapi penolakan. Di tempat pertama kali kami kontrak, saya harus dipanggil beberapa kali dan harus menjelaskan kepada masyarakat karena ketahuan statusnya bahwa anak yang kami rawat terkena HIV/AIDS. Ketika di Kedung Lumbu pernah kami didemo, barang-barang dikeluarkan. Pokoknya kami tidak boleh merawat anak HIV/AIDS di situ. Sekolah pun juga beberapa kali menolak kami. Sempat sekitar tahun 2015, ada empat belas anak yang yang diprotes oleh orang tua murid yang lain untuk pindah sekolah.
Sampai sekarang penolakan seperti itu masih ada. Ketika direlokasi pemerintah baru-baru ini, untuk masuk ke tempat baru saja masyarakatnya geger setengah mati. Ada yang mengharuskan tempatnya dibangun pagar tinggi, ada yang melarang anak-anak untuk masuk ke kampung di sekitar situ. Diskriminasi itu masih kental di masyarakat.
Bagaimana biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anak?
Dari awal memang saya modal nekat, tidak peduli (soal biaya), pokoknya jalan saja. Kami bertiga (Yunus, Puger, dan Kevas) sama gilanya dan percaya bahwa Tuhan akan membukakan jalan. Dan memang banyak yang datang untuk membantu anak-anak sampai sekarang. Ada banyak donatur terutama individu-individu yang sering memberikan bantuan, secara insidental, untuk kebutuhan atau perlengkapan sehari-hari anak-anak. Ada pula satu orang donatur tetap yang saya kira sama gilanya dengan kami karena mau mengirimkan bantuan setiap bulannya dari sekitar tahun 2018 atau 2019 hingga sampai saat ini.
Sudah berapa banyak anak yang dirawat di Lentera?
Ada hampir seratus anak yang kami rawat sejak berdiri, rentang usianya dari balita hingga umur 17-18 tahun. Tapi yang meninggal juga sudah banyak, ada sekitar delapan belas anak. Ada pula sekitar dua puluh anak yang dikembalikan ke keluarganya.
Bagaimana kegiatan sehari-hari di Lentera?
Model perawatan yang kami lakukan di Lentera adalah set up keluarga, jadi tidak ada aturan atau kegiatan yang khusus dan aneh-aneh. Saya merawat mereka selayaknya anak sendiri. Memang ada beberapa aturan, tetapi sederhana seperti harus belajar di jam sekian, boleh bermain HP setiap pulang sekolah dan setiap jam tujuh malam HP tersebut harus dikumpulkan supaya anak-anak bisa belajar dan tidur tidak terganggu. Setiap hari Sabtu dan Minggu kami bebaskan anak-anak untuk bermain.
Bagaimana upaya edukasi Lentera tentang isu HIV/AIDS kepada masyarakat dilakukan?
Kami telah sering melakukan kampanye-kampanye publik terbuka tentang isu HIV/AIDS. Selain itu, beberapa kali saya atau Puger menjadi fasilitator dan narasumber untuk berbagai kegiatan atau workshop yang mengangkat isu HIV, dari acara milik Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) hingga kegiatan-kegiatan kampus.
Kebijakan atau hal apa yang masih luput dari pemerintah soal perlindungan untuk orang/anak dengan HIV/AIDS?
Kebijakan untuk pemenuhan hak-hak anak dengan HIV/AIDS masih lemah dan belum maksimal. Misal, kebijakan untuk perawatan dan kesehatan anak-anak ini sebetulnya masih perlu mendapatkan perhatian lebih, terutama soal obat karena yang diminum anak-anak sekarang itu adalah obat untuk dewasa. Jadi satu tablet obat tersebut biasanya diresepkan bahwa obat tersebut harus dipotong, misal untuk anak dengan berat sekian harus sepertiga dari tablet, sementara yang lain tiga perempatnya. Belum lagi obat itu terlalu pahit untuk anak-anak minum jadi kami juga harus sambil menyiapkan madu atau permen. Padahal obat tersebut harus diminum setiap hari.
Kondisi di dunia pendidikan juga masih belum aman karena masih saja ada diskriminasi di sekolah. Kalau sekarang terdapat istilah “Sekolah Ramah Anak”, saya masih mempertanyakan apakah itu juga termasuk untuk anak-anak dengan HIV/AIDS. Kami tidak tahu karena kami tidak pernah terlibat dalam penyusunan sistem seperti itu.
Dari bertahun-tahun merawat anak dengan HIV/AIDS di Lentera, apa pengalaman atau wawasan yang berkesan?
Banyak sekali pengalaman yang saya dapat selama merawat anak-anak, tapi yang jelas saya merasa saya orang yang paling bersyukur karena diberi amanah dan punya kesempatan untuk menjalankan Lentera dan mengasuh anak-anak. Karena tidak semua orang mampu melakukan, baik secara finansial maupun secara niat. Saya juga bersyukur karena istri dan anak-anak saya juga mendukung apa yang saya lakukan, bahkan ikut membantu merawat. Apa yang saya lakukan di Lentera adalah aksi kegilaan dan hobi kerelawanan, sekaligus tempat untuk “mewakafkan” hidup saya untuk anak-anak ini.
Pesan apa yang ingin Anda sampaikan?
Yang paling penting adalah tidak perlu menstigma dan mendiskriminasi. Anggap saja mereka selayaknya anak-anak yang lain, karena memang tidak ada yang berbeda dari mereka. Yang membedakan hanya ada virus dalam tubuh mereka, itupun juga tidak mengganggu orang lain dan hanya mengganggu diri mereka sendiri. Jika diketahui ada orang atau anak dengan status HIV, ya, tidak apa-apa dan biarkan saja. Tidak perlu mem-bully atau bahkan mengusir. Karena sudah ada obatnya dan juga menularnya tidak lewat kontak sosial. Jadi tidak perlu takut dengan keberadaan mereka.
Terus, kepada pemerintah, perlu ada kebijakan-kebijakan yang mendukung. Misal saat ini masih ada delapan anak kami yang belum mendapatkan haknya untuk memperoleh Kartu Indonesia Sehat (KIS) meski sudah kami ajukan berkali-kali. Mereka punya hak-hak anak, hak pendidikan dan lain-lain, yang bagaimanapun juga menjadi tanggung jawab pemerintah.sesuai dengan undang-undang.
Saya sering menyampaikan bahwa untuk membantu tidak harus menjadi seperti saya karena sekali lagi tidak semua orang bisa melakukannya. Bantu saja di bidang masing-masing yang dikuasai dan disanggupi. Yang penting tidak perlu takut dan berlebihan ketika berhadapan dengan anak-anak ini.
Aktivitas Yayasan Lentera dapat diikuti melalui laman Lentera Surakarta dan akun Instagram @yaya.sanlenterasurakarta.
Editor: Abul Muamar
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Nisa adalah Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.