MUI Keluarkan Fatwa terkait Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan masalah serius yang mempengaruhi kehidupan di seluruh planet ini. Dampaknya yang semakin terasa mengancam keberlangsungan ekosistem, keamanan pangan, kesehatan manusia, ekonomi global, dan berbagai aspek lain kehidupan. Kebutuhan akan tindakan cepat dan berkelanjutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta memperkuat ketahanan terhadap dampak perubahan iklim menjadi semakin mendesak demi menjaga keseimbangan lingkungan dan kehidupan manusia di masa depan. Terkait hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Tanggung Jawab Manusia
Perubahan iklim merupakan dampak dari berbagai faktor, namun aktivitas manusia adalah salah satu yang utama. Berbagai aktivitas industri, penggunaan bahan bakar fosil, penebangan dan pembakaran hutan, pengelolaan limbah secara tidak bertanggung jawab, hingga praktik pertanian dan peternakan yang tidak berkelanjutan telah menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca dan perubahan suhu global.
Sebagai pemimpin dunia, manusia telah diberi tanggung jawab oleh banyak sistem kepercayaan untuk menjaga dan merawat Bumi beserta isinya. Dalam pandangan ini, manusia bukan hanya makhluk yang menguasai alam semesta, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan makhluk lainnya.
Upaya untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim memerlukan tindakan kolektif dan bertanggung jawab dari seluruh masyarakat. Mengingat perubahan iklim berakar pada keterkaitan antara faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, dan sistem kepercayaan masyarakat, maka perlu ada etika dan hukum yang dapat mengatur seluruh aspek tersebut. Oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai pedoman.
Fatwa tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global
Fatwa MUI Nomor 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global mencakup tiga ketentuan hukum, yakni:
- Segala tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan alam dan berdampak pada krisis iklim hukumnya haram.
- Deforestasi yang tidak terkendali dan pembakaran hutan yang merusak ekosistem alam yang menyebabkan pelepasan besar-besaran gas rumah kaca, serta mengurangi kemampuan Bumi untuk menyerap dan menyimpan karbon hukumnya haram.
- Semua pihak wajib berkontribusi dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang lebih baik, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok, dan melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan.
“Untuk mengendalikan perubahan iklim diperlukan usaha kolaboratif dari berbagai pihak, baik dari pemerintah dan masyarakat secara umum,” kata Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Hayu Prabowo.
Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan sejumlah fatwa lain yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yakni Fatwa MUI Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, Fatwa MUI Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem, Fatwa MUI Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan, dan Fatwa MUI Nomor 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran hutan dan Lahan serta Pengendaliannya.
Catatan Kritis
Terbitnya fatwa MUI tersebut merupakan suatu langkah penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, fatwa tersebut mendapat sejumlah catatan kritis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), di antaranya:
- Tidak disebutkannya mekanisme loss and damage fund sebagai bagian penting dari pengendalian krisis iklim.
- Fatwa tersebut tidak mempertimbangkan prinsip Common But Differentiated Responsibilities (Tanggung jawab umum namun berbeda/CBDR) terkait ajakan untuk mengurangi jejak karbon kepada semua pihak.
- Dalam rekomendasi kepada pemerintah pusat, MUI tidak memasukkan poin yang mendesak pemerintah untuk mengevaluasi seluruh peraturan yang dapat memperburuk dan memperparah dampak krisis iklim bagi masyarakat.
Pada akhirnya, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim memerlukan pemahaman yang komprehensif dan historis agar upaya yang dilakukan dapat berjalan secara adil dan efektif. Hal ini mencakup pengakuan atas perbedaan dalam kontribusi negara-negara terhadap perubahan iklim, dengan memberikan perhatian khusus pada prinsip CBDR yang mencerminkan tanggung jawab yang berbeda berdasarkan sejarah emisi dan kapasitas ekonomi. Selain itu, pendekatan yang inklusif dan partisipatif diperlukan untuk memastikan bahwa kebutuhan dan kepentingan semua pihak, termasuk komunitas yang paling rentan, diakomodasi dalam rencana adaptasi dan mitigasi iklim. Dalam hal ini, pembentukan dan pengelolaan dana kerugian dan kerusakan (Loss and Damage) menjadi penting untuk memberikan dukungan kepada komunitas yang mengalami dampak paling parah akibat perubahan iklim.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.